Alat berat berwarna oranye menghantam satu per satu pohon di area konsesi PT Hijau Artha Nusa (HAN), yang secara administrasi berada di wilayah Desa Nalo Gedang, Kecamatan Nalo Tantan, Merangin, Jambi, Selasa (6/8). Dataran yang sebelumnya hijau nan rindang, kini terbuka. Sedangkan di titik yang lain, pepohonan sudah pada tumbang. Bibit kelapa sawit yang siap ditanam berbaris di titik pembukaan lahan tersebut. Ada pula pondok beratap terpal biru yang tidak diketahui siapa pemiliknya. “Banyak sawit yang ditanam di sini. Sangat prihatin kawasan hutan dialihkan ke perkebunan sawit,” kata Deri Sopian (33), warga Merangin.
Deri saat itu menelusuri area PT HAN dengan mengendarai sepeda motor. Tidak hanya melihat terjadinya deforestasi dan alih fungsi lahan, potongan kayu gelondongan ditemukan Deri tidak jauh atau beberapa meter dari pos satpam PT HAN. Deri bahkan sempat berpapasan dengan truk yang sedang mengangkut beberapa kayu gelondongan di area tersebut.
PT HAN sendiri mengantongi izin konsesi Hutan Tanaman Energi (HTE) seluas 32.620 sesuai dengan SK.183/Menhut-II/2013. Area konsesinya terdiri dari tiga blok yang berada di Kabupaten Sarolangun dan Merangin. Sebagai bagian dari investasi Penanaman Modal Asing, perusahaan ini dibangun dengan dana operasional dan pembangunan usaha berasal dari Korea Selatan. Perusahaan ini sejak awal dirancang untuk memenuhi kebutuhan biomassa kayu dalam bentuk wood pellet ke Korea Selatan, bukan untuk Indonesia.
Hasil perhitungan Forest Watch Indonesian (FWI), PT HAN hanya melakukan penanaman sengon di lahan seluas 64,5 hektare. Sementara rencana penanaman energi PT HAN hingga tahun 2024, hanya seluas 18.087 hektare. Perusahaan itu bergerak dengan label investasi dan label hijau, tetapi sama sekali tidak menjunjung konsep ESG (environment, social, and good governance) dan hanya melakukan greenwashing.
Apa itu greenwashing? Menurut Investopedia, greenwashing adalah proses penyampaian informasi yang palsu dan menyesatkan tentang label ramah lingkungan sebuah produk atau perusahaan. Greenwashing adalah klaim yang tidak berdasar untuk menipu konsumen atau pihak lain agar percaya bahwa produk suatu perusahaan ramah lingkungan. Deforestasi yang terjadi di area PT HAN mencapai 4.834,52 hektare pada 2017-2021 dan 225 hektare pada 2022-2023, lebih luas dibandingkan dengan luas penanaman sengon yang dilakukan perusahaan itu yakni hanya berkisar 100 hektare. Mereka hanya menebang kayu alam dengan dalih mengembangkan energi baru terbarukan.
Izin konsesi PT HAN berlaku hingga 2073, tetapi perusahaan ini berhenti beroperasi. Bangunan mes dan pos satpam PT HAN terbengkalai, bahkan ada yang tinggal kerangka. Sesuai dengan laporan Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) terkait Hasil Monitoring dan Evaluasi Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH), PT HAN secara resmi menyatakan sudah tidak aktif sejak April 2023.
Perusahaan ini telah meninggalkan dampak buruk pada lingkungan. Kerugian negara tentu tak terelakkan. Lahan konsesi HTE ini dibiarkan sehingga kerusakan lebih lanjut. Tidak heran, sepanjang penyusuran hutan, Deri bukan melihat hutan penghasil bahan baku energi. Ia hanya menemukan jejak deforestasi, pembalakan liar, dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Bahkan, ia menemukan satu lokasi penambangan emas ilegal yang sudah ditumbuhi semak-semak.
