Said tak bisa menutupi kegusaran dari pancaran mata dan nada bicaranya, saat disinggung bila kemungkinan PT Hijau Artha Nusa (HAN) akan beroperasi lagi setelah “gulung tikar” sejak April 2023 lalu. Perusahaan hutan tanaman energi (HTE) yang meninggalkan jejak deforestasi di desanya. “Keberadaan HAN sangat merugikan kehidupan masyarakat,” kata Said, Kepala Desa Nalo Gedang, saat dijumpai di rumahnya. Selasa, 30 Juli 2024. Apalagi ia mengaku, belum sama sekali bertemu dengan manajemen PT HAN. Saat dilantik sebagai kepala desa terpilih pada tahun 2022, menurutnya, hanya tinggal beberapa sekuriti saja yang menjaga camp milik perusahaan.
Kini, camp tersebut sudah mulai roboh, tidak ada lagi atap seng terpasang, begitu pun dengan papan dinding yang semuanya telah dicopot. Dari pengamatan kilasjambi.com di lapangan, di puing-puing camp masih banyak tumpukan berkas administrasi dan nota pemakaian barang dengan kop PT HAN, rerumputan menjulang menutupi hampir sekeliling camp disertai onggokan balok kayu yang sudah mulai melapuk.
Selain itu, akses menuju ke titik camp dan areal penanaman sengon sangat sulit dilalui, jalan utama dan koridor menuju lokasi sudah tertutup rapat dengan semak belukar ditambah dengan kondisi jalan yang licin dan berlumpur. Kalau pun menorobos jalan pintas melewati perkebunan sawit warga kondisinya pun hampir sama, kita harus melalui tanjakan dan turunan curam dan hanya bisa dilintasi kendaraan roda dua.
Menurut Said, sejak ada HAN, paling kerasa sulitnya warga mencari kayu yang akan dijadikan papan untuk membuat rumah, pohon berdiameter besar sudah sulit ditemukan. “Dulu areal yang dikelola HAN itu memang masih rimbo, kini yang tersisa hanya kayu jenis semacam pohon karet,” kata Said. Said menuturkan, bila sampai hari ini belum ada orang Nalo Gedang yang membuat rumah menggunakan rangka baja untuk penyangga atap. Namun menurutnya kondisi saat ini akan memaksa warga merubah kebiasaan yang turun temurun dilakukan dalam membangun tempat tinggal.
Dampak lainnya adalah banjir tahunan yang semakin luas sejak HAN beroperasi, penebangan pohon alam secara besar-besaran oleh perusahaan mengakibatkan fungsi hutan dalam menyerap dan menahan air hujan tidak lagi maksimal. “Kalau sekarang banjir di desa kami menyebabkan jalan umum tergenang, begitu juga sebagian kebun sawit warga,” kata Said.
Kades Tolak HAN Kembali Beroperasi
Said mengaku, sebagai kepala pemerintah desa dirinya tak bisa berbuat banyak terutama dalam pengawasan dan menerapkan kebijakan bagi perusahaan, koorporasi seperti HAN mendapat izin langsung dari pemerintah pusat, mereka di tataran desa hanya mendapatkan sebatas pemberitahuan saja.Untuk itu, tanpa ragu bila di kemudian hari PT HAN akan beroperasi lagi, sebagai kepala desa, Said akan menolak keberadaan perusahaan, tapi katanya, semua masih tergantung dari keputusan masyarakat terutama pemilik lahan yang mengikat janji dengan PT HAN.
“Saya pribadi menolak, karena tidak ada manfaatnya,” kata Said. “Ketika HAN pun masih aktif, warga desa yang diberdayakan juga statusnya hanya buruh kasar,” katanya menambahkan. Fakta yang bikin Said geleng-geleng kepala adalah ketika dia mengetahui bila PT HAN mendapatkan izin penguasaan lahan di Nalo Gedang selama 100 tahun, informasi ini ia peroleh langsung kala diundang rapat bersama pihak Kementerian LHK di Jakarta pertengahan tahun 2023 lalu.
“Kalau keterangan dari Kementerian, bila ia hutan murni kami juga tidak bisa melarang. Namun bila sudah ada lahan yang dikelola masyarakat dan perusahaan tidak menjalin kerja sama, kami berhak menolak,” kata Said.
