Bencana sampai Krisis Air Bersih di Pohuwato Demi Energi Hijau?

  • Bencana banjir menghantui masyarakat Pahuwato, Gorontalo, terutama ketiga musim penghujan datang. Seperti terjadi, Juni lalu, banjir bandang yang menghancurkan segala, rumah sampai menelan korban jiwa. Di hulu wilayah terdampak banjir itu ada tutupan hutan hilang. Hutan berubah jadi konsesi perkebunan kayu untuk energi biomassa. Di wilayah sekitar juga ada tambang-tambang emas ilegal.
  • Setelah hutan di hulu terbuka, sungai-sungai di barat Gorontalo, perlahan kehilangan kejernihan. Air berubah cokelat, dan meninggalkan endapan lumpur di dasar pipa. Air minum pun warga tak bisa gantungkan lagi dari sumber air alami yang dulu jernih, kini air galon jadi andalan.
  • Nasruddin, Kepala Bidang Penataan dan Pengkajian Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Gorontalo, mengaku, belum pernah memeriksa langsung lokasi konsesi perusahaan untuk memastikan proses penebangan hutan alam. Dia hanya turun ke beberapa kecamatan di Pohuwato yang mengalami krisis air bersih.
  • Berdasarkan Kajian Risiko Bencana Nasional dari BNPB, kabupaten ini memiliki wilayah dengan tingkat bahaya banjir terbesar di Gorontalo, seluas 41.495 hektar, dengan potensi terdampak 87.539 jiwa. Pahuwato juga merupakan daerah dengan bahaya cuaca ekstrem terluas, yaitu, 137.185 hektar, setara lebih dari sepertiga kawasan rawan cuaca ekstrem di Gorontalo, yang mencapai 384.513 hektar.

Bau lumpur dan kayu busuk menyeruak. Di tengah lahan becek, Hasan Lakoro mematung di antara sisa puing rumahnya. Di bawah kakinya, tanah retak dan basah, bekas terjangan air bah yang datang bak monster yang mengamuk. Langit di Desa Tuweya, Kecamatan Wanggarasi, Gorontalo, kelabu pekat,  sore itu.

Dulu, di sana ada rumah sederhana, kini kosong. Dari teras, tawa Laras Tiari Lakoro, putri semata wayangnya yang berusia 15 tahun, biasa terdengar hingga ke jalan desa. Kini, tersisa hanya foto kecil siswa kelas 3 SMP itu dalam bingkai patah dan suara lirih Hasan. “Dia ditemukan keesokan pagi, di bawah banjir bandang.”

Pada 20 Juni 2025, hujan deras mengguyur tanpa henti sejak senja. Sekitar pukul 9.00 malam, suara gemuruh terdengar dari arah hulu sungai. Dalam hitungan menit, air cokelat datang menggulung desa, menghancurkan sejumlah rumah, menyeret ternak, dan merenggut dua nyawa, Laras, dan Ance Munu (42), saudara ipar Hasan. Keduanya terjebak di dalam rumah yang akhirnya terseret arus.

Hasan dan istrinya saat itu sedang bekerja di tambang rakyat, sekitar 20 kilometer dari rumah. Kabar banjir datang lewat telepon. Mereka pulang dengan terburu-buru, tetapi yang tersisa hanya kehancuran. “Saya langsung lemas. Istri saya pingsan di tempat,” katanya, menatap ke arah sungai yang kini tinggal aliran kecil berwarna keruh.

Laras dan Ance sempat dilaporkan hilang malam itu. Keesokan paginya, baru ditemukan tak bernyawa.

Hutan dan tutupan yang hilang di Dea Toweya, Pahuwato. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Dalam satu malam, Hasan kehilangan segalanya,  anak, keluarga, dan rumah. Rumah itu berdiri hanya 10 meter dari bantaran sungai. Kini, tersisa hanya bekas pondasi. Air naik lebih dari dua meter, menyapu bersih apa pun yang ada di jalurnya. “Tidak ada waktu untuk menyelamatkan apapun,” katanya pelan.

