Nasib buruk kerap menjadi kambing hitam ketika bencana alam terjadi di Tanah Air. Padahal, bencana alam, dalam beberapa kasus, dapat dicegah, salah satunya melalui pelestarian alam.
Hutan yang seharusnya menjadi pelindung pemukiman warga, perlahan menghilang. Upaya deforestasi untuk pembukaan lahan komoditas ekstraktif kerap terjadi. Imbas pembabatan hutan, sejumlah provinsi di Sumatra terkena bencana. Ratusan nyawa pun melayang begitu saja.
Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS Universitas Gadjah Mada (UGM), Hatma Suryatmojo, mengatakan fenomena banjir bandang di Sumatra ini adalah kombinasi faktor alam dan ulah manusia. Di satu sisi, curah hujan memang kian tinggi dan masuk kategori ekstrem.
Hal ini dipicu oleh dinamika atmosfer seperti Siklon Tropis Senyar. “Namun, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Dampak merusak banjir bandang tersebut sesungguhnya diperparah oleh rapuhnya benteng alam di kawasan hulu,” ujarnya mengutip situs resmi UGM, Senin (1/12/2025).
Kerusakan ekosistem hutan di hulu daerah aliran sungai (DAS), menghilangkan daya dukung dan daya tampung ekosistem hulu untuk meredam curah hujan tinggi.
“Hilangnya tutupan hutan berarti hilang pula fungsi hutan sebagai pengendali daur air kawasan melalui proses hidrologis intersepsi, infiltrasi, evapotranspirasi, hingga mengendalikan erosi dan limpasan permukaan yang akhirnya memicu erosi masif dan longsor yang menjadi cikal bakal munculnya banjir bandang,” terangnya.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), antara tahun 2016-2025, seluas 1,4 juta hektar hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang telah terdeforestasi akibat aktivitas 631 perusahaan. Mereka adalah pemegang izin tambang, HGU sawit, PBPH, geotermal, izin PLTA dan PLTM.
Dalam laporan mereka, disebutkan bencana yang menimpa tiga provinsi di pesisir Pulau Sumatra itu bersumber dari wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) besar, yang hulunya berada di bentang hutan Bukit Barisan.
“Di Sumatera Utara misalnya, bencana paling parah melanda wilayah-wilayah yang berada di Ekosistem Harangan Tapanuli (Ekosistem Batang Toru), yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga. Ekosistem Batang Toru yang berada di bentang Bukit Barisan telah mengalami deforestasi sebesar 72.938 hektar (2016-2024) akibat operasi 18 perusahaan,” kutipan dari siaran pers Walhi, Selasa (2/12/2025).
Sementara di Aceh, terdapat 954 DAS yang terdiri dari 60 persen DAS dalam kawasan hutan dan 20 DAS kritis. DAS Krueng Trumon yang memiliki luas 53.824 hektare, sejak 2016-2022, sebanyak 43 persen DAS tersebut mengalami kehilangan tutupan hutan.
Dengan demikian, tersisa 30.568 hektare atau sekitar 57 persen. Begitu pula dengan DAS lain di Aceh seperti DAS Singkil, DAS Jambo Aye, DAS Peusangan, DAS Krueng Tripa, dan DAS Tamiang.
Kemudian, di Sumatera Barat, DAS Aia Dingin memiliki 12.802 hektar. Sejak 2001-2024, DAS Aia Dingin kehilangan 780 hektare tutupan pohon. Mayoritas deforestasi di DAS Aia Dingin terjadi di wilayah hulu yang berperan meredam aliran permukaan dan mencegah banjir bandang.
Bisakah Lahan Sawit Gantikan Fungsi Hutan?
Manajer Kampanye Tata ruang dan Infrastruktur Walhi Dwi Sawung mengatakan, hutan tidak dapat digantikan dengan lahan sawit. Saat ditanamkan, sawit tidak akan membentuk ekosistem seperti hutan.