HAN Akui Adanya Deforestasi
Berbeda sikap dengan Kades Nalo Gedang, manajemen PT Hijau Artha Nusa justru menginginkan perusahaan aktif kembali dan terus beroperasi, agar pembukaan tutupan hutan yang sudah dilakukan perusahaan bisa segera ditanami pohon sengon dan tidak memperluas dampak deforestasi. “Saya sebenarnya berharap perusahaan aktif terus. Kita kan buka lahan, kita tanam sengon lagi sehingga deforestasi tidak terjadi. Tapi memang penanaman tidak jalan,” kata Manajer Administrasi dan Marketing PT HAN, Muchlisin Madras melalui sambungan telepon.
Dengan aktifnya kembali HAN, Muchlisin juga berharap karyawan yang dirumahkan bisa dipekerjakan kembali dan hak-hak mereka yang belum dibayarkan bisa dilunasi perusahaan, termasuk dirinya. Ia mengaku masih tercatat di jajaran manajemen perusahaan hingga kini. Namun sejak operasional perusahaan tidak berjalan, dirinya pun tidak menerima upah lagi. “Ada beberapa orang sampai sekarang tidak dirumahkan atau tidak di-PHK. Cuma gajinya tidak dibayarkan, banyak yang tidak aktif lagi di manajemen, jadi banyak saya yang hendel semua,” katanya.
Akal-akalan PT HAN
PT HAN pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia dengan nomor SK.183/Menhut-II/2013 tertanggal 25 Maret 2013 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman. Perusahaan mendapat izin konsesi seluas 32.620 hektare yang tersebar di Kabupaten Merangin dan Sarolangun. Khusus Merangin, areal konsesi perusahaan investasi Korea Selatan itu terletak di dua desa di Kecamatan Nalo Tantan, persisnya di desa Nalo Gedang dan Baru Nalo.
Dalam dokumen akta perusahaan yang tercatat di Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang terbit pada 29 Januari 2021 dengan Nomor SP Data Perseroan AHU-AH.01.03-0063480, perseroan ini dipimpin warga negara Korea Selatan, Han Man Seong yang berposisi sebagai Direktur. Han di perusahaan ini mengempit 30.475 lembar saham atau senilai Rp3,45 miliar.
Pemilik saham lain adalah Woorim Energy CO., Ltd yang berkedudukan di Bangi-dong, Songpa, Seoul, Korea Selatan. Woorim Energy yang menjadi pemilik saham mayoritas mengantongi 142.000 lembar saham atau senilai Rp14,2 miliar. Dalam dokumen akta tercatat, perusahaan ini masuk kategori penanaman modal asing (PMA). Kemudian Lee Jonghak sebagai Presiden Direktur yang beralamat di Gangnam-gum Seoul, Korea Selatan tanpa memiliki saham, serta Mohamad Sukri sebagai Komisaris dengan 5.025 lembar saham atau senilai Rp502 juta.
PT HAN awalnya mengembangkan bisnis wood pellet untuk bahan baku energi biomassa dengan menanam pohon sengon. Alih-alih mengembangkan green energy lewat produk biomassa wood pellet, dalam praktiknya perusahaan justru gencar menebang kayu alam. Di Desa Nalo Gedang, perusahaan mulai menebang kayu pada tahun 2019. Menggunakan alat khusus, kayu-kayu gelondongan itu diangkut ke kilang penggergajian (sawmill) dan kemudian dijual ke Surabaya dan Medan.
Investasi dan label hijau yang terbungkus di PT HAN diduga hanya akal-akalan saja. Perusahaan hanya melakukan greenwashing dan kenyataan perusahaan ini sama sekali tak menjunjung konsep ESG (environment, social, and good governance). Mereka hanya menebang kayu alam dengan dalih mengembangkan energi baru terbarukan. Dugaan ini muncul lewat perbandingan dengan hutan yang telah ditebang itu lebih luas dibandingkan dengan luas penanaman sengon.
Perusahaan mengklaim bahwa sejak beroperasi pada tahun 2019 dan hingga saat ini telah menebangan pohon di lahan seluas sekitar 500 hektare lebih. Dari luasan tebangan kayu alam ini, setelah berjalan tiga tahun perusahaan baru menanam sekitar 100 ha sengon.
