Kekayaan hutan tropis dari Merauke sampai Sabang menjadikan Indonesia sebagai salah satu paru-paru dunia. Setidaknya begitu yang melekat di ingatan dari buku-buku pelajaran Biologi dan Geografi di sekolah-sekolah. Mirisnya, hal itu patut dipertanyakan lantaran eksploitasi hutan begitu serampangan hingga merusak alam. Tak hanya flora dan fauna yang dirugikan, kehidupan masyarakat adat di wilayah masing-masing pun sama.
“Indonesia dengan luas hutan 131.156.904,97 ha yang terdiri dari Hutan Konservasi 27.215.511,5 ha, Hutan Lindung 29.994.821,01 ha, Hutan Produksi 73.946.572,41 ha, merupakan salah satu hutan terbesar di dunia setelah hutan Kongo di Afrika, Brasil di Amerika (Selatan) dan sekaligus menjadi paru-paru dunia. Namun potensi sumber daya hutan jika tidak dijaga kelestariannya akan terdegradasi oleh perilaku manusia yang tidak ramah terhadap lingkungan,” tulis Abdul Rahman Nur dalam Hukum Kehutanan.
Perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan tentu bukan perilaku perorangan macam petani, tapi perilaku ugal-ugalan perusahaan swasta yang berbisnis kayu bermodal konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan, serta Hutan Tanaman Industri (HTI). Bermodal izin tersebut, perusahaan-perusahaan itu membabat hutan dalam jumlah besar hingga kerap berkonflik dengan warga dan masayarakat adat di sekitar lahan konsesi.
Keindahan yang Terjaga dari Hutan Tua
Kasus terbaru terjadi di Papua. Suku Awyu dan suku Moi yang hutan adatnya dirusak, menggugat PT Indo Asiana Lestari (PT IAL), yang membuka lahan perkebunan 36.094 hektare di Biven Digoel, Papua Selatan dan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang membuka 18.160 hektare hutan di Sorong. Mengutip siaran pers organisasi non-pemerintah Greenpeace di laman resminya , 27 Mei 2024, sejumlah masyarakat adat suku Awyu dari Boven Digoel dan suku Moi dari Sorong sampai jauh-jauh datang ke Mahkamah Agung untuk menuntut pembatalan izin perusahaan penggarap sawit itu dan mengembalikan hutan adat mereka.
Tak hanya menyulut konflik, deforestasi akibat eksploitasi berlebihan para pemegang HPH juga mengakibatkan bencana alam. Seperti banjir besar dan longsor yang terjadi di 11 kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan medio 2021 silam atau banjir di Katingan, Kalteng yang merendam 5700 rumah warga hingga awal Juni ini.
Menukil artikel Forest Watch Indonesia, “Di balik Rusaknya Hutan Indonesia”, dalam majalah Intip Hutan edisi April 2003, deforestasi dan kerusakan hutan rata-rata mencapai dua juta hektare per tahun. Meski konsesi HPH baru dimulai pada 1967, kerusakan hutan yang ditimbulkannya luar biasa mengerikan dan makin masif memasuki dekade 1980-an saat rezeki Indonesia dari oil booming sudah habis.
Karpet Merah Eksploitasi Hutan
Hutan merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat Nusantara pra-kolonialisme Barat. Perlahan, kondisinya berubah setelah kolonialis masuk. Kongsi Dagang Hindia Timur VOC memulai eksploitasi hutan lewat budidaya hutan jati (tectona grandis ) dan eksploitasi kayu untuk kebutuhan industri gula terbatas di Pulau Jawa. Pemerintah Hindia Belanda sebagai penerusnya memperluas deforestasi untuk perkebunan berbagai komoditas yang jadi primadona di pasar dunia: kopi, teh, tebu, kina, tembakau.
Semasa pemerintahan Sukarno, yang pengelolaan hutannya bersifat desentralistik, eksploitasi hutan masih minim. Hanya Mitsui Nanpo Ringyo, investasi asing dari perusahaan Jepang, yang memiliki izin eksploitasi hutan pada 1960-an di Kalimantan.
“Setelah meredanya konfrontasi Indonesia-Malaysia pada 1964, hutan Kalimantan menjadi incaran banyak negara. Mitsui Nanpo Ringyo Kaisha Ltd memaraf perjanjian pembukaan hutan dengan Perhutani di Sampit, Kalimantan Tengah dan Kotabaru di Kalimantan Selatan. Ini merupakan kontrak karya pertama dengan asing yang disepakati untuk mengeruk hutan Kalimantan dengan rencana pembukaan hutan dimulai pada 1966, masing-masing 20.000 meter kubik di Sampit dan Kotabaru hingga 10 tahun,” ungkap Ahmad Arif dalam Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan.