Matanya sembap, suara lelah. “Rasanya seperti mimpi buruk.” Dalam hitungan menit, ratusan rumah di Desa Tuweya dan Bohusami terendam. Puluhan rumah rusak berat, ladang serta ternak warga hanyut terbawa arus.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pohuwato, sekitar 1.235 jiwa terdampak banjir bandang di malam itu. Di Desa Tuweya, 158 keluarga atau sekitar 615 jiwa terpaksa mengungsi. Di Desa Bohusami, pengungsi bahkan lebih besar, 197 keluarga atau 620 jiwa.

Pemerintah mengklaim penyebab banjir adalah intensitas hujan tinggi. Bagi Hasan, bencana ini bukan sekadar curah hujan. “Sepanjang hidup saya di desa ini, sungai memang sering meluap. Tapi tidak pernah separah ini. Semua berubah sejak perusahaan itu buka hutan di atas sana,” katanya. Di hulu Wanggarasi ada perusahaan berizin hutan tanaman energi beroperasi, PT Inti Global Laksana (IGL).

Rumah warga terdampak banjir di Pahuwato. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Warga amini dugaan Hasan. Di Desa Bukit Tinggi, Ratna Ismail juga punya kisah serupa. Kakak kandungnya, Yunus Ismail (53), dan cucu bungsunya, Ramsi Samindi (6), meninggal dunia setelah hanyut di Sungai Popayato 18 Juni 2024, setahun sebelum banjir di Tuweya.

Kala itu, Yunus bersama dua cucunya, Ramsi dan Fandli Samindi (13), hendak memindahkan ternak sapi yang mereka gembalakan di seberang sungai. Hujan baru saja reda, dan arus sungai tampak masih tinggi tetapi mereka tetap menyeberang.

Di tengah sungai, debit air tiba-tiba naik. Arus deras menghantam mereka. Ramsi dan Yunus terseret. Fandli berhasil selamat. Jasad Yunus dan Ramsi ditemukan beberapa hari kemudian, tak jauh dari lokasi kejadian. “Kami tidak pernah menyangka air sungai bisa secepat itu meluap. Kakak saya sudah puluhan tahun beraktivitas di sungai itu. Kali ini… air datang seperti dinding besar, tidak tertahan,” ucap Ratna.

Ratna juga menaruh curiga, hutan di hulu menyusut sebagai penyebab. Ada dua perusahaan besar beroperasi di sana, PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) dan IGL. Perusahaan HTE ini mengganti hutan untuk pohon energi seperti gamal dan kaliandra, bahan baku pelet kayu. Tambah lagi, tambang emas ilegal di sekitar hulu memperparah kondisi. “Hutan sudah gundul. Tanah tidak bisa lagi serap air. Kami yang di bawah jadi korban,” kata Ratna.

Di Desa Lemito Utara, Wani Haniu kehilangan tiga dari empat sapinya. Ternak hanyut tersapu banjir bandang. “Sapi saya diikat dekat sungai. Tiba-tiba air datang besar sekali. Tidak sempat apa-apa.” Dia memperkirakan kerugian mencapai puluhan juta rupiah, karena ternak merupakan sumber utama penghidupan keluarga mereka. Di desanya, kata Wani, lebih 10 sapi hanyut terbawa arus.

Ratna juga menduga pembersihan hutan penyebab utama. “Mereka tebang hutan…. Sejak itu, sungai makin sering meluap. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang datang bantu. Pemerintah pun diam saja,” katanya.

Desa Toweya, Pahuwato, salah satu desa yang berada dekat aliran sungai. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
Air bersih hilang, air galon andalan

Banjir bukan satu-satunya bencana. Setelah hutan di hulu terbuka, sungai-sungai di barat Gorontalo,  perlahan kehilangan kejernihan. Air berubah cokelat, dan meninggalkan endapan lumpur di dasar pipa.

Di Desa Bukit Tinggi, Ratna sudah lama berhenti menggunakan air PDAM. “Air dari keran sekarang keruh, kadang berwarna hitam,” katanya. Untuk masak dan minum, dia membeli air galon. Dalam sebulan, keluarganya menghabiskan setengah juta rupiah, jumlah besar bagi petani kecil.