Tinggalkan Masalah di Masyarakat
Di sisi lain, keberadaan perusahaan juga banyak meninggalkan persoalan dengan warga sekitar, terutama terkait hak atas pengelolaan lahan masyarakat yang belum dibayarkan oleh PT HAN. Hal ini terbukti dari hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Wilayah IV Jambi pada awal Maret 2024. Dari hasil monev diketahui PT HAN belum melaksanakan kerja sama dengan koperasi masyarakat setempat begitu juga dengan kemitraan. “Selain masih ada hutang dengan masyarakat pemilik lahan, HAN juga masih ada hutang dengan desa sebesar Rp30 juta,” kata Said.
Said menceritakan, di periode pemerintahan desa Nalo Gedang sebelumnya ada perjanjian antara perusahaan dengan pihak desa terkait bagi hasil pengelolaan kawasan hutan yang dilakukan oleh HAN. Nilainya sebesar Rp130 juta, “upeti” sebesar Rp100 juta telah dibayarkan oleh HAN Ketika masih aktif beroperasi dan masih tersisa Rp30 juta. “Uang itu kami belikan lahan milik masyarakat untuk dijadikan aset desa, namun kini pelunasannya bermasalah dengan pemilik lahan karena jatah desa belum dilunasi oleh HAN,” kata Said.
Heri Jasdi, Sekretaris Desa Baru Nalo mengatakan, lahan yang sebelumnya dikelola PT HAN meski telah ditinggal perusahaan tak ada masyarakat yang berani mengusik, areal lahan yang telah ditanam sengon juga dibiarkan begitu saja. “Sengon terus lah tumbuh, tapi masyarakat dak berani juga mengganggu walau ada lahan milik mereka di situ. Baik masyarakat maupun perusahaan kini sama-sama tidak lagi beraktivitas di situ,” kata Heri.
Pengamatan di lapangan, areal lahan yang telah ditinggalkan PT HAN di beberapa perbukitan landai tampak barisan pohon sengon dengan diameter kira-kira sepaha orang dewasa. Namun, tak sedikit juga lahan yang kayu hutannya telah ditumbang sama sekali belum ditanamin sengon. Tunggul-tunggul kayu hutan masih terlihat jelas akibat aktivitas penebangan hutan. “Saya tidak bisa memastikan apakah lahan dikembalikan ke masyarakat, atau masih dalam penguasaan perusahaan,” kata Heri, saat ditemui di kediamannya akhir Juli lalu.
Ia memperoleh informasi, selain status lahan yang tidak jelas pasca HAN tidak lagi beroperasi, masih banyak hak-hak pekerja dari desa Baru Nalo dan Nalo Gedang yang belum dilunasi oleh perusahaan. “Setahu saya ada masyarakat yang hanya pekerja harian saja, tapi ada juga pemilik lahan yang sekaligus juga bekerja di PT HAN,” kata Heri Jasdi. “Pola kerja samanya yang saya tidak tahu persis seperti apa, tapi kalau untuk desa ada hitungan kubikasinya,” katanya menambahkan.
Terkait adanya fee untuk masyarakat dan desa, Muchlisin memberi penjelasan hitungannya dari setiap meter kubik kayu yang dikeluarkan sesuai dengan hasil produksi yang tercantum dalam rencana kerja tahunan (RKT) perusahaan. Perkaliannya, sebut Muchlisin, untuk perkubik kayu perusahaan mengeluarkan fee sebesar Rp50 ribu dengan pengalokasian Rp25 ribu untuk masyarakat pemilik lahan dan separuhnya lagi untuk desa. Tapi, “Sebagian besar itu sudah dibayarkan Ketika produksi masih berjalan. Untuk saat ini saya tidak tahu perusahaan masih ada hutang apa tidak, yang jelas dahulu kita bayarkan,” kata Muchlisin.
Gulung Tikar, Produksi HAN Kurang dari 50 Persen
Dari catatan BPHL Wilayah IV Jambi, sejak April 2023, PT HAN sudah tidak aktif melakukan aktivitas pemanfaatan hutan dan terindikasi telah meninggalkan areal kerja. Sehingga perusahaan belum melaksanakan realisasi kegiatan penanaman sesuai dengan rencana kerja tahunan pengelolaan hutan (RKTPH) selama tiga tahun terakhir kurang dari 50 persen, perusahaan juga belum menyampaikan laporan kinerja secara periodik ke BPHL Wilayah IV Jambi.