Sebab, dalam konsep kebun sawit, saat hutan dibabat, hanya ada satu jenis tanaman yang ditanamkan, yakni sawit. Ekosistem hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati kemudian berganti menjadi kebun sawit yang homogen.
“Kalau satu jenis, itu enggak bisa menggantikan hutan tropis yang campuran [jenis tanaman] itu. Karena kalau hutan itu kan dia macam-macam tanaman,” terangnya kepada Tirto melalui sambungan telepon, Selasa (2/12/2025).
Dwi lantas menjelaskan, akar dari kebun kelapa sawit tidak sepanjang dan sedalam akar dari pohon-pohon yang tumbuh secara alami di lingkungan hutan. Imbasnya, penyerapan air yang berada di tanah menurun drastis saat hutan berubah jadi kebun sawit.
Tidak cuma akar, daun tanaman-tanaman hutan juga memiliki peran besar saat dibandingkan dengan daun kelapa sawit. Daun berbagai jenis tanaman hutan disebut lebih efektif memperlambat kecepatan air hujan hingga ke tanah daripada kelapa sawit.
Dwi melanjutkan, serasah (bahan organik mati berupa ranting dan daun bekas) bahkan berperan besar dalam ekosistem hutan tropis. Serasah daun yang tebal akan mengurangi kecepatan masuknya air hujan ke tanah.
“Kebun sawit itu paling cuma 40 persen menyerapnya [air]. Itu pun juga tergantung jarak, kemudian tanahnya kayak bagaimana, konturnya kayak bagaimana, itu sudah maksimum kalau sudah 40 persen. Kalau konturnya [tanah] makin miring makin payah untuk menyerap air,” urai dia.
Kata Dwi, bencana di Sumatra terjadi imbas deforestasi yang telah terjadi selama belasan hingga puluhan tahun. Hal itu bahkan menyebabkan siklus tropis yang seharusnya tidak terjadi di Selat Malaka, wilayah laut di sisi utara Sumatra. “Hujannya ekstrem, hutannya hilang, suhunya meningkat. Jadi yang tadinya enggak bisa terbentuk badai seperti itu ya di Selat Malaka, itu bisa jadi terbentuk kayak gitu,” sebutnya.
Dalam laporannya Forest Watch Indonesia (FWI) bersama Transparency Indonesia menyebut, hutan adalah ekosistem kompleks yang tak dapat tergantikan. Laporan itu mengutip Undang-undang kehutanan yang menjabarkan hutan sebagai kesatuan ekosistem yang melibatkan berbagai jenis pohon, satwa, dan tumbuhan. Sedangkan sawit, tidak termasuk dalam definisi tersebut.
Saat membandingkan hutan dan kebun sawit, dokumen itu menyoroti ekosistem monokultur yang hanya ditanami satu jenis tanaman dalam kebun sawit. Kondisi itu membuat kebun sawit tidak mendukung kehidupan spesies lain.
“Di sisi lingkungan, ekspansi perkebunan sawit telah menjadi penyebab utama deforestasi di Indonesia. Data Auriga Nusantara dan Walhi (2022) menyebutkan bahwa 2,9 juta hektare lahan perkebunan sawit berasal dari konversi hutan alam, di mana perkebunan skala besar menjadi faktor utama hilangnya tutupan hutan dibandingkan dengan kebun rakyat,” tulis salah satu kesimpulan laporan.
Disebutkan juga ekspansi memperparah konflik agraria serta degradasi lingkungan dan mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat yang bergantung pada hutan.
Senada, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Herry Purnomo, menilai keberadaan hutan lebih penting daripada kebun sawit, jika dipandang secara ekologi. Pasalnya, hutan mampu menginfiltrasi hujan secara lebih baik daripada kebun sawit.