Pembalakan kayu yang ditemukan Deri, mengingatkan pada penangkapan yang dilakukan Polres Merangin dua tahun lalu. Saat itu, delapan warga Desa Nalo Baru ditangkap lantaran terlibat kasus illegal logging di area konsesi PT HAN. Delapan pelaku pembalakan liar itu divonis satu tahun penjara.
Menurut Deri, aktivitas ini meningkat sejak perusahaan tidak beroperasi. Lebih lanjut, Deri menduga banjir yang terjadi di dekat Sungai Tantan dan Sungai Ulak merupakan dampak kerusakan ekologis yang terjadi di area PT HAN. “Sungai itu berdampak, terjadi kenaikan debit air yang akhirnya bermuara ke Sungai Tantan. Ketika banjir, yang paling parah itu di Sungai Ulak,” kata Deri.
Ia pun menyesalkan tindakan pemerintah yang memberikan karpet merah untuk perusahaan melakukan deforestasi berkedok HTE. Pembukaan lahan yang terjadi di area konsesi itu mengakibatkan pelepasan emisi karbon. “Transisi energi yang kalau dilihat sekarang, itu bullhsit. Pemerintah katanya melakukan perubahan energi yang lebih baik, tetapi pembukaan lahan tidak seimbang dengan program tersebut. Pembukaan lahan yang masif juga menyebabkan bencana bukan peralihan energi yang lebih baik,” ujarnya.
Kepala Desa Nalo Gedang Said menyampaikan sejak perusahaan membabat hutan, banjir tahunan yang terjadi di permukiman semakin parah. Genangan air itu menutup jalan sehingga aktivitas masyarakat terganggu. “Tingkat kebanjiran tinggi. Setiap tahun pasti ada kalau hujan tinggi, tetapi tidak separah sebelumnya. Kebun sawit masyarakat yang di pinggir sungai juga terganggu,” ujarnya. Ia mengatakan pihaknya tidak akan menerima PT HAN beroperasi lagi di Desa Nalo Gedang karena perusahaan tersebut terbukti merugikan desa. “Tidak menguntungkan juga. Tetapi kalau memang serius tidak apa. Tetapi kini terbukti tidak serius,” katanya.
Tambang emas ilegal mencemari sungai
Sementara itu, beberapa titik di area konsesi PT HAN yang berada di Desa Ranggo, Kecamatan Limun, Sarolangun, Jambi, beralih menjadi pertambangan emas tanpa izin alias PETI. Sejak adanya pertambangan emas ilegal, tidak hanya di area konsesi PT HAN, sungai sebagai sumber air bagi masyarakat mengalami pencemaran. Masyarakat Desa Ranggo pun sempat mengalami gatal-gatal karena menggunakan air sungai itu.
Mereka kini terpaksa memenuhi kebutuhan air dengan memanfaatkan mata air di area bukit, berjarak sekitar dua kilometer dari permukiman Desa Ranggo. Tidak hanya itu, sebagian masyarakat pun beralih menjadi pelanggan air galon. Bahkan, ada yang membeli air dengan harga Rp 20.000 per drum. “Mana yang punya modal, pakai mobil angkutnya. Ketika sampai rumah, isi lagi pakai tedmon. Begitulah sekarang. Ada juga yang jual air galon keliling, satu galon seharga Rp 10.000. Sumur bor pun tidak jernih lagi, tetap disaring,” kata Mashuri, salah satu warga Desa Ranggo, Minggu (20/8).
Berdasarkan data dari FWI, terjadi alih fungsi hutan primer dan sekunder wilayah konsesi PT HAN pada tahun 2013 hingga 2022. Dari 32.189,17 hektare wilayah konsesi perusahaan itu, 182,41 hektare telah menjadi perkebunan, pertanian lahan kering seluas 12,36 hektare, pertanian lahan kering campur seluas 15.277,10 hektare, lahan terbuka seluas 300,8 hektare, semak belukar sekitar 544 hektare, dan pertambangan berkisar 374,24 hektare. Sedangkan menurut Dirjen Perkebunan, luas perkebunan kelapa sawit di area konsesi PT HAN mencapai 390,56 hektare pada tahun 2019.
