Pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku Utara sangat positif atau berada pada urutan pertama dari seluruh daerah di Indonesia. Triwulan II tahun 2025, perekonomian tumbuh signifikan sebesar 32,09 persen. Angka tersebut sebagian besar disumbang dari industri tambang.
Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara, Simon Sapary, dilansir dari investor.id menjelaskan, perekonomian yang tumbuh ini ditopang dari berbagai sektor dan yang paling tertinggi adalah sektor industri pengolahan serta pertambangan. Sektor industri pengolahan menyumbang 40.11 persen dan pertambangan sebesar 20.79 persen. Disusul sektor pertanian 10.08 persen, perdagangan 8.74 persen, dan administrasi pemerinyahan sebesar 7.20 persen.
Sementara jasa konstruksi 3.53 persen, transportasi dan pergudangan 2.98 persen, jasa keuangan 1.69 persen, Infokom 1.64 persen dan jasa pendidikan 1.45 persen. Sedangkan jasa lain seperti kesehatan, jasa perusahan, dan jasa lainnya berada di bawah angka satu persen.
“Provinsi yang kita cintai pertumbuhan ekonomi kita adalah tertinggi se-Indonesia bahkan dunia, kalau kita rata-ratakan di negara lain pertumbuhan ekonominya naik hanya bisa mencapai 20 persen. Pada triwulan lalu 34.58 persen, sekarang 32.09 persen, walaupun kita lihat 34 menjadi 32 sebenarnya bukan turun, kalau dilihat pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) malahan naik,” kata Simon, akhir September 2025.
Ironi Tumbuhnya Ekonomi
Namun, kabar gembira itu menjadi ironi ketika melihat daya rusak yang ditimbulkan oleh industri pengolahan dan pertambangan di Maluku Utara.
Ada tiga daerah yang menjadi kawasan tambang paling terbesar di Maluku Utara, yakni Kabupaten Halmahera Tengah, Halmahera Timur, dan Halmahera Selatan. Di Halmahera Tengah, ada dua perusahaan besar, yakni PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan Weda Bay Nickel (WBN). Tak hanya itu, terdapat juga perusahaan nikel lainnya hingga gamping di wilayah tersebut.
Sementara di Halmahera Timur, tepatnya di wilayah Buli, Kecamatan Maba, ada PT Aneka Tambang hingga perusahaan nikel lainnya. Sedangkan di Halmahera Selatan atau lebih tepat di Pulau Obi terdapat Harita Nickel.
Aktivitas perusahaan tambang tersebut berdampak serius terhadap kondisi lingkungan. Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat luas penggundulan hutan yang dilakukan perusahaan tambang nikel di Halmahera Tengah terjadi sebesar 3.714 hektar.
Hasil riset kolaboratif Nexus3 Foundation bersama Universitas Tadulako (Untad) menemukan bahwa ada sampel ikan di Teluk Weda, Halmahera Tengah, yang mengandung merkuri dan arsenik.
Dalam riset mereka juga menemukan, darah pekerja dan warga yang tinggal di sekitar kawasan industri nikel PT IWIP, konsentrasinya melebihi batas aman kesehatan.
Tak hanya itu, dampak banjir kian terasa di sekitar kawasan industri. Sungai-sungai pun kerap terlihat berubah warna, dari yang biasanya jernih menjadi merah kecokelatan. Seperti yang terlihat pada sungai Sagea dan Kobe, Halmahera Tengah.
Kondisi lingkungan yang terlihat di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, juga tak jauh berbeda. Sejak lama, pulau ini telah dikeruk sumberdaya alamnya. Pulaunya terlihat gundul, terkelupas dihantam alat berat perusahaan.
Sementara di Halmahera Timur, wilayah yang menjadi sumber pangan, terutama padi sawah di kawasan transmigrasi pun terancam. Dalam laporan mendalam halmaheranesia.com, jalan hauling tambang nikel di daerah tersebut merusak lingkungan dan membuat banyak petani tak lagi dapat meneruskan pertanian padi sawah.
Sungai Sangaji yang menjadi sumber hidup orang Maba Sangaji, Halmahera Timur, juga makin hancur. Air yang dulunya jernih, kini berubah menjadi keruh dan berwarna kecokelatan.
Tak hanya itu, kawasan pesisir di Maba terlihat tumpukan lumpur dari aktivitas pengambilan ore nikel. Di sana, lumpur-lumpur tersebut sudah menutup akar mangrove dan merusak perairan di sekitarnya.
Sedangkan Pulau Obi, Halmahera Selatan, tepatnya di Desa Kawasi, kondisi pulaunya tampak gundul di mana-mana. Rumah-rumah warga berdempetan dengan raksasa industri nikel.
JATAM Simpul Maluku Utara menilai tak ada yang bisa dibanggakan dari berita kemajuan ekonomi di Maluku Utara, sementara kemajuan itu justru datang dari kerusakan lingkungan.
“Tanah digali sampai sedalam-dalamnya, bagaikan kubangan raksasa. Aliran air sungai pun dilumuri bertubi-tubi oleh ore nikel sampai ia tampak keruh, persis berwarna merah-kecoklatan, meski itu adalah sumber air bersih warga. Hingga pesisir dan laut beserta isinya juga babak-belur dihajar cemaran limbah. Apa yang terjadi jika kita dilarang memakan ikan karena sudah tercemar,” ucap Dinamisator JATAM Maluku Utara, Julfikar Sangaji.
Menurutnya, pihak pengusaha tambang juga tidak peduli dengan wilayah adat yang dimiliki warga. Begitu juga dengan tanaman atau komoditas unggulan seperti pala, cengkih, dan kelapa, yang sejak lama menjadi tumpuan hidup warga.
“Namun, kita tak boleh pasrah apalagi menyerah begitu saja. Lakukanlah sesuatu dengan taktik dan cara berlawan kita masing-masing. Kita berhak menolak menjadi arena zona pengorbanan yang terus diluluh-lantakkan kapital ekstraktif. Dengan begitu tambang harus ditumbangkan,” serunya.
Sumber berita Halmaheranesia.com