Aktivitas penambangan emas ilegal yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar kawasan PT Hijau Artha Nusa (HAN) marak berlangsung, tepatnya di koordinat -2.492817 LS dan 102.52788 BT di sekitar Desa Ranggo. Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, JAMBI. Aktivitas ini buah dari tidak terurusnya wilayah konsesi PT HAN, sebuah perusahaan Hutan Tanaman Energi (HTE), yang telah vakum dalam beberapa tahun terakhir. Dampak aktivitas penambangan emas ilegal ini menyebabkan sejumlah kawasan hutan hilang, dan berdampak kepada pencemaran lingkungan dan hilangnya sebagian mata pencaharian dari masyarakat sekitarnya.
“Sumur banyak yang kering, [air] sumur keruh berminyak,” ungkap Mashuri, Ketua Karang Taruna Desa Ranggo (20/8/2024). Akibatnya, sekarang untuk kebutuhan air masyarakat harus membeli atau mencari air bersih di luar area penambangan emas illegal ini. “Ada orang keliling, [jual] air satu galonnya 10 ribu,” sambungnya. Warga pun mulai merasakan gejala gatal-gatal di kulit akibat air yang sudah tercemar itu.
Fendi, seorang warga lain, menyebut bahwa aktivitas pertambangan ilegal (PETI) bermula sejak sekitar tahun 2000-an oleh warga pendatang. Sementara, warga setempat baru tahu jika ada potensi emas di wilayahnya. “Sudah ada sekitar 15 tahunan orang main dongfeng (mesin tambang emas ilegal) ini,” tuturnya. Sekarang kondisi pertambangan ilegal makin masif dengan masuknya banyak alat berat yang digunakan.
Menjamurnya Tambang-Tambang Emas Ilegal
Berdasarkan data Komunitas Konservasi Lingkungan (KKI) Warsi, tercatat pada 2022 di Provinsi Jambi ada sekitar 45.059 hektar lahan yang terdapat aktivitas penambangan emas ilegal. Jumlahnya tambah tahun semakin meningkat. Pada 2023 ada 46.249 hektar lahan yang dijadikan area PETI. Sementara itu di Kabupaten Sarolangun, berdasarkan data KKI Warsi ada sekitar 15.578 hektar aktivitas PETI pada tahun 2022. Lahan-lahan itu pun rusak parah akibat aktivitas penambangan emas ilegal tersebut. Berdasarkan peta google earth di Sarolangun, dapat terlihat secara langsung kawasan yang masif penambangan emas illegal, salah satunya terkonsentrasi di sekitar Desa Ranggo.
Saat dikonfirmasi, Muchlisin Madras, Manajer Administrasi dan Marketing PT HAN membenarkan jika banyak lahan di areal konsesinya yang dirambah. Ini sebutnya, makin meningkat sejak perusahaan HTE itu tidak lagi beroperasi di lapangan sejak tahun 2021. “Kalau secara aturan, tidak satu orang pun boleh mengambil kayu, apalagi mengklaim wilayah itu yang sudah diserahkan sebagai wilayah konsesi PT HAN,” sebutnya. Aktivitas tambang emas ilegal diakuinya, dalam tiga tahun terakhir bertambah parah. Demikian juga hutan di kawasan Blok II di sekitar Nalo sampai perbatasan Tabir Barat dan Tabir Ulu, sudah banyak yang diokupasi. “Ada yang ditanami sawit, karet, area PETI. Dulu saat perusahaan masih beroperasi kami terus melakukan imbauan agar tidak ada PETI di kawasan itu. Bahkan kami pernah melaporkan ke pihak berwajib agar menindak kegiatan di sana. Untuk sumber daya internal, kami belum punya kemampuan untuk menindak itu,” lanjutnya.
Deforestasi di Lahan 'Tak Bertuan"
Praktik pendudukan lahan hutan, dan menjadikannya area kebun dan tambang, tentu mengakibatkan deforestasi. Dalam kajian Forest Watch Indonesia (FWI) wilayah konsesi perseroan yang terdiri dari hutan hujan dataran rendah ini, telah mengalami deforestasi seluas 4.834,52 hektar pada 2017-2021 dan 2022-2023 seluas 225 hektar. Penambangan emas ilegal selain mengubah bentang alam (sungai) dan menimbulkan dampak ekonomi bagi masyarakat disekitar wilayah konsesi, keberadaannya juga berakibat buruk pada kesehatan masyarakat yang menggunakan sungai, sebagai sumber air.