Tutupan hutan primer yang tersisa di PT HAN pada 2022 berkisar 10.408,18 hektare, sedangkan hutan sekunder seluas 2.441,85 hektare. Imbas deforestasi serta alih fungsi lahan 2013-2022, terjadi pelepasan emisi karbon sebesar 1.007.677,72 ton CO2-e. Kerugian ekologis ini belum termasuk deforestasi dan alih fungsi lahan yang berlangsung pada periode 2023-2024.
Potensi kerugian negara
Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI Anggi Putra Prayoga mengatakan pelepasan emisi karbon karena deforestasi dan alih fungsi area di PT HAN memperparah laju perubahan iklim. Aktivitas pelepasan emisi karbon pun menyebabkan kerugian negara karena ada pajak karbon yang tidak dibayarkan. “Hutan tanaman energi ini menjawab kebutuhan apa? Justru menimbulkan kerugian negara. Hutannya gundul. Bicara emisi, justru kita menjadi mempunyai utang emisi. Masyarakat dirugikan dan bencana lebih dekat,” katanya, Sabtu (31/8).
FWI menduga PT HAN mengeksploitasi hutan berkedok transisi energi. Perusahaan terbukti tidak mampu beroperasi dan menjalankan tanggung jawab yang diberikan oleh KLHK. Lahan konsesi dibiarkan begitu saja sehingga dimanfaatkan oleh orang-orang tidak dikenal dengan membuka perkebunan kelapa sawit dan pertambangan emas. “Transisi energi melalui hutan tanaman energi itu dijadikan perusahaan sebagai bentuk kamuflase saja. Sedangkan PT HAN sudah meninggalkan konsesinya sehingga itu dimanfaatkan oleh oknum dengan memanfaatkan ruang-ruang PT HAN,” kata Anggi.
Anggi pun mengatakan perusahaan harus bertanggung jawab atas pemulihan lahan konsesinya, meski pihak lain yang melakukan perusakan. “Apa pun yang terjadi, PT HAN harus bertanggung jawab. Yang tentunya perusakan ini mengakibatkan banyak kerugian. Sesuai laporan BPHL Jambi, mereka tidak membayar dan menjalankan rencana kerja mereka,” ujarnya. Berdasarkan SK Menteri LHK No.661 Tahun 2023 yang mengatur besaran Provisi Sumber Daya dan Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), pembukaan lahan ilegal di area konsesi PT HAN menimbulkan kerugian yang ditaksir mencapai Rp 30 miliar lebih. Hingga sekarang, deforestasi dan pembukaan perkebunan di sana terus berlanjut.
Manajer Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi Eko Mulia Utomo mengatakan pemerintah harus menimbang kerugian negara dan kerusakan ekologis yang ditimbulkan perusahaan HTE itu. Pembukaan perkebunan sawit di kawasan hutan yang tidak mengikuti prosedur pelepasan kawasan hutan yang tepat, mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan untuk kas negara dan daerah.
“Karena di dalam hutan, negara tidak bisa memungut pajaknya. Sementara instansi sektor kawasan hutan, juga tidak bisa memungut pajak sawitnya. Sehingga secara tidak langsung, ini ada potensi pendapatan negara yang hilang. Nah ini yang harus ditertibkan. Kalau ini dilakukan oleh pemilik modal, ini yang seharusnya pemerintah menindak tegas,” katanya. Eko mengatakan keuntungan pembukaan hutan tanaman energi tidak akan sebanding dengan kerusakan ekologis dan kerugian negara yang ditimbulkan. Namun, negara mengabaikan dampak tersebut.
“Apakah mereka juga menghitung ancaman kerusakan hutan itu ketika ada pembukaan lahan di PT HAN? Termasuk bencana ekologis dan penyakit. Seharusnya kan ini dilihat dan dipertimbangkan. Lebih besar kerusakan ekologis dibandingkan kerugian pendapatan negara. Harus fair juga negara bicara soal pendapatan dari perusahaan dan sebagainya,” katanya.
