JawaPos.com – Kebakaran lahan dan hutan (karhutla) terus-menerus terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Musim kemarau ekstrem dipicu El Nino dan human error diduga menjadi kombinasi sempurna banyaknya peristiwa karhutla. Mirisnya lagi, kebakaran juga melanda di sejumlah kawasan konservasi atau taman nasional. Seperti yang baru saja berhasil dipadamkan kemarin Jumat (29/9), yakni kebakaran di Taman Nasional (TN) Baluran, Kecamatan Banyuputih, Situbondo, Jawa Timur. Karhutla Gunung Baluran yang terjadi sejak Senin (25/9) itu telah membakar lebih dari 160 hektare (Ha) lahan.
Sebelumnya, kebakaran terjadi di Taman Nasional Gunung Bromo diduga disebabkan oleh percikan api flare dari sepasang calon pengantin yang melakukan prewedding photo shoot di kawasan tersebut. Berdasarkan data Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS), luas lahan yang rusak di kawasan Bromo diperkirakan mencapai 504 Ha.
Sementara itu, pada awal bulan September ini, kebakaran melanda kawasan Gunung Arjuno yang terletak di perbatasan Kabupaten Malang dengan Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Dampaknya luar biasa. Diduga ada unsur kesengajaan, sedikitnya 5.094 Ha lahan ludes dilalap si jago merah.
Manager Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, menyayangkan banyaknya kejadian karhutla. Menurutnya, hal ini merupakan potret tata kelola kawasan, yang saat ini masih menggunakan paradigma hak penguasaan sumber daya alam (SDA) dikuasai oleh negara. Dimana ditemukan ketidakseimbangan relasi kuasa antar-aktor lokal (daerah) dan nasional dalam mengelola kawasan.
Anggi menekankan perlu ada pergeseran paradigma dalam tata kelola kawasan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek konservasi. Penting juga untuk menerapkan prinsip-prinsip inklusi dan keadilan sehingga meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan.
Modal sosial masyarakat, lanjutnya, juga harus diperkuat agar memiliki keterkaitan yang kuat akan pentingnya kelestarian dan keberlanjutan. Sehingga, menumbuhkan tanggung jawab bersama dalam menjaga kawasan.
“Sebagai landasan kebijakan yang tepat, paradigma ini harus bisa dipastikan juga diakomodasi dalam perubahan Rancangan Undang-undang (RUU) KSDAHE,” kata Anggi kepada JawaPos.com, Sabtu (30/9).
Kerugian Ekonomi dan Ekologi
Catatan FWI, bila berkaca pada kejadian karhutla dari 2017, 2018, 2019, dan 2022, yakni terjadi pada hutan dan lahan seluas 2,5 juta Ha. Tercatat karhutla di dalam konsesi perusahaan terjadi di areal seluas 700.000 Ha. Sedangkan, kejadian karhutla di luar konsesi perusahaan seluas 1,8 juta Ha. Sementara itu, berdasarkan status fungsi kawasannya, seluas 1,4 juta Ha karhutla terjadi di dalam status fungsi kawasan hutan. Sedangkan, seluas 1,1 juta Ha karhutla terjadi di luar fungsi kawasan hutan.
“Jika melihat kejadian karhutla pada areal moratorium, maka karhutla yang terjadi di areal moratorium mencapai 800.000 Ha, dan di luar areal moratorium mencapai 1,7 juta Ha,” imbuh Anggi.
Menurutnya, revisi RUU KSDAHE adalah momen yang tepat untuk menggeser paradigma masyarakat/masyarakat adat sebagai subjek konservasi. “Untuk mengelola, menjaga, mengamankan, dan memanfaatkan kawasan yang menghadapi tantangan dan permasalahan yang semakin kompleks kedepannya seperti kebakaran hutan dan penegakan hukum,” jelas Anggi.
Tak hanya menyebabkan kerusakan ekologi, karhutla juga menimbulkan kerugian ekonomi. Kebakaran hutan dan lahan di Gunung Bromo, misalnya.
Adyatama Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif Ahli Utama, Kemenparekraf Nia Niscaya menuturkan, kebakaran tersebut telah mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 89,7 miliar. Itu adalah dampak penutupan 13 hari pasca kebakaran yang terjadi di Blok Savana Lembah Watangan, atau Bukit Telletubies, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), pada Rabu (6/9).
Potential loss itu mencakup perhitungan tidak adanya pemasukan dari sisi tiket dan kerugian yang timbul dari hilangnya pengeluaran/belanja wisatawan (spending). “Kawasan wisata yang masuk dalam daftar 10 destinasi pariwisata prioritas ini menghasilkan pemasukan sebesar Rp 121 juta. Sementara untuk spending wisatawan per hari diperkirakan mencapai Rp 6,7 miliar,” ungkapnya.
Kerugian yang besar juga muncul pada kejadian karhutla di beberapa taman nasional lain. Ditambah lagi banyaknya biaya yang harus dikeluarkan untuk upaya pemadaman dan rehabilitasi pasca kebakaran.
Editor : Estu Suryowati