Manajemen pun tak mengelak bila HAN dalam beberapa tahun terakhir tidak ada lagi aktivitas. Mulai dari tahun 2021 hingga sekarang, “Sudah tidak ada kegiatan lagi di lapangan,” kata Muchlisin. Meski begitu, Muchlisin memastikan konsesi di kawasan Nalo Tantan masih milik perusahaannya. Ia dengan tegas meminta tidak satu pihak pun yang mengklaim lahan di kawasan PT HAN. “Lahan itu sebenarnya kan lahan HP (hutan produksi), 100 persen itu HP. Kalau secara aturan, tidak satu orang pun boleh mengambil kayu, apalagi mengklaim wilayah itu yang sudah diserahkan sebagai wilayah konsesi PT HAN,” kata Muchlisin.
Sementara BPHL Wilayah IV Jambi memastikan jika hasil monitoring dan evaluasi mereka terhadap PT HAN, laporannya sudah disampaikan ke KLHK. Apalagi monev tersebut juga turut dilakukan langsung perwakilan dari kementerian. Menurutnya, akan ada tindakan tegas terhadap perusahaan, namun akan didahului dengan peringatan tertulis. “Sekarang kita masih menunggu keputusan dari kementerian, biasanya perusahaan yang tidak lagi mengelola kawasan konsesinya dalam beberapa tahun seperti HAN ini akan diberikan peringatan sampai tiga kali,” kata Benny Budiansyah, Kasi Pemantauan dan Evaluasi BPHL Wilayah IV Jambi, 2 September 2024.
Benny mengatakan, pihaknya tidak bisa semena-mena untuk mencabut izin konsesi perusahaan mengingat mereka sudah banyak menggelontorkan investasinya. Tapi setelah dalam tiga kali peringatan PT HAN tetap tidak bisa memenuhi kewajibannya melakukan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan yang diberikan baru akan ada pertimbangan izinnya dicabut. “Pelepasan kawasan ke masyarakat melalui skema perhutanan sosial sangat mungkin dilakukan, bila HAN tidak merespon tiga kali peringatan yang kita layangkan ke mereka,” kata Benny menegaskan.
FWI dan Walhi Dorong Izin HAN Dicabut
Dari hasil analisa yang dilakukan Forest Watch Indonesia (FWI), luas deforestasi sepanjang tahun 2017-2021 akibat eksploitasi hutan yang dilakukan PT HAN seluas 3.732,9 hektare, jumlah tersebut berpotensi makin bertambah dengan adanya ancaman deforestasi pada tahun 2022-2023 seluas 225,3 hektare. Sedangkan tegakan sengon, FWI mendapati hanya seluas 64,5 hektare. Ini belum lagi terusirnya kelompok Orang Rimba yang telah lama mendiami kawasan hutan di Nalo Gedang yang dikelola oleh PT HAN.
Hasil monev yang dilakukan BPHL Wilayah IV Jambi terhadap PT HAN juga menjadi sorotan FWI. Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI, Anggi Putra Prayoga, mengatakan dari laporan monev itu menunjukkan ketidakmampuan HAN baik dari segi finansial maupun sumber daya manusianya dalam mengelola wilayah konsesinya dalam menanam sengon sebagai bahan baku pengganti energi fosil. “Kita bersama Walhi Jambi sepakat mendorong kepada pemerintah untuk mencabut izin PT HAN,” kata Anggi via sambungan telepon, 12 Agustus 2024.
Ia juga mendorong lahan konsesi PT HAN diserahkan dan dikelola oleh masyarakat, menurutnya, kamuflase HAN sudah terendus untuk menghabiskan ruang hutan di Jambi. Apalagi ada potensi PT HAN akan melakukan take over areal konsensi ke perusahaan lain. “Masih ada hutan alam tersisa di sana, ini bisa makin dihabisi bila terjadi take over,” kata Anggi. “Belum lagi terjadi asimetris informasi, hingga saat ini warga di Nalo masih menunggu HAN bagi hasil dari panen kayu sengon di kampung mereka, sedangkan HAN sudah tidak aktif lagi,” kata Anggi menambahkan.
