Pergumulan Prof HAKA dalam Ranah Teori Pengetahuan (Epistemologi) dan Praksis Pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup
Oleh: Ismatul Hakim
Pertama-tama saya mengucapkan terimakasih karena diminta untuk membedah buka Prof Haryadi Kartodiharjo (HAKA) yang sangat luarbiasa ini. Prof HAKA adalah sedikit intelektual yang mampu bertahan dan tidak mengalami problem defisit dan pendangkalan pengetahuan atau banalitas oleh semakin merebaknya profanisme sebagai dampak tindak dan budaya pragmatisme, sehingga mampu membaca fenomena dan realitas sosial dengan ketajaman dan kejernihan berpikir dan pengetahuannya.
Sebetulnya saya kaget ketika diminta oleh mas Eko Cahyono untuk membahas buku Merangkai Stanza Lagu Kebangsaan denga sub Judul “73 Esai Esai Reflektif Dalam Kuasa Pengetahuan Politik PSDA dan Problematika Kebijakan”. Sebab, Prof HAKA adalah seoarang intelektual zaman now yang selalu menjadi rujukan bagi tidak saja aktivis dan akademisi tetapi juga para pengambil kebijakan, utamanya di bidang pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup di Indonesia. Sebelum masuk ke inti dari buku, saya akan mengawalinya dengan sedikit membahas Stanza Lagu Indonesia Raya, karya besar anak bangsa WR Supratman. Sebab, dalam benak saya beragam pertanyaan muncul manakala melihat karya WR Supratman menjadi cover dalam buku ini. Apa sebenarnya relevansi makna dari stanza tersebut dengan ragam tulisan yang ada di buku Prof HAKA? Mengapa Prof HAKA lebih memilih stanza Indonesia Raya ketimbang ragam lagu perjuangan lainnya?
WR Supratman adalah pengarang lagu yang tidak sembarangan dan tentunya semua orang tahu itu. Betapa tidak? Semua gejolak dan nafas perjuangan bangsa Indonesia mampu di refleksikan dan di-representasikan dalam bait-bait lirik lagu Indonesia Raya yang penuh makna, terutama filosofis dan ideologis Indonesia sebagai nation state. Dimensi lagu Indonesia Raya (Stanza) tidaklah tunggal hanya merefleksikan dalam satu perionde perjuangan bangsa tetapi berdimensi luas dan futuristik, mengimajinasikan bahwa perjuangan melawan kolonialisme barulah awal dari fase panjang perjuangan bangsa. Tampaknya pengarang lagu ini tahu bahwa justru periode perjuangan terberat adalah pada era panjang paska kemerdekaan manakala bangsa ini memasuki era kapitalisme lanjut, era paska modernitas dan era paska kebenaran (post truth). Saya pikir tidaklah berlebihan bila WR Supratman disejajarkan dengan Ronggo Warsito atau Jangka Jayabaya yang bisa meramal masa depan dan Alfin Toffler dengan Future Shock dalam the Third Wave-nya (1970) dan John Naisbitt dan istrinya, Patricia Abuderne, dalam buku mereka, Mega Trend 2000 (1991).