Sementara itu, Manajer Administrasi dan Marketing PT HAN Muchlisin Madras mengatakan PT HAN sudah tidak beraktivitas sejak tahun 2021 walau izin konsesi belum dicabut. Salah satu penyebabnya, investasi dari perusahaan di Korea Selatan berhenti. Para pegawai PT HAN terpaksa diberhentikan. Muchlisin sendiri tidak bisa memastikan apakah PT HAN bakal beroperasi lagi atau tidak bila mengingat target co-firing di Indonesia yang membutuhkan bahan baku biomassa. Ia mengakui terdapat area hutan yang sudah ditebang PT HAN tetapi belum ditanami sengon. Namun, ia tidak bisa menjawab bagaimana tanggung jawab perusahaan .
“Kalau mengenai hal seperti itu saya tidak bisa menjawab. Saya sebenarnya berharap perusahaan aktif terus dan lokasi yang sudah dilakukan land clearing (LC), itu bisa ditanam cepat. Kemudian bisa kita tanam lagi sengonnya. Kalau dahulu kan kita buka, kita tanam sengon lagi sehingga deforestasi tidak terjadi. Tapi belakangan kita sudah melakukan LC berapa hektare cuma tanam tidak jalan,” katanya. Terkait alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan ilegal di area konsesi PT HAN, Muchlisin mengatakan praktik ilegal itu sudah ada sebelum perusahaan beroperasi. Ia tidak mengetahui pasti siapa para pelakunya.
“Saat perusahaan beroperasi kita terus melakukan imbauan agar tidak ada PETI di kawasan itu. Bahkan kita pernah melaporkan ke pihak berwajib agar menindak kegiatan di sana. Cuma memang untuk sumber daya internal, kita belum mempunyai kemampuan untuk menindak itu,” ujarnya. Ia mengatakan area konsesi PT HAN berada di kawasan hutan produksi (HP). Ketika perusahaan masuk, sebagian wilayah sudah dikelola oleh masyarakat setempat. Karena itu, perusahaan bermusyawarah hingga membuat kesepakatan dengan pemerintah desa dan warga setempat yang mengklaim lahan.
Kesepakatan yang dimaksud ialah PT HAN wajib memberikan fee senilai Rp 50.000 per meter kubik kayu yang dibawa dari Desa Nalo Gedang. Sepengetahuan Muchlisin, PT HAN sudah membayar lebih dari Rp 100 juta ke pemerintah desa. “Saya tidak memastikan yang punya utang itu perusahaan atau pihak desa (kepada penjual lahan). 100 juta itu perkaliannya begini, per meter kubik itu perusahaan mengeluarkan fee kayu terhadap pengklaim lahan itu sebanyak Rp 50.000, yakni Rp 25.000 untuk desa dan Rp 25.000 untuk masyarakat atau oknum yang mengklaim lahan,” katanya.
Namun, Pemerintah Desa Nalo Gedang menyampaikan PT HAN diduga belum melunasi kompensasi tersebut sehingga perusahaan ini meninggalkan utang. Padahal, dana kompensasi ini digunakan untuk pembelian tanah seluas sekitar satu hektare yang akan dibangun fasilitas desa. “Ketika masa pemerintahan desa sebelumnya, informasinya kan desa dapat kompensasi dari PT HAN, Rp 130 juta yang kemudian untuk dibelikan tanah di sini. Dijanjikan oleh PT dibayar selama 3 bulan. Sampai sekarang belum dibayar sebesar Rp 30 juta. Mungkin tidak ada lagi kompensasi untuk pelunasan itu, kurang lebih satu hektare. Itu pembelian tahun 2019,” kata Said.
Said mengungkapkan pihak penjual lahan sudah berkali-kali meminta pelunasan seharga Rp 30 juta, tetapi pemerintah desa kesulitan memenuhinya. Pihak penjual lahan bahkan sempat meminta pelunasan Rp 80 juta karena tenggat waktu yang diberikan terlewat jauh. “Terkendala PAD. Sempat dituntut dengan meminta Rp 80 juta. Kemudian kami musyawarah sehingga dia kini meminta Rp 35 juta,” katanya.
