Suasana siang itu di bulan Juni 2025 tampak tenang oleh keheningan alam yang syahdu. Keheningan ini menyatu dengan suara-suara alam seperti nyanyian burung, suara binatang hutan dan hembusan angin sepoi-sepoi yang menerpa dedaunan pohon.
Memberi kesan penuh kedamaian di sekeliling Kampung Susumuk, Distrik Aifat, Maybrat, Papua Barat Daya, yang sempat dicekam ketakutan paska konflik Maybrat 2021 silam. Kampung ini kini mulai bersolek oleh aktivitas pembangunan dan ritme kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya yang umumnya bercorak subsistem serta masih selaras dengan alam.
Di kampung ini, sebuah mobil putih yang tampak masih baru, sudah sesak oleh para penumpang yang sebagian adalah para pemuda setempat. Mobil ini perlahan bergerak menuju tujuan. Meninggalkan sebuah rumah permanen yang terletak di bukit pinggir jalan, yang terpisah di ujung kampung Susumuk.
Siang itu kami begitu bersemangat, terutama saya sebagai pengunjung baru. Sebab kami hendak berekreasi menjelajah wilayah Aitinyo, Maybrat. Awalnya, tidak terlalu jelas bagi saya mengenai tempat yang akan kami tuju.
Yang saya tahu, kami akan mandi-mandi dan berenang menikmati pesona alam di sebuah kali/sungai yang indah. Di tengah perjalanan, saya kemudian diberi tahu bahwa kami akan berenang di Kali Afkrem, sebuah kali (sungai) yang berada di Kampung Afkrem, Aitinyo.
Menurut penuturan warga, aliran air dari kali ini bersumber dari cekungan Danau Ayamaru yang mengalir turun berkelok-kelok hingga bermuara di wilayah Kais, Sorong Selatan. Bagi warga Fategomi (Fan, Tehah, Gohsames), Aitinyo, kali yang sama ini disebut Mirafan.
Saya jadi penasaran. Kenapa kali yang sama, punya mata air yang sama, mengalir menuruni lekukan sungai yang sama dan bermuara di tempat sama, bisa disebut dengan nama yang berbeda?
Mungkin saja karena masyarakat adat punya cara untuk mengidentifikasi diri. Punya otoritas untuk memberi nama bagi tanah, gunung, dusun, kali/sungai, lembah, bukit dan lain-lain. Mereka merasa bebas, merdeka dan mandiri untuk memberi nama sesuai keinginan.
Aliran kali Afkrem atau disebut juga kali Mirafan ini tergolong besar. Airnya cukup jernih yang mengalir melewati bebatuan kapur, berair deras dan di dalamnya hidup berbagai jenis ikan spesies lokal, termasuk udang berkulit tebal yang rasanya sungguh lezat.
Untuk mencapai kali Afkrem dari Kampung Susumuk, kami harus menempuh 45 menit waktu perjalanan. Melewati jalanan sempit beraspal dan sebagian jalanan yang landasannya masih berlapis tanah dan hamparan batuan kapur khas Maybrat.
Kami juga melintasi beberapa kampung dengan pemandangan yang asri seperti Kampung Awet Maim, Kisor, Krus, Yek, Imusun dan Bohsa. Namun yang menjadi perhatian saya adalah Kampung Kisor, kampung yang pada 2 September 2021 menjadi lokasi pecahnya konflik Maybrat.
Dikenal sebagai “Kasus Kisor” yang meletus lantaran kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) mengeksekusi mati 4 personil militer Indonesia (TNI) di malam hari saat sedang berada di pos mereka.
Pecahnya konflik ini menyebabkan pengerahan massif personil militer (TNI/Polri) ke Maybrat untuk menyisir kelompok TPNPB yang dipimpin Brigjen Denny Mos selaku Panglima Kodap IV TPNPB-OPM Sorong Raya dan Mayor Arnoldus Kocu, sebagai komandan operasi.
Saat melintas di jalan Kampung Kisor, suasana kampung ini tampak sudah kembali normal. Meskipun sebelumnya sempat kosong melompong selama hampir dua tahun lantaran ditinggal warganya yang mengungsi karena konflik.