Lalu seiring pergantian rezim dan kontrak karya untuk Freeport-MacMoran untuk mengeruk “gunung emas” di Papua, sejumlah perusahaan asing juga masuk melalui karpet merah yang digelar pemerintahan transisi Orde Baru (Orba) pada awal 1967. Bahkan sebelum Jenderal Soeharto resmi menjabat presiden karena masih berstatus ketua Presidium Kabinet Ampera, Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing pada Januari 1967 sudah dikeluarkan. Pada Mei 1967, izin untuk mengeruk hutan diperkuat dengan UU No. 5 Tahun 1867 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.
“Sejak diundangkannya UU No. 5 Tahun 1967, dimulailah upaya menggali potensi bidang (kehutanan) tersebut dengan cara memberi konsesi Hak Pengusahaan Hutan kepada para pemilik modal. Akibatnya sejak 1967 hingga 1980, dikeluarkan 519 HPH dengan luas areal 53 juta hektare,” urai Siun, akademisi Universitas Airlangga, dalam disertasinya pada 2005, Hak Pengusahaan Hutan di Indonesia.
HPH pun diobral. Tak hanya kepada perusahaan nasional tapi juga asing. Pebisnis Bob Hasan, yang mendapat julukan “Si Raja Hutan”, jadi salah satu yang paling melejit bisnis kayunya berkat keuntungannya jadi agen tunggal yang menentukan pihak-pihak asing yang bisa mendapat HPH di Kalimantan sejak 1971.
“Pada 1971 Bob Hasan diberi kepercayaan Soeharto untuk menjadi agen tunggal bagi perusahaan-perusahaan asing yang mau menanam modalnya di bidang kehutanan di Kalimantan dan tempat-tempat lain. Dalam kesempatan itu Bob menjadi mitra patungan perusahaan Amerika Serikat, Georgia Pacific. Bob pun menjadi perantara mempertemukan perusahaan-perusahaann asing dengan mitra patungannya di Indonesia,” tulis Sri Bintang Pamungkas dalam Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara.
Saat ekspor kayu gelondongan dilarang pemerintah dan Georgia Pacific terpaksa dijual pada 1981, Bob Hasan menebusnya dengan perusahaannya, Kalimanis Group. Sejak saat itu Bob memimpin Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) sekaligus Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dengan menguasai pemasokan dan pasar kayu lapis terbesar di dunia dengan memegang HPH seluas dua juta hektare.
Akibatnya, masyarakat adat dikangkangi. Tanah dan hutan adat mereka dalam kondisi tak menentu dan jelas terancam. Dalam Pasal 17 di UU No. 5/1967 memang diatur hak-hak masyarakat hukum adat dan anggota masyarakat untuk mendapatkan manfaat dengan memungut hasil hutan, namun itu harus atas seizin pemegang HPH.
“Aturan hukum tersebut pada dasarnya tidak memberikan pengakuan yang tegas dan jelas terhadap hak masyarakat tradisional setempat, akan tetapi hanya memberi kesempatan, untuk meminta izin kepada pejabat yang berwenang dan pemegang HPH untuk memungut hasil hutan. Pemegang HPH tidak boleh menolak tapi dengan syarat hanya untuk memenuhi keperluan dipakai sendiri dan tidak untuk diperdagangkan. Ini bukan suatu hak dan juga pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat. Sungguh bertentangan dengan prinsip hak ulayat yang pada dasarnya merupakan hak atas tanah dan segala benda yang ada di atasnya,” sambung Siun.
Kerusakan alam dan hak masyarakat adat jadi hal yang memprihatinkan di era itu. Pasalnya demi kepentingan politik dan ekonomi, penguasa memanfaatkan birokrat hingga aparat militer untuk memperlancar eksploitasi hutan yang serampangan dari Sumatera hingga Papua. Kerusakan hutan yang diakibatkan HPH sampai membuat Bung Hatta sedih. Dalam Pasang Surut Pengusaha Pejuang, Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta, menuturkan bahwa Bung Hatta sampai tak habis pikir hutan alam Indonesia yang –dia perjuangkan sejak muda– begitu banyak bisa rusak parah dalam sekejap akibat nafsu tak terkendali.
“Eksploitasi hutan oleh HPH yang telah berlangsung kurang lebih 35 tahun telah mendorong hancur dan rusaknya hutan sebagai tempat hidup dan kehidupan bagi masyarakat sekitar hutan dan masyarakat adat. Tidak hanya hutan yang rusak, sungai juga ikut tercemar dengan adanya limbah-limbah industri plywood dan industri-industri kayu lainnya yang memang menggunakan bahan-bahan beracun ebagai bahan aditifnya. Upaya hukum hanya bisa ditempuh berdasarkan pasal 34 UUPLH yang memungkinkan gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti rugi atau biaya pemulihan lingkungan,” ungkap Forest Watch Indonesia dalam artikel “Konflik Antara Masyarakat Sekitar Hutan, Masyarakat Adat, dan Perusahaan Pengusahaan Hutan: Studi Kasus di Propinsi Kalimantan Tengah” dalam Intip Hutan edisi Mei-Juli 2003.
Sumber tulisan ini berasal dari Historia.id