Hasil evaluasi yang dilakukan BPHL IV Jambi
Berdasarkan laporan monitoring dan evaluasi tim BPHL IV Jambi pada Maret 2024, PBPH PT HAN belum menyusun dokumen RKUPH periode tahun 2024- 2034 dan RKTPH periode tahun 2024. Pada periode RKTPH Tahun 2021 sampai 2023, tidak ada rencana dan realisasi kegiatan pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Tidak ada laporan kegiatan bulanan, progres tata batas, kemitraan, sertifikasi, keuangan, penanaman, produksi dan tenaga kerja.
Perusahaan ini pun belum melaksanakan kemitraan dengan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Sejak bulan April 2023 PT Hijau Artha Nusa sudah tidak aktif melakukan aktivitas pemanfaatan hutan, sehingga tenaga kerja, alat-alat operasional dan sarana prasarana yang menunjang kegiatan pemanfaatan hutan sudah tidak ada pada area kerja PBPH PT Hijau Artha Nusa.
Perusahaan ini terindikasi telah meninggalkan area kerja. Dalam laporan evaluasi itu, PT HAN direkomendasikan mendapatkan sanksi administrasi berupa teguran tertulis, dan dapat dilakukan audit kerjanya yang berdasarkan ketentuan dalam PermenLHK Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi pada Pasal 362 ayat 1 huruf a sd I.
Kasi Pemantauan dan Evaluasi BPHL IV Jambi Benny Budiansyah mengatakan hasil evaluasi itu sudah diberikan kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK. Biasanya, setelah perusahaan dievaluasi dan terbukti tidak menjalankan tanggung jawab, akan diberikan surat peringatan sebanyak tiga kali. Bila peringatan tidak digubris, barulah izin konsesi dicabut. “Sementara kami menunggu dari pusat. Karena kita tidak bisa semena-mena langsung melepaskan izin bila perusahaan tidak aktif. Mereka kan sudah berinvestasi, makanya kita berikan peringatan terlebih dahulu,” katanya.
Benny menyampaikan pihak PT HAN sulit ditemui atau diajak komunikasi. Tidak ada perwakilan resmi perusahaan yang memberikan laporan dan menanggapi undangan terkait evaluasi kinerja. “Agak susah. Tidak perwakilan resmi dari perusahaan. Waktu awal tahun diundang dalam kegiatan untuk evaluasi kinerja itu, juga tidak ada. Harapannya sih waktu itu ketemu untuk mengetahui apa permasalahannya dan apa yang bisa di-support,” ujarnya.
Konsesi PT HAN harus segera dicabut
Anggi khawatir bila dibiarkan begitu saja, deforestasi di area PT HAN semakin luas. Menurutnya, izin konsesi perusahaan itu harus segera dicabut. “FWI dan Walhi Jambi sepakat mendorong pencabutan izin PT HAN. Terus, area yang dikuasai atau dimanfaatkan oleh masyarakat itu diberikan sebagai wilayah kelola rakyat,” katanya.
Sementara itu, Eko mewanti-wanti izin konsesi ini dialihkan kepada perusahaan yang turut memperluas kerusakan ekologis. Namun, bila izin konsesi PT HAN sudah dicabut, masyarakat dapat diberikan akses untuk mengelola dengan skema Hutan Desa. Dalam skema tersebut, terdapat zona lindung dan zona pemanfaatan sebagai area yang bisa ditanami komoditi yang ramah lingkungan. “Kalau bicara hutan desa, wilayah pemanfaatan itu kan bisa mereka kelola untuk tanaman hutan dan sebagainya. Kalau zona pemanfaatan, bisa ditanami kopi, kayu manis dan sebagainya, tetap ada tutupan. Dengan catatan dikelola dengan kearifan lokal,” katanya.
*Liputan ini bagian dari fellowships jurnalistik bertemakan “Transisi Energi Watch” yang diselenggarakan Forest Watch Indonesia (FWI) tahun 2024.
Sumber tulisan ini berasal dari independen.id