Samin Ahmad, warga Desa Bukit Tinggi mengalami hal serupa. Meski begitu, dia dan keluarganya terpaksa menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari, meskipun efek samping mulai terasa. “Ketika habis mandi sungai, kulit saya dan anak sering jadi merah dan gatal. Kita tidak ada pilihan lain,” katanya ditemui di Sungai Popayato.  Dia tengah mandi dan mencuci baju meskipun air sungai sangat keruh.

Untuk menyiasati itu, Samin kerap menggali lubang-lubang kecil di pinggiran sungai, semacam sumur resapan yang memanfaatkan filtrasi alami tanah. Air sedikit lebih jernih, namun belum tentu aman secara kesehatan.

Sudah empat tahun mereka hidup dalam kondisi ini. Sejak hulu untuk perkebunan tanaman energi dan tambang emas ilegal, kondisi sungai berubah drastis. Air yang dulu jernih, berubah keruh, penuh endapan lumpur, apalagi saat musim hujan tiba.

Pembukaan hutan menyebabkan erosi masif dan sedimentasi sungai hingga sungai tak lagi mampu menopang kehidupan. “Ini bukan cuma soal air, ini soal hidup. Kami harus beli air untuk minum dan masak, habiskan lebih dari Rp500.000 sebulan. Tapi tetap saja harus mandi dan cuci di sungai yang kotor. Kami sangat dirugikan.”

Situasi Samin dan Ratna juga terjadi di Desa Kelapa Lima, Kecamatan Popayato Timur. Yusuf Mese, tokoh masyarakat di sana, mengatakan, krisis air bersih sudah menjadi bagian dari keseharian warga sejak perusahaan mulai beroperasi di hulu. “Mereka janji bangun bak air bersih untuk warga. Tapi sampai sekarang, jangankan bangunan, papan penandanya saja tidak ada,” katanya.

Yusuf menyebut, janji itu disampaikan dalam sosialisasi awal sebelum perusahaan membuka lahan. Sampai hari ini, tidak satu pun terealisasi. Aduan demi aduan telah warga sampaikan, mulai dari musyawarah desa, surat resmi, hingga forum publik namun semua berujung sunyi.

“Kami ini katanya desa dampingan, tapi tidak pernah didampingi, tidak pernah dibantu. Kami dibiarkan hidup di tengah krisis air akibat aktivitas merusak yang mereka lakukan.”

Di lima kecamatan, Popayato, Popayato Barat, Popayato Timur, Lemito, dan Wanggarasi, krisis air kini menjadi kenyataan baru. Sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan berubah menjadi saluran air kotor penuh endapan.

Rumah warga korban banjir Pahuwato. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
Tebang hutan di wilayah rawan bencana

Dua perusahaan HTE menyatakan mereka menjalankan bisnis berkelanjutan dengan menanam tanaman seperti gamal dan kaliandra sebagai bahan baku pelet kayu.

Sebelum jadi HTE, kedua perusahaan ini bermula dari perkebunan sawit. Sejak 2010, BTL dan IGL mengantongi hak guna usaha (HGU) masing-masing 16.000 hektar dan 12.000 hektar untuk kebun sawit. Lokasi konsesi BTL membentang di Kecamatan Popayato Barat, Popayato, Popayato Timur, dan Lemito. Sedangkan wilayah IGL di Kecamatan Lemito dan Wanggarasi.

Perubahan arah bisnis terjadi pada Februari 2020, ketika kedua perusahaan mengalihkan izin usaha perkebunan dari sawit menjadi tanaman energi, yakni gamal dan kaliandra. Kedua tanaman ini sebagai sumber biomassa hijau untuk produksi pelet kayu.

Pada Mei 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyetujui permohonan penetapan hutan hak untuk BTL dan IGL. Luasan hutan 15.493 hektar untuk BTL dan 11.860 hektar untuk IGL.

Adapun bahan baku dari BTL dan IGL disuplai ke PT Biomasa Jaya Abadi (BJA), perusahaan industri pelet kayu juga di dalam konsesi. Katanya, pelet kayu jadi bahan pencampuran dengan batubara dalam sistem pembakaran sama (co-firing) di PLTU. Pemerintah klaim praktik ini mampu menekan