Manajer Advokasi Walhi Jambi, Eko Mulia Utomo mengatakan bila dari awal mereka telah menolak keberadaan PT HAN dengan pertimbangan di konsesi perusahaan masih terdapat kesatuan wilayah adat yang masih dikelola masyarakat dengan kearifan lokalnya. Pertimbangan lainnya, aktivitas HAN membuat berubahnya kondisi bentang alam dengan alih fungsi hutan karena komoditi utama perusahaan adalah sengon. “Situasi hari ini tentu kita mendorong izin HAN dicabut dan dikembalikan hak kelolanya ke masyarakat,” kata Eko. Senin, 26 Agustus 2024.
Eko menjelaskan, bila dikembalikan ke masyarakat pengelolaanya bisa dilakukan dengan banyak skema tanpa harus merubah bentang alam. Status tetap kawasan hutan, dan pemerintah bisa melakukan pendekatan dengan skema perhutanan sosial. “Tapi perlu juga dicatat, kita tidak hanya mengusulkan pelepasan kawasan HAN saja, tapi juga masyarakat perlu dipersiapkan untuk bisa mengelola kawasan hutan tersebut,” kata Eko.
Konteksnya, kata Eko, masyarakat tentu punya kearifan sendiri soal pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan kawasan hutan. Hanya saja, perlu diperkuat kapasitas dan pemahaman kepada masyarakat untuk mengelola hutan berdasarkan regulasi yang berlaku.
Pasca HAN tidak lagi beroperasi, Walhi Jambi telah melakukan assessment awal terhadap sejumlah desa yang berada di sekitar konsesi HAN di Kecamatan Nalo Tantan, Kabupaten Merangin. Walhi mengaku tengah melakukan pengumpulan data di lapangan untuk melakukan analisis. “Kita terus buka ruang diskusi dengan warga, terutama soal dampak kerusakan lingkungan yang mulai mereka rasakan,” kata Eko.
“Belum lagi ternyata sebagian masyarakat tidak tahu bila lahan mereka masuk ke dalam konsesi HAN,” katanya menambahkan. Hanya saja, Walhi belum bisa merincikan berapa luasan deforestasi akibat “pembalakan” yang dilakukan HAN. Namun Walhi mendapati bila ada beberapa lubuk larangan tempat bibit ikan bersemayam di beberapa titik sungai sudah menghilang.
Dari assessment itu nantinya, Walhi memastikan akan menelusuri dugaan adanya pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaan seperti intimidasi ke masyarakat, “Tapi konteks awal kita masuk dulu ke pelanggaran administrasi,” kata Eko.
Penggundulan Hutan Picu Perubahan Iklim
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listik, hingga kini terus mempopulerkan biomassa menjadi satu dari sederet sumber energi terbarukan pengganti energi fosil. Namun ada celah untuk mendapatkan bahan baku alternatif sebagai pengganti energi fosil batu bara itu bakal menyisakan persoalan penggundulan hutan.
Kondisi itu nantinya justru akan menambah emisi dari sektor kehutanan, pertanian, dan lahan (AFOLU). Greenpace Indonesia menilai dari awal memang tidak ada niat yang tulus dari pemerintah untuk benar-benar meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi bersih. Persoalan krisis iklim saat ini sudah jelas dan tidak terbantahkan. Sehingga jika skema palsu (co-firing PLTU) ini tetap dijalankan akan memperparah emisi.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memang menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara yang aktif untuk program energi terbarukan dengan menggunakan biomassa. Program ini untuk mencapai target net zero emission yang tersusun dalam peta jalan menuju 100 persen energi terbarukan pada 2060. Dukungan untuk mencapai net zero emission ini diberikan dalam berbagai bentuk, salah satunya menggenjot co-firing PLTU.
