BENCANA ANTROPOGENIK: Dominasi Manusia dan Eksistensi Alam

Sebagian besar diskusi mengenai krisis iklim, gempa bumi, tsunami, dan kerusakan lingkungan secara umum berakar dari kritik tajam terhadap peran manusia dan proyek modernisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala penilaian terhadap alam. Memaknai alam sebagai sebuah sumber memang menjadi naluri bertahan hidup seorang manusia. karena pada dasarnya alam merupakan pondasi bagi peradaban kontemporer hari ini. namun di sisi lain, kita juga tidak bisa memisahkan manusia pada proses pembangunan peradaban hingga kini, hal ini menyangkut hubungan komplementatif.

Hubungan komplementer ini yang bisa kita mengerti sebagai hubungan fundamental antara manusia dan alam dalam proses historis sehingga tercipta peradaban yang serba-serbi modern seperti saat ini. tetapi, perlu digaris bawahi, bahwa semenjak kita mengkonversi alam menjadi sumber daya sosial-ekonomi bagi keberlanjutan hidup, bukan berarti kita adalah entitas tertinggi dalam bentuk hierarkis. walaupun demikian kita menganggap bahwa abad modern merupakan hasil spektaluker kita dalam sejarah manusia, namun sering kali, itu juga menimbulkan konsekuensi jangka panjang dan makin memperkecil volume sumber daya alam tersebut.

Veronika Restu (2023) menjelaskan bahwa, Sebagai makhluk cerdas dengan teknologi yang terus berkembang, manusia memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan memastikan kelangsungan hidup berbagai spesies di planet ini. Sayangnya, sering kali kekuatan ini digunakan untuk mendominasi alam, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang yang merugikan ekosistem.

Kesadaran akan kekuatan mendominasi ini yang akan menempatkan alam pada posisi subordinat. dengan posisinya yang subordinat, maka alam akan mempunyai posisi tawar yang lemah untuk lestari. sehingga keberadaan alam kian hari semakin kehilangan eksistensinya. tapi disinilah letak tragisnya, pada saat yang sama, ketika alam kehilangan eksistensinya, maka disitu pula eksistensi manusia sebagai entitas perlahan hilang juga.

Sementara itu, perkembangan kita berlangsung dengan mengorbankan bentuk-bentuk kehidupan lain. Perubahan-perubahan ini mengurangi kapasitas bumi untuk mendukung kehidupan sebagaimana yang kita kenal, dan kita semakin mendekati atau bahkan telah melampaui apa yang dianggap sebagai ‘batas aman.’

Kepunahan eksistensi yang kemudian tidak disadari manusia dan fakta purba, bahwa secara historis peradaban modern dibangun di atas alam dan menggunakan alam sebagai sumber. walaupun manusia merasa bahwa mereka adalah nabinya ilmu pengetahuan, tentunya proses produksi ilmu tidak bisa lepas dari kebutuhan manusia terhadapan tantangan praktis dan lingkungan materialnya.

inilah yang disebut sebagai korelasi multi-dimensi antara interaksi manusia dengan manusia lainnya dan alam itu sendiri yang menyebabkan terjadinya proses produksi pengetahuan menjadi hasil, dengan kata lain, tidak ada perkembangan yang timbul secara alami tanpa mengamati hal-hal sekitar atau dengan kata lain ilmu pengetahuan merupakan hasil dari interaksi manusia dengan lingkungan materialnya, lewat interaksi, kerja dan produksi.

Perkembangan teknologi, dan kesatuan kepentingan akan kekuatan dominasi inilah yang menyebabkan pembangunan serta eksplorasi terhadap alam menjadi momok menakutkan bagi sebagian orang. sebagai contoh nyata, Forest Watch Indonesia (2024) melaporkan, bahwa indonesia mengalami deforetasi dengan nilai rata-rata 2,54 juta Ha Per tahun atau sekitar 6 kali luas lapangan sepak bola per menit. lanjutnya, tingkat kerusakan sumber daya hutan di indonesia, hampir terjadi di setiap region, yaitu:

  1. Kalimantan dengan nilai deforestasi 1,11 juta hektar per tahun
  2. Papua dengan nilai deforestasi 556.000 ribu hektar per tahun
  3. Sumatera dengan nilai deforestasi 428.000 hektar per tahun
  4. Sulawesi dengan nilai deforestasi 290.000 hektar per tahun
  5. Maluku dengan nilai deforestasi 89.000 hektar per tahun
  6. Bali Nusa dengan nilai deforestasi 38.000 hektar per tahun
  7. jawa dengan nilai deforestasi 22.000 hektar per tahun.

Hutan-hutan ini hilang akibat dari industri pertambangan yang membutuhkan lahan untuk melakukan proses produksinya. aktivitas pertambangan tidak hanya mengancam lingkungan tetapi juga kehidupan manusia, karena dapat merusak kualitas air, udara, dan tanah. Ketiga elemen ini adalah komponen fundamental bagi kelangsungan hidup masyarakat. Dengan demikian, degradasi komponen-komponen tersebut akan berdampak signifikan pada kualitas hidup masyarakat.

Perubahan lanskap alam dan dampaknya yang signifikan terhadap manusia serta lingkungan seringkali berujung pada bencana antropogenik yang tidak dapat dihindarkan. Proses ini cenderung berlanjut seiring dengan meningkatnya konversi sumber daya alam melalui pola-pola destruktif dan eksploitatif, yang mengabaikan ruang-ruang ekologis penting bagi masyarakat di daerah penghasil sumber daya.

Degradasi lingkungan berpotensi mengancam eksistensi manusia sebagai makhluk hidup. Kegiatan manusia dalam upaya membangun peradaban tidak hanya melibatkan benda-benda yang tidak terbayangkan, tetapi juga bergantung pada tanah, udara, air, dan berbagai sumber daya alam lainnya yang esensial untuk kehidupan. Oleh karena itu, penting untuk mengatasi ketidaksetaraan antara manusia dan alam serta menciptakan sistem ekonomi yang ramah lingkungan,karena Alam merupakan fondasi utama bagi keberlanjutan manusia, dan tanpa keberadaan alam, tidak akan ada yang tersisa untuk mendukung kehidupan kita di masa depan.

Sumber tulisan ini berasal dari Kumparan.com

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top