MEMERDEKAKAN TANAH DAN AIR DI KAWASAN PUNCAK BOGOR

Kamis, 17 Agustus 2017

Enam puluh enam meter persegi kain merah putih dibentangkan di komplek vila Tugu Utara, Puncak, Bogor. Bentangan kain merah putih menjadi simbol aksi dari enam puluh enam kali luas Kebun Raya Bogor hutan alam yang hilang di Kawasan Puncak selama 16 tahun terakhir (2000-2016).

Hutan di Puncak berperan sebagai pengatur tata air di wilayah hulu hingga hilir Ciliwung, habitat untuk satwa endemik, dan menjadi tumpuan hidup masyarakat. DAS Ciliwung yang memiliki luasan sekitar 38 ribu hektare, saat ini menyisakan 3,4 ribu hektare hutan alam atau 8,9 persen dari luas wilayahnya. Semua hutan alam yang tersisa tersebut berada di kawasan Puncak.

Saat ini ada dua kebijakan yang mengatur penataan ruang di kawasan Puncak yang saling bertentangan. Pada tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (d/h Kementerian Kehutanan) melalui Surat Keputusan Nomor 195 Tahun 2003, telah menunjuk wilayah di Kawasan Puncak sebagai hutan produksi dan hutan konservasi. Kemudian di tahun 2008, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 yang menetapkan Kawasan Puncak menjadi kawasan hutan lindung yang memiliki fungsi konservasi tanah dan air. “Sayangnya, pengelolaan kawasan Puncak oleh Pemerintah Daerah tidak mengindahkan Peraturan Presiden dalam pengelolaan kawasan. Hal ini menyebabkan terjadinya alih fungsi Kawasan Puncak melalui praktek-praktek pembangunan yang tidak konservatif terhadap sumber daya air dan tanah. Jelas ini mengancam ketersediaan air di masa yang akan datang akibat maraknya konversi hutan”, ujar Anggi Putra Prayoga, Koordinator aksi.

Tahun 2017, sebesar 50 persen kawasan hutan lindung di desa Tugu Utara dan Tugu Selatan telah beralih fungsi menjadi pemukiman, vila-hotel, dan kebun teh. Salah satu dampak yang dirasakan, sejak tahun 2015 masyarakat mengalami kekeringan dan kesulitan mengakses air bersih, terutama saat musim kemarau. Kemudian diperparah dengan keberadaan vila dan hotel yang menguasai sebagian besar sumber mata air bahkan hingga menutup akses sumber air untuk masyarakat. Hal ini menunjukan potret buram kinerja Pemerintah daerah yang belum mampu memberikan keadilan atas akses tanah dan air bagi masyarakat puncak. “Nyatanya, 72 tahun Indonesia Merdeka, Negara belum hadir untuk memberikan keadilan dan penghidupan yang layak bagi rakyat”, tutur Linda Rosalina, Pengkampanye FWI dalam orasinya.

***

Catatan Editor:

  1. Forest Watch Indonesia (FWI) merupakan jaringan pemantau hutan independen yang terdiri dari individu-individu yang memiliki komitmen untuk mewujudkan proses pengelolaan data dan informasi kehutanan di Indonesia yang terbuka sehingga dapat menjamin pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan.
  2. Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan di Kawasan Puncak Bogor merupakan hulu dari DAS Ciliwung

Kontak untuk wawancara:

Anggi Putra Prayoga, Koordinator Aksi

anggiputraprayoga@fwi.or.id/ 082298317272

Linda Rosalina, Pengkampanye FWI

linda@fwi.or.id/ 085710886024

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Get the latest news via email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.


Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top