Co-firing adalah pembakaran dua (atau lebih) jenis bahan yang berbeda pada waktu yang sama. Salah satu keuntungan dari co-firing adalah pembangkit yang ada dapat digunakan untuk membakar bahan bakar baru, yang mungkin lebih murah atau lebih ramah lingkungan seperti biomassa. Peluang bisnis biomassa ini banyak dilirik dan dimanfaatkan investor dengan kedok investasi dan label hijau, mereka berlomba-lomba dapat mengantongi izin konsesi dari pemerintah. Salah satunya seperti yang dilakukan PT Hijau Artha Nusa yang beroperasi di Provinsi Jambi. Dengan modus perusahaan hutan tanaman energi, mereka justru menggasak tutupan hutan yang menjadi salah satu pemicu makin lajunya perubahan iklim.
Dari pengamatan iklim di Provinsi Jambi oleh BMKG dimulai sejak tahun 1983. Kenaikan suhu di Jambi terus meningkat seiring dengan peningkatan suhu udara di Indonesia dan perubahan iklim global. Pada tahun 2023 kondisi iklim di Indonesia mengalami rekor tahun terpanas kedua dibanding tahun normal (1991-2020) dengan anomali sebesar +0.5 derajat celcius, demikian juga untuk Provinsi Jambi, di mana kondisi terpanas terjadi di tahun 2023 tepatnya pada tanggal 14 Mei 2023. Pada saat itu, data hasil pengamatan Stasiun Klimatologi Jambi di Kabupaten Muaro Jambi sebesar 36.1 derajat celcius.
Baiknya Izin Konsesi di Lahan Terbengkalai
Akademisi UIN Sultan Thaha Saifuddin (STS) Jambi, Arfan Aziz menyebut, dugaan akal-akalan yang dilakukan perusahaan seperti HAN dimulai dari persoalan adanya tiga blunder kebijakan pemerintah dalam pengelolaan kawasan hutan. Yaitu hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI) dan hak guna usaha (HGU). Blunder yang menurutnya dilakukan negara sejak jaman orde baru.
“Sudah tahu tiga kebijakan itu blunder, kenapa pemerintah langsung memberikan izin konsesi kepada perusahaan seperti HAN secara gelondongan dan tersebar di tiga blok (Blok Tabir Barat-Tabir Ulu, Blok Nalo Tantan dan Blok Sarolangun),” kata Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN STS Jambi itu. Kamis, 29 Agustus 2024.
Arfan sangat mendukung kebijakan transisi energi yang gencar digaungkan pemerintah, sebab tidak selamanya masyarakat bergantung dengan energi fosil dan harus mulai beralih ke energi baru terbarukan (EBT) untuk mendukung target net zero emission yang tersusun dalam peta jalan menuju 100 persen energi terbarukan pada 2060 melalui program biomassa.
Namun, kata Arfan, target bebas emisi ini juga tidak harus memberikan izin konsesi kepada perusahaan dengan label investasi hijau di kawasan hutan yang masih terlindungi tutupan hutannya. Sehingga yang terjadi di lapangan kenyataannya koorporasi malah membabat tegakan pohon yang membuat terjadinya deforestasi besar-besaran dan justru menyebabkan terjadinya pelepasan emisi. “Hemat kami, akan lebih baik pemerintah dalam hal ini KLHK berikan izin konsesi kepada perusahaan seperti HAN di lahan-lahan yang terbengkalai. Bukannya di kawasan hutan,” kata Arfan.
Konsesi di kawasan hutan ini, katanya, banyak menimbulkan permasalahan. Mulai dari konflik warga dengan perusahaan, masyarakat dengan satwa, terusirnya komunitas adat terpencil hingga pada perubahan lansekap alam. “Yang terbesar tentu berdampak besar kepada kerusakan lingkungan yang memiliki efek jangka panjang,” kata Arfan.
Jadi solusinya memang negara tidak perlu memberikan izin pelepasan kawasan hutan ke perusahaan dengan volume yang sangat luas. Arfan mendorong, izin konsesi ke perusahaan diberikan secara bertahap, serta harus dilakukan monitoring dan evaluasi. “Selain izin diberikan saja kepada lahan yang terbengkalai tadi, luasannya juga bertahap, tidak perlu langsung tiga blok seperti yang dikantongi HAN. Ini bisa jadi solusi menurut kami,” katanya.
*Tulisan ini didukung Forest Watch Indonesia (FWI) dalam program “Transisi Energi Watch: Journalist Fellowship Program”
Sumber tulisan ini berasal dari kilasjambi.com