Sewaktu melintas, warga yang terdiri dari orang dewasa dan anak-anak sedang duduk di depan rumah sambil bercengkerama atau berada di halaman. Ada warga yang berjalan hendak ke kebun dengan membawa parang dan noken (kantong) atau duduk di pinggir jalan. Mereka pun melambaikan tangan ke arah mobil kami.
Personil militer (TNI) juga terlihat menempati sebuah rumah warga yang dicat hijau muda, dijadikan pos keamanan. Hingga kini, sebagian dari warga di Kampung Kisor dan kampung-kampung sekitar di wilayah Distrik Aifat Timur yang terdampak konflik, juga belum bisa kembali ke kampung asalnya.
Kampung-kampung itu kini dijaga ketat atau diduduki tentara yang membangun pos militer. Di Kampung Susumuk misalnya, tentara dari kesatuan Marinir TNI-AL sudah ditempatkan. Mereka mendirikan pos di samping gedung gereja GKI Emaus.
Personil TNI ini menempati area dan bangunan gedung gereja lama. Di depan pos ini, atau di depan jalan raya menuju Kumurkek, ibukota Kabupaten Maybrat, tentara menaruh sebuah drum bekas di tengah jalan sebagai tanda bahwa setiap kendaraan yang hendak melintas harus melambat atau memberi klakson.
Sebelum tiba di lokasi tujuan Kampung Afkrem, kami melewati jembatan besi yang sudah berkarat, namun masih kokoh menopang beban kendaraan dan orang yang lewat diatasnya. Jembatan yang menghubungkan warga masyarakat di wilayah Aifat dan Aitinyo ini memotong Kali Afkrem yang mengalir deras di bawahnya.
Saat hendak memasuki Kampung Afkrem, mobil kami dihentikan beberapa personil tentara yang sedang berjaga di pos. Mereka meminta kami melapor, memberi tahu tempat domisili dan tujuan kedatangan.
Di pos ini para personil militer yang masih sangat muda berjaga dengan seragam lengkap dan bersenjata. Sebagian dari mereka yang berpakaian setengah loreng bermain bola, duduk atau berjalan di halaman pos maupun berbaur dengan warga kampung.
Saat mobil kami mendekati pos tentara, beberapa personil TNI yang sedang berjaga meminta kami menurunkan kaca mobil dan memberitahu tujuan kedatangan.
Mereka mendekati mobil untuk mengecek kami. Seolah ingin mengenali wajah-wajah kami sepintas. Ini membuat kami merasa terintimidasi dan diawasi oleh orang asing di tanah air kami sendiri.
Setelah mobil kami diijinkan lewat, saya sempat menggerutu karena merasa kesal. Di Afkrem, kami akhirnya bisa menceburkan diri ke dalam kali, mandi-mandi dan berenang sejenak melepaskan penat, menikmati aura sungai yang mengalir dengan cukup deras.
Setelah itu sebuah keluarga di kampung ini memberi kami hidangan makan siang yang lezat berupa sayur gedi dan gohi yang dicampur udang khas Kali Afkrem, bersama nasi hangat, selepas lelah berenang.
Setelah makan dan berbincang-bincang sejenak, kami berpamitan dengan warga lalu kembali ke Kampung Susumuk di sore hari melewati rute yang sama. Panorama alam yang eksotis di sekeliling kali Afkrem benar-benar menawarkan sensasi yang luar biasa.
Sayangnya, dalam perjalanan ini, kami telah menjalani pengawasan dan pemeriksaan personil TNI sehingga memberi kesan bahwa seolah-olah kami sebagai anak Maybrat, kini memiliki ruang gerak yang terbatas. Kami sekarang sudah tidak bisa bebas lagi kemana-mana di Maybrat.
Kehadiran pos-keamanan dan personil militer yang mengawasi gerak-gerak warga juga membuat kami merasa terintimidasi di tanah sendiri. Dalam situasi inilah, wacana pembangunan dan keamanan justru menjelma menjadi trauma kolektif yang pelan-pelan menyayat kebebasan masyarakat sipil.