Ketika hujan turun, hutan mampu meresap air lebih banyak ke dalam tanah, karena tanah yang gembur, banyak akar, dan struktur ekosistemnya mendukung penyerapan. Dampaknya, air yang mengalir di permukaan (runoff) menjadi rendah. Saat runoff rendah, risiko banjir lebih kecil. Pasalnya, air tidak langsung lari ke sungai atau permukaan tanah, tetapi diserap oleh hutan.
“[Kalau] kebun, runoff lebih tinggi, terutama kalau kebunnya itu sudah ada pengolahan lahan. Kalau di kebun kan kelihatan airnya mengalir di permukaan. Memang berbeda banget secara ekologi,” terang Herry kepada wartawan Tirto, Selasa (2/12/2025).
Ia juga menekankan, bencana di Sumatra terjadi imbas deforestasi yang terjadi selama puluhan tahun. Jika ditarik rata-rata, deforestasi di Sumatera Utara terjadi sebanyak 23 ribu hektare per tahun, di Sumatera Barat 16 ribu hektare per tahun, serta di Aceh 14 ribu hektare per tahun.
Secara nasional, katanya, deforestasi juga meningkat setiap tahunnya. Pada 2024, deforestasi terjadi sebanyak 200 ribu hektare. Lalu, pada 2022 dan 2023 sebanyak 120 ribu hektare setiap tahun.
Herry mengakui, sejumlah pihak telah berupaya melakukan reboisasi. Akan tetapi, ia menilai langkah deforestasi terjadi lebih sering daripada reboisasi. “Jadi, mencegah deforestasi dan juga merestorasi. Mencegah juga ada, banyak orang berusaha. Tetapi kan banyak, terus terjadi [deforestasi]. Yang besar itu kan masalah politik,” tuturnya.
Upaya Pemerintah dan Masyarakat
Dwi Sawung dari Walhi menyatakan, pemerintah harus menghentikan upaya pembabatan hutan di seluruh wilayah Indonesia, jika tak ingin bencana alam terus berulang. Pemerintah juga harus mengurangi pengalihfungsian hutan menjadi kebun dengan satu jenis tanaman. Ia meyakini bencana Sumatra akan kembali terulang jika pemerintah tidak berupaya menambah jenis tanaman atau meneruskan pembabatan hutan.
“Sungainya enggak akan bisa nampung kalau di-monokultur-kan begitu. Hutan hujan tropis kan curah hujannya tinggi banget dan ini (bencana alam di Sumatra) kemungkinan enggak akan jadi yang terakhir,” sebutnya. Dia juga mengatakan tanpa adanya perubahan pola penghijauan di wilayah daerah aliran sungai, bukan tidak mungkin bencana yang lebih parah bisa terjadi
Di satu sisi, masyarakat disebut juga dapat menyiapkan diri dengan cara membuat sistem pemberitahuan dini saat akan ada banjir. Hal itu dapat dilakukan melalui kerja sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). “Kalau sudah terlanjur kan, misalnya warga udah terlanjur menempati kayak gitu [DAS], mau nggak mau mereka membangun sistem peringatan dini sendiri,” ucapnya.
Sementara itu, Guru Besar IPB Herry menyatakan, masyarakat memang harus melawan kepentingan segelintir orang yang berkeinginan membabat hutan. Ia meyakini pemerintah akan mengikuti keinginan kebanyakan masyarakat. “Pemerintah itu mengikuti kehendak rakyat. Apalagi di daerah, konstituen yang diikuti ya konstituennya. Pemerintah tahu mana yang benar dan salah, tapi kalau masyarakat yang benar ini diam, itu terlupa. Nanti tahun depan lupa lagi,” ujarnya.
Menurut Herry, masyarakat adat berperan besar ketika kelak menyuarakan penolakan terhadap pembabatan hutan. Kemudian, pemerintah juga disebut harus menindaklanjuti perusahaan-perusahaan yang membabat hutan secara ilegal. “Harus ada perlawanan yang elegan. Yang membentuk komunitas-komunitas. Banyak kawan-kawan aktivis yang siap membantu,” tambah dia.
Sumber berita Tirto.id
