Kerusakan Hutan Gorontalo di Balik Dalil Transisi Energi

Sore itu gerimis menyelimuti Desa Londoun, Kecamatan Popayato Timur, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Gerimis yang mungkin juga tak pernah hilang di hati Miksel Rambi. Sambil menatap langit-langit rumah, dia coba mengenang kembali konflik lahan yang pernah terjadi di tanah Bumi Panua, tempat tinggalnya. Refli Rambi, adiknya, kala itu membakar pos jaga perusahaan sawit. Perangai galak itu tidak begitu saja terjadi bak seorang kriminil yang kehilangan hasil curiannya. Itu protes warga, lahan sumber kehidupannya tergusur perusahaan. “Tanah ini sudah digunakan sebelum perusahaan masuk. Nah, saat perusahaan menggusur jalan, lahan adik saya terkena pembuatan jalan, jadi dia hanya menanam di lokasi yang tidak terkena jalan,” kata Miksel.

Beberapa bulan kemudian, saat panen tiba adiknya meminta izin ke pihak perusahaan untuk membuat penjemuran jagung hasil panen untuk digunakan sementara waktu. Sayangnya, permintaan izin tersebut tidak diindahkan, hingga jagung rusak terkena jamur. “Ini kan cuma penjemuran sementara, tidak sampai sebulan, supaya jagung ini tidak rusak. Habis dipakai juga akan dibongkar karena hanya terbuat dari kayu. Tapi tetap tidak dikasih izin,” tuturnya.

Merasa frustasi dengan hasil panen yang merugi, adiknya Refli Rambi, kemudian menuju ke pos penjagaan dan protes kepada petugas. Aksi ini kemudian berujung pada pembakaran salah satu pos penjagaan milik perusahaan.

Ia bilang, saat itu perusahaan berusaha mendekati tokoh-tokoh lokal yang berpengaruh. Pendekatan ini bertujuan untuk membujuk masyarakat agar mau menjual tanah kepada pihak perusahaan, untuk dibuatkan jalan menuju ke Hutan Popayato. Padahal, kata dia, saat itu hutan masih menjadi sumber kehidupan bagi warga sekitar untuk menyambung hidup. “Masyarakat di sini masih banyak yang mengandalkan hasil hutan ataupun kebun,” ucapnya pelan, sambil menarik salah satu kursi plastik yang tersusun di teras rumahnya.

Sayangnya, hutan itu bakal lenyap dalam beberapa tahun ke depan. Pemerintah telah mengizinkan perusahaan kayu untuk mengelolah hutan tersebut dengan luasan wilayah konsesi yang terbilang cukup luas. “Sekarang ini sudah susah, untuk sekadar mencari kebutuhan kayu bakar. Untuk acara di gereja saja kami harus menyurat,” kata masyarakat lain yang tak ingin disebutkan namanya. “Anak saya masih kecil. Masih harus sekolah jangan sebut nama saya,” ujarnya dengan maksud tersirat.

Hari bertambah sore, sementara di luar gerimis belum juga reda. Sesekali terdengar deru kendaraan milik perusahaan yang lalu-lalang di depan rumah Miksel Rambi. Ya, perusahaan itu bernama PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) yang masuk ke Provinsi Gorontalo sekitar 15 tahun silam. Pemerintah mengizinkan perusahaan kayu itu untuk mengelolah hutan Popayato dengan wilayah konsesi yang terbilang cukup luas.

Dirinya menyebutkan, setelah belasan tahun PT BTL berada di hutan tersebut, bukan hanya pepohonan yang hilang, tetapi juga kepercayaan warga Londoun yang terus terkikis karena terus dibohongi pihak perusahan. Ia bercerita, kehadiran PT BTL berulang kali menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat lokal. Bahkan sejak perusahaan berniat membeli tanah milik warga untuk dibuatkan jalan menuju lokasi perusahaan.

Oleh perusahaan, tanah mereka ditawar untuk pembuatan akses jalan dengan harga yang begitu rendah, yakni Rp600 per meter. Kendati dibayar murah, warga rela menjual tanahnya karena pihak perusahaan berjanji akan membuatkan sertifikat. Iming-iming mendapatkan sertifikat gratis, warga akhirnya mau menjual tanahnya. Khusus di Desa Londoun, yang menjadi akses menuju lokasi perusahaan. Kurang lebih dari 100 warga yang menjual tanah ke pihak PT BTL.

“Warga mau sebab pihak perusahaan berjanji akan memfasilitasi pembuatan sertifikat untuk setiap tanah yang dibayar,” katanya. Namun nyatanya, janji hanya sekadar janji, hingga kini, banyak sertifikat warga yang belum juga diterbitkan pihak pertanahan. Dari ratusan sertifikat yang dijanjikan, hanya ada sekitar 30 sertifikat yang dibuat. Warga Londoun terpaksa terus membayar pajak atas tanah yang seharusnya sudah menjadi milik perusahaan.

“Kami dijanjikan untuk difasilitasi pembuatan sertifikat, tapi sampai sekarang banyak yang belum terbit. Pajak masih kami yang bayar, padahal tanahnya sudah dibeli perusahaan,” ujarnya. Persoalan persoalan konflik agraria pihak PT BTL dengan warga desa, sebenarnya tidak berhenti di situ. Pihak perusahaan juga diketahui pernah menggusur jalan desa sepanjang hampir 600 meter.

Penggusuran jalan dilakukan untuk pelebaran jalan menuju perusahaan dengan lebar kurang lebih 30 meter. Sosialisasi awal dengan masyarakat, pelebaran jalan itu hanya untuk digunakan sementara. Tapi sampai saat ini masih juga digunakan dan tidak ada kejelasan sama sekali. “Kami sudah menanyakan hal ini ke pihak perusahaan, mereka mengaku tidak tahu,” tuturnya.

Dalam beberapa kesempatan rapat yang diadakan, pihak perusahaan dan kepala desa tidak memberikan jawaban yang memuaskan terkait penggunaan jalan itu. Belakangan diketahui, perusahaan hanya mendapatkan persetujuan dari salah satu aparat desa untuk penggunaan jalan tersebut, sebagai gantinya aparat desa tersebut diizinkan membuka usaha kantin di dalam wilayah perusahaan.

Janji perusahaan tidak hanya pembuatan sertifikat, ada tiga janji lainnya yang tidak pernah ditunaikan setelah hampir 15 tahun perusahaan ini berada di Kabupaten Pohuwato. Perusahaan juga menjanjikan Plasma 2 hektare per orang, kemudian kayu ramuan rumah satu kubik untuk satu keluarga. “Mereka juga berjanji akan memberikan bantuan bibit jagung,” tuturnya.

Janji yang diterima masyarakat desa tinggal janji belaka, perusahaan justru fokus pada target yang kini operasinya berubah dari komoditi Sawit menjadi Hutan Tanaman Energi, yang membabat pepohonan alam di Pohuwato. “Setiap sosialisasi pihak perusahaan bilang plasma akan diberikan setelah tanaman itu besar dan mulai diproduksi. Tapi sampai sekarang tidak ada. Pihak perusahaan beralasan masih menunggu hasil dari tahapan pengelolaan hutan,” katanya.

**Liputan ini didukung dan didanai Forest Watch Indonesia (FWI) lewat Journalist Fellowship Program: Transisi Energi Watch

Selengkapnya tulisan ini berasal dari liputan6.com

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top