Sumber Daya Alam dan Proyek Ekonomi: Siapa yang Untung?
Kabupaten Maybrat di Papua Barat Daya, adalah sebuah kabupaten seluas lebih dari 5.400 km². Terdiri dari wilayah yang diapit perbukitan kapur (karst) yang bergerombol laksana penjaga alam diantara perbukitan, lembah, sungai, danau dan dataran tinggi yang menghampar hingga Pegunungan Tambrauw di wilayah Kepala Burung Tanah Papua.
Mayoritas penduduknya (97%) adalah orang-orang dari suku Maybrat yang berbahasa Maybrat dengan tiga ragam dialek. Sejak kabupaten ini terbentuk 15 tahun silam, upaya pelarangan penjualan tanah adat dan sumber daya alam kepada orang luar (non OAP) dan kepentingan investasi telah menjadi perhatian serius orang-orang Maybrat.
Para intelektual, petinggi birokrasi dan masyarakat adat Maybrat menginginkan agar wilayah mereka harus tetap terjaga dari penetrasi kapital yang membawa masuk orang luar (migran) dan pengambilan tanah adat.
Singkatnya, orang Maybrat ingin menjaga tanah pusaka mereka agar tidak tergerus. Atau orang-orang Maybrat jangan sampai termarginal sepeti suku-suku Papua lain yang kini termarginal ketika tanah mereka dijual untuk pembangunan infrastruktur, kota, pusat pembangunan, daerah investasi dan perdangangan.
Namun Maybrat kini menjadi salah satu wilayah paling terpukul oleh proyek ambisius pembangunan negara, baik dalam wujud infrastruktur, ekspansi ekonomi ekstraktif, maupun “penjagaan” militer yang kian menggurita.
Di mata Jakarta, Maybrat adalah titik strategis geopolitik. Namun bagi masyarakat adatnya, tanah ini adalah ibu yang menyediakan kehidupan, namun sedang terluka parah oleh berbagai persoalan.
Tanah Maybrat menyimpan kekayaan alam yang luar biasa: hutan tropis lebat, damar, rotan, emas, tembaga, nikel, batu bara hingga batuan kapur yang mengendap di perbukitan kapur yang tersebar luas.
Sungai dan dua danau legendaris di wilayah ini (Ayamaru yang kini telah dibangun infrastruktur bendungan modern dan danau Uter) menyimpan potensi perairan air tawar beserta kondisi geomorfologi alam sekitar, yang begitu menjanjikan bila dikembangkan dengan baik.
Perusahaan-perusahaan seperti PT Erna Mitra Jaya sudah lama bercokol di sini dengan konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Sementara beberapa perusahaan tambang dan kayu lainnya, termasuk PT Bangun Kayu Irian dan PT Mitra Pembangunan Global, mengincar wilayah-wilayah adat untuk pembukaan konsesi baru di tengah luasan ratusan ribu hektare hutan.
Namun keberadaan perusahaan-perusahaan ini jarang memberi manfaat nyata bagi masyarakat lokal. Menurut data Forest Watch Indonesia (FWI), mayoritas perizinan HPH dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) di Papua Barat (termasuk Papua Barat Daya) beroperasi tanpa konsultasi yang layak dengan masyarakat adat.
Proses perampasan tanah sering diselimuti oleh praktik manipulatif atau intimidatif. Situasinya akan menjadi rumit, bila konflik pecah, operasi militer berlangsung, penempatan pos-pos militer untuk melakukan pengawasan, berpotensi menyebabkan masyarakat lokal mengungsi sehingga kehilangan kontrol secara langsung atas hutan beserta segala sumber daya alam yang terkandung di dalamnnya.
Dalam situasi demikian, personil-personil militer yang ditempatkan di wilayah-wilayah yang terdampak konflik akan leluasa, bahkan dapat menjamin akses bagi proses eksploitasi sumber daya alam (terutama hasil hutan, kayu, satwa endemic dan lain-lain) yang ditinggalkan warga lokal karena mengungsi.