Tak hanya membuat masyarakat semakin turun kesejahteraannya, eksploitasi alam dalam kegiatan penambangan emas juga menyebabkan bencana ekologis yang sangat hebat. Ketika hujan permukiman warga rawan kebanjiran, sedang saat memasuki musim kemarau lahan-lahan warga dilanda kekeringan. Analisis FWI pun menemukan bahwa deforestasi di kawasan PT HAN sangat masif. Luas deforestasi itu tak sebanding dengan realisasi penanaman tanaman jenis sengon yang digadang-gadang perseroan untuk memenuhi kebutuhan biomassa.
Anggi Putra Prayoga Manager Komunikasi, Kerjasama, dan Kebijakan FWI menyebut ada kegagalan pihak perusahaan hingga areanya dirambah oleh warga. “Perusahaan awalnya mengekstraksi kayu yang ada di dalam konsesi sebagai bentuk penguasaan hutan dan lahan. Lalu perusahaan berencana membangun hutan tanaman energi, yang sebetulnya jauh dari fakta kemampuan perusahaan,” jelasnya. “Setelah itu perusahaan justru meninggalkan tanggung jawab yang tidak diselesaikannya.”
Mendorong Pencabutan Izin
Mencermati kondisi yang terjadi, organisasi lingkungan WALHI Jambi mendorong agar pemerintah segera ambil tindakan. “Kami mengusulkan pencabutan izin dan hak pengelola dikembalikan ke masyarakat. Wilayah itu bisa dijadikan kawasan kelola, seperti hutan desa. Bisa dikelola antara tanaman hutan dan jenis pemanfaatan, seperti kopi dan kayu manis,” jelas Eko Mulia, Manajer Advokasi WALHI Jambi. Dia pun menyinggung perihal aktivitas tambang emas ilegal, dimana pelakunya juga banyak yang melibatkan warga setempat. “Menjadi sebuah tantangan bagaimana masyarakat bisa memperoleh sumber pendapatan lain [di luar emas], ini yang perlu dianalisis,” ucapnya.
“Sejauh ini posisi WALHI melihat untuk mencegah deforestasi hutan dan alih fungsi lahan, maka perlu ditanami dengan komoditi bermanfaat buat masyarakat, bukan komoditi hutan seperti jenis tanaman energi,” sebutnya. Dia pun menyebut WALHI sedang memperkuat dalil, untuk mengajukan usulan pencabutan izin PT HAN ke KLHK. “WALHI Jambi sepakat mendorong pencabutan izin PT HAN. Adapun area yang dimanfaatkan oleh masyarakat itu diberikan sebagai wilayah kelola rakyat,” katanya.
Fendi memandang baik jika warga diperkenankan untuk mengelola lahan. Dia sebut berkebun bisa jadi alternatif pendapatan warga, bukan hanya bergantung dari hasil mencari emas yang penuh ketidakpastian dan berisiko untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Bisa dari komoditi seperti kopi, yang ditanam di area hutan,” ucapnya (20/08/2024). Dia menyebut, warga terpaksa mencari emas lantaran lahan sudah tidak lagi cukup tersedia di Desa Ranggo. Sedang untuk memenuhi kebutuhan kayu rakyat, dia bilang warga Desa Ranggo bisa mulai membudidayakan tanaman kayu hutan seperti pulai dan tembesu, untuk kebutuhan bahan baku rumah tangga dan bangunan.
Benny Budiansyah, Kasi Pemantauan dan Evaluasi Badan Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Unit IV Jambi membenarkan jika izin konsensi PT HAN telah dimulai sejak 2013 yang lalu. Namun sejak pandemi COVID-19 melanda, kegiatan perusahaan itu berhenti hingga saat ini. Dia bilang pihak BPHL IV Jambi akan menyurati KLHK terkait ketidakoperasian dari perusahan.
“Kita berikan peringatan dulu, misalkan tidak terpenuhi dalam jeda waktu dalam 30 hari, muncul peringatan kedua, peringatan ketiga, lalu dipanggil, masih sanggup atau tidak, lalu dilepas perizinannya,” tutur Benny. Lebih lanjut dia mengatakan, jika nantinya dari kementerian memutuskan untuk mencabut izin operasi perusahaan, maka statusnya akan dikembalikan ke negara, dan masyarakat sekitar bisa mengajukan skema pengelolaan perhutanan sosial.
*Liputan ini hasil kolaborasi dengan Forest Watch Indonesia melalui program Transisi Energi Watch.
Sumber tulisan ini berasal dari jektvnews.disway.id