Upaya global menekan penggunaan energi fosil atau co-firing terus dilakukan. Hal ini didorong oleh kesadaran bersama masyarakat dunia bahwa pembakaran bahan bakar fosil berlebihan menyebabkan suhu panas. Tahun 2023, misalnya, merupakan tahun terpanas sepanjang sejarah. Analisis Copernicus Climate Change Service menunjukkan, suhu rata-rata global bulan Juli tahun tahun 2023 mencapai 1,4°C. Angka tersebut lebih tinggi dari suhu rata-rata pra-industri, sekaligus lebih tinggi 0,32°C dibandingkan bulan terpanas sebelumnya pada Juli 2019.
Indonesia menyiasati perubahan iklim ini dengan menyediakan sumber energi alternatif. Salah satu yang sedang gencar dilakukan adalah co-firing, yaitu pembakaran dua jenis bahan bakar berbeda secara bersamaan. Di dalam negeri, ada empat jenis biomassa yang digunakan dalam proses co-firing, yaitu limbah industri, limbah pertanian atau perkebunan, sampah rumah tangga dan hutan energi.
Di Indramayu, Jawa Barat, PT PLN menggunakan serbuk gergaji atau sawdust. Namun dalam temuan Parboaboa, alih-alih mencapai target baruan energi terbarukan (EBT), co-firing model ini bermasalah dari sisi profit. Musababnya adalah beberapa pemasok mencampur sawdust dengan air untuk menambah berat biomassa. Di tingkat produksi, hal ini menciptakan ongkos yang tinggi, sementara hasil yang dicapai tidak memenuhi target. Dari aspek lain, co-firing yang menggunakan biomassa hutan energi mendorong pembangunan secara masif hutan tanaman energi (HTE).
Temuan Trend Asia dan Forest Watch Indonesia (FWI) memperlihatkan, hingga tahun 2030 nanti Indonesia membutuhkan 2,3 juta hektar lahan baru untuk memenuhi co-firing 5 sampai 10 persen. HTE, menurut Trend Asia dan FWI memberi peluang besar terhadap korporasi kayu dan sawit untuk membuka kebun energi sebesar-besarnya. Dua organisasi masyarakat sipil mengangkat contoh kasus yang terjadi di Kalimantan Barat (Kalbar). Mereka menemukan bahwa pemanfaatan biomassa yang tidak bijaksana dapat menyebabkan tekanan yang lebih besar pada ekosistem. Hal ini dapat memperburuk masalah seperti kehilangan keanekaragaman hayati, kerusakan hutan, dan hilangnya ruang hidup bagi masyarakat adat di Kalbar.
Manajer Tim FWI, Anggi Putra Prayoga menjelaskan bahwa bisnis kayu di Indonesia sedang mengalami stagnasi. Untuk mengatasi ini, pemerintah mendorong pembangunan hutan tanaman energi melalui program multi-usaha kehutanan guna memenuhi kebutuhan biomassa kayu co-firing. Namun, konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) seringkali hanya dimanfaatkan untuk mengamankan bisnis, bukan untuk tujuan transisi energi yang sebenarnya.
Ditambah, konsesi kehutanan saat ini, kata dia, lebih bebas dalam memanfaatkan hutan alam dengan alasan memenuhi kebutuhan biomassa. Kendati demikian, langkah tersebut justru memperburuk ketimpangan penguasaan lahan dan memperkeruh kehidupan masyarakat adat di Kalbar.
Sementara itu, Program Manager Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani menyatakan bahwa penggunaan biomassa untuk menghasilkan energi listrik bagi masyarakat adat seringkali hanya menjadi dalih. Pasalnya, kehilangan keanekaragaman hayati akibat perusakan hutan alam demi pembangunan hutan tanaman energi tidak sebanding dengan manfaatnya.
Terlebih, biomassa yang diprioritaskan oleh Pemerintah Provinsi Kalbar berasal dari kayu yang dihasilkan oleh perkebunan skala besar, yang merampas tanah milik petani dan masyarakat adat. Selain itu, biomassa juga diperoleh dari limbah sawit seperti jangkos, cangkang, dan batang sawit. Semakin banyak hutan alam yang dibuka untuk perkebunan kayu guna memenuhi kebutuhan biomassa, kata mereka, semakin besar pula penurunan kemampuan hutan untuk menyerap emisi karbon, terutama di kawasan gambut.
Sebagai informasi, sejak tahun 2021, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat bahwa ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia semakin parah, terutama karena dominasi modal dari korporasi besar. Bahkan, Sekjen KPA, Dewi Kartika menyebut indeks Ketimpangan Penguasaan Lahan, kini berada pada titik terburuk sejak Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 disahkan.
Data terbaru tegas dia, menunjukkan, 68 persen dari seluruh daratan di Indonesia saat ini dikuasai oleh hanya satu persen kelompok pengusaha dan badan korporasi besar. Sementara itu, 99 persen masyarakat lainnya harus berebut sisa lahan yang ada. Ketimpangan ini tidak hanya terjadi di Pulau Jawa, tetapi juga mulai terlihat di berbagai wilayah di luar Jawa. Situasi semakin memburuk akibat ekspansi bisnis dan pembangunan skala besar, seperti perkebunan sawit, hutan tanaman industri, pertambangan dan proyek infrastruktur.
Menurut Dewi, upaya redistribusi tanah melalui reforma agraria yang diharapkan dapat mengurangi ketimpangan ini justru terhambat. Akibatnya, lebih dari 16 juta rumah tangga petani hanya memiliki lahan kecil, kurang dari 0,5 hektar. Jumlah petani yang meningkat tidak sebanding dengan pertambahan areal pertanian – pada akhirnya menyebabkan peningkatan angka pengangguran di pedesaan.
Banyak petani yang terpaksa beralih profesi menjadi buruh dengan upah rendah, yang semakin memperburuk ketimpangan yang ada. Keadaan ini diperkirakan akan semakin memburuk di masa mendatang, terutama dengan diberlakukannya UU Cipta Kerja yang mempermudah perampasan lahan rakyat untuk diberikan kepada pengusaha atas nama investasi.
Dewi menegaskan, Kondisi tersebut di atas mencerminkan kelanjutan dari warisan kolonial, di mana ketimpangan dan pencabutan hak atas tanah terus meningkat atau yang sering kali disebut sebagai “kapitalisme agraria.”
Sumber tulisan ini berasal dari parboaboa.com