- Peringatan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2024, mengambil tema “Restorasi Lahan, Penggurunan, dan Ketahanan terhadap Kekeringan”.
- António Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, memberi pesan bahwa umat manusia bergantung pada tanah. Namun, polusi telah memusnahkan hutan dan padang rumput, serta menguras kekuatan tanah untuk mendukung ekosistem, pertanian, dan masyarakat. Hal ini berarti panen gagal, sumber air menghilang, ekonomi melemah, dan masyarakat terancam punah.
- Deforestasi masih menjadi penyebab utama ancaman kepunahan keanekaragaman hayati di Dikutip dari Forest Watch Indonesia, deforestasi tahun 2017-2021 dengan nilai rata-rata 2,54 juta ha/tahun atau setara 6 kali luas lapangan sepakbola per menit, telah menggiring Indonesia pada jurang krisis iklim.
- Akhir Mei 2024, masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi dari Papua, protes mengenai hutan adat mereka yang dijadikan konsesi sawit. Hutan adat tersebut adalah sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat Awyu dan Moi. Hutan itu juga habitat flora dan fauna endemik Papua, serta penyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar.
Secara global, 5 Juni dirayakan sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Peringatan ini, pertama kali ditetapkan PBB [Perserikatan Bangsa-Bangsa] saat konfrensi Stockholm tahun 1972.
Tema “World Environmental Day 2024” adalah “Restorasi Lahan, Penggurunan, dan Ketahanan terhadap Kekeringan”. Arti lain penggurunan dikutip dari Wikipedia adalah disertifikasi, yakni jenis degradasi lahan yang relatif kering menjadi semakin gersang, kehilangan badan air dan vegetasi, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Hal ini disebabkan berbagai faktor misalkan perubahan iklim dan juga aktivitas manusia.
Restorasi lahan merupakan pilar utama dari Dekade PBB tentang Restorasi Ekosistem [2021-2030], sebuah seruan untuk melindungi dan menghidupkan kembali ekosistem di seluruh dunia, yang sangat penting untuk mencapai SDGs [Sustainable Development Goals] atau tujuan pembangunan berkelanjutan. António Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, dalam pesannya mengatakan bahwa umat manusia bergantung pada tanah. Namun, di seluruh dunia, campuran beracun dari polusi, kekacauan iklim, dan pemusnahan keanekaragaman hayati mengubah lahan yang sehat menjadi gurun, dan ekosistem yang berkembang menjadi zona mati.
“Polusi tersebut memusnahkan hutan dan padang rumput, serta menguras kekuatan tanah untuk mendukung ekosistem, pertanian, dan masyarakat. Hal ini berarti panen gagal, sumber air menghilang, ekonomi melemah, dan masyarakat terancam punah. Kelompok masyarakat yang paling terancam dan terpukul,” ungkapnya. Menurut Guterres, negara-negara di dunia harus memenuhi semua komitmennya untuk memulihkan ekosistem dan lahan yang terdegradasi. Juga, memenuhi seluruh kerangka kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal atau dikenal dengan istilah The Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework.
Negara-negara anggota tersebut harus menggunakan rencana aksi iklim nasional yang baru untuk menetapkan bagaimana mereka menghentikan dan membalikkan deforestasi pada tahun 2030. Selain itu, harus meningkatkan pendanaan secara drastis untuk mendukung negara-negara berkembang dalam beradaptasi dengan cuaca yang tidak menentu, melindungi alam, dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
“Pembangunan berkelanjutan sedang menderita dan kita terjebak dalam siklus mematikan. Penggunaan lahan bertanggung jawab atas sebelas persen emisi karbon dioksida yang memanaskan planet kita. Saatnya untuk membebaskan diri. Kita adalah Generasi Restorasi. Bersama, kita bangun masa depan berkelanjutan untuk tanah dan umat manusia,” ujar Guterres.
Permasalahan di Indonesia
Indonesia sebagai negara kepulauan, dikenal memiliki sumber daya alam dan keanekaragaman hayati luar biasa. Dengan kelimpahan biodiversitas ini, kita bisa mendapatkan penghidupan yang layak melalui penyediaan sumber nutrisi, sumber pangan, sumber air, sumber obat-obatan, dan juga ekosistem lain yang menunjang sendi-sendi kehidupan manusia. Meski dijuluki negara megabiodiversity, namun Indonesia memiliki tingkat ancaman kepunahan spesies flora dan fauna yang mengkhawatirkan. Deforestasi masih menjadi penyebab utama terkait ancaman kepunahan keanekaragaman hayati Indonesia.
Dikutip dari Forest Watch Indonesia, deforestasi tahun 2017-2021 dengan nilai rata-rata 2,54 juta ha/tahun atau setara 6 kali luas lapangan sepakbola per menit, telah menggiring Indonesia pada jurang krisis iklim. Situasi ini memperlihatkan bahwa hutan Indonesia tidak dalam keadaan baik-baik saja. Tingginya tingkat kerusakan sumber daya hutan terjadi hampir di setiap region. Region Kalimantan misalnya, masih menunjukan nilai rata-rata deforestasi sebesar 1,11 juta hektar/tahun. Lalu, diikuti Papua [556 ribu hektare/tahun], Sumatera [428 ribu hektar/tahun, Sulawesi [290 ribu hektar/tahun, Maluku [89 ribu hektar/tahun], Bali Nusa [38 ribu hektar/tahun], dan Jawa [22 ribu hektar/tahun].
Pada 27 Mei 2024, masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi dari Papua melakukan protes dan gugatan dengan cara unjuk rasa di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta. Protes tersebut berkaitan dengan upaya masyarakat adat dalam mempertahankan hutan adat mereka, yang menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat Awyu dan Moi. Hutan tersebut juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, serta penyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar.
Namun, lahan masyarakat adat tersebut telah dijadikan sebagai konsesi sawit kepada beberapa perusahaan, di antaranya PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan ini mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektar, atau lebih dari setengah luas Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro–bagian dari suku Awyu. Selain itu, gugatan kasasi juga dilakukan masyarakat adat Awyu kepada PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel, Papua bagian selatan.
Sumber tulisan ini berasal dari mongabay.co.id