Inilah situasi yang dialami warga Maybrat paska Konflik Kisor 2 September 2021. Dari penuturan sejumlah warga kampung yang mengungsi di wilayah Distrik Aifat dan Aifat Timur yang paling terdampak konflik, selain rumah mereka diterobos dan sejumlah barang-barang mereka dijarah, anggota TNI yang saat itu melakukan operasi juga terlihat oleh warga, dengan seenaknya menjarah hutan dan menerobos dusun-dusun keramat mereka.
Mereka bahkan disinyalir memberi jaminan keamanan bagi sejumlah operator penebang kayu liar. Atau membacking perusahaan tertentu masuk menjarah sejumlah potensi hutan seperti kayu di wilayah sekitar kampung-kampung yang ditinggalkan warganya karena mengungsi.
Sebelumnya pada 2016, protes masyarakat adat sempat meletus saat rencana ekspansi perkebunan sawit seluas 40.000 hektare oleh PT ANJ diumumkan. Mereka tidak hanya menuntut hak atas tanah, tetapi juga mempertanyakan janji pembangunan dan kompensasi yang sangat minim.
Ironisnya, protes damai sering kali direspon dengan kehadiran aparat bersenjata. Tak jarang, upaya protes masyarakat adat dalam menentang kehadiran perusahaan untuk mengeksploitasi SDA di wilayah-wilayah konflik seperti Maybrat, dapat diasosiasikan dengan gerakan separatisme politik Papua Merdeka.
Luka Kisor, Eksodus Massal dan Militerisasi yang Membekukan Ruang Hidup
Peristiwa 2 September 2021 menjadi titik balik yang merobek kehidupan masyarakat Maybrat. Sekitar pukul 04.00 WIT, Posramil Kisor di Distrik Aifat Selatan diserang oleh sekelompok orang yang diduga TPNPB.
Empat anggota TNI tewas. Petinggi institusi TNI kemudian merespons dengan operasi penyisiran besar-besaran ke kampung-kampung di Aifat dan Aitinyo.
Operasi militer dan penyisiran ini telah menyebabkan tak kurang dari 3.000 warga dari lebih dari 50 kampung telah mengungsi. Seorang anak perempuan pun dikabarkan telah meninggal dunia karena tidak ada akses layanan kesehatan di lokasi pengungsian.
Menurut SKPKC OSA Papua, hingga pertengahan 2025, sekitar 6.000 orang masih hidup dalam pengungsian. Mereka tersebar di Sorong, Tambrauw, dan Bintuni. Para pengungsi enggan kembali ke kampung karena kehadiran pos militer yang dibangun di sekitar wilayah mereka.
Pasca-insiden Kisor, TNI membangun 16 pos baru di Maybrat. Ditambah 6 pos di Tambrauw dan Sorong Selatan. Tujuannya, kata Danrem 181/PVT Brigjen Juniras Lumbantoruan saat itu, adalah untuk menciptakan rasa aman bagi warga dan menunjang pembangunan infrastruktur.
Namun kenyataannya justru berbeda. Pos-pos militer bahkan lebih sering menciptakan rasa takut, ketidaknyaman, rasa intimidasi dan mengekang kebebasan warga kampung untuk menjalani aktivitas rutin.
Kehadiran pos-pos militer juga telah menghambat aksesisibilitas dan rasa nyaman pengunjung dari luar untuk menikmati pesona alam dan budaya Maybrat, terutama di area-area yang dekat dengan lokasi konflik di Aifat dan Aifat Timur.
Dari laporan para pegiat HAM, di Distrik Aitinyo kini berdiri empat pos TNI dan satu Polsek. Ini belum termasuk rencana pendirian pos Brimob di Fategomi. Padahal wilayah ini sebelumnya relatif aman dan jauh dari episentrum konflik.
“Kalau di kampung semua kegiatan dilihat militer. Mereka periksa parang, cangkul, tanya macam-macam. Mau berkebun saja takut,” ujar seorang warga Kampung Afkrem, Aitinyo saat kami mengunjungi wilayah ini.
Militer bukan hanya hadir sebagai pengaman. Berdasarkan Instruksi Presiden No. 20/2020, mereka dilibatkan dalam percepatan pembangunan, termasuk pembukaan jalan dan pengawasan wilayah konsesi.
Dalam praktiknya, militer (TNI) sering menjadi pelindung de facto perusahaan, termasuk perusahaan-perusahaan yang berinvestasi dengan cara mengeksploitasi SDA Papua.
Kriminalisasi, Kekerasan Atas Warga Sipil
Dalam operasi pasca-Kisor Maybrat, enam orang ditangkap dan dijadikan terdakwa: dikenal sebagai “Sorong 6”. Mereka dipindahkan diam-diam dari Sorong ke Makassar tanpa pemberitahuan kepada keluarga atau pengacara.
Seorang di antaranya, LK, adalah anak berusia 14 tahun yang dihukum delapan tahun penjara setelah mengalami penyiksaan. Proses hukum mereka cacat berat: bukti-bukti dikesampingkan, saksi-saksi dibungkam, dan pembela HAM seperti Leo Idjie,Cs, dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kaki Abu Sorong, dikriminalisasi.
Menurut laporan Tapol (2022), tindakan ini mencerminkan pola sistemik di Papua: penggunaan sistem peradilan sebagai alat represi politik. Prosedur hukum yang semestinya menjamin keadilan malah dijadikan instrumen kriminalisasi dan pembungkaman.
Sejauh ini, Pemerintah Indonesia di Jakarta, sering beralasan bahwa kehadiran militer di Papua adalah bagian dari “strategi stabilitas dan pembangunan”. Tapi pertanyaannya: pembangunan untuk siapa?
Kini militerisasi dan pembangunan di Papua, telah menjadi dua wajah yang saling menyokong. Pembangunan jalan dan infrastruktur sering digunakan sebagai pembenaran masuknya apparat keamanan (TNI/Polri).
Namun pembangunan ini cenderung diarahkan untuk menunjang investasi yang mengeksploitasi SDA Papua: akses jalan untuk log kayu, tambang, dan ekspansi konsesi. Infrastruktur publik seperti sekolah dan Puskesmas, justru tertinggal. Bahkan, sekolah-sekolah di pengungsian tidak difasilitasi, dan pelayanan kesehatan bergantung pada inisiatif relawan.
Di kampung Fuok, seorang warga bernama Manfred Tamunete ditembak dalam penyisiran militer, dan hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Kasus seperti ini banyak terjadi namun jarang atau tidak mendapat perhatian.
Maybrat dalam Cengkeraman DOB dan Kodim
Pemekaran daerah otonomi baru (DOB), termasuk pembentukan Provinsi Papua Barat Daya, membuka jalan bagi pembentukan Kodim-Kodim baru. Di Maybrat, pembentukan Kodim pada 2021 berbarengan dengan lonjakan pos militer.
Ini tentu bukan kebetulan, melainkan bagian dari kebijakan negara dalam menancapkan kontrol di wilayah Papua. Pendekatan ini tak hanya mempersulit kehidupan masyarakat adat, tapi juga menutup ruang dialog dan demokrasi.
Yang tersisa hanyalah “pengamanan” atas nama stabilitas. Padahal di baliknya adalah upaya melanggengkan penjajahan struktural atas tanah, hutan, dan hidup masyarakat Papua.
Kisah Maybrat adalah cermin luka Papua hari ini. Pembangunan datang dengan ekskavator, sensor, truk tentara dan senjata. Bukan dengan dengar pendapat dan partisipasi warga. Sumber daya alam dipanen, tanah dirampas, dan suara masyarakat dibungkam.
Dalam semua ini, militer menjadi aktor kunci, bukan sebagai pelindung warga, tapi sebagai pelindung investasi.
Maybrat yang dulu sunyi, berseri dan damai, ini menjadi ladang ketakutan karena konflik. Di tengah mata-mata garang berpakaian loreng yang terus mengawasi, dan langkah berat sepatu lars, hanya satu harapan warga: bisa kembali berkebun, mengajar, dan hidup damai tanpa ketakutan.
“Kami tidak butuh jalan mulus kalau harus dibangun di atas konflik, darah, perusakan hutan, perampokan sumber daya alam, dan persengkongkolan jahat!!!”
Sumber berita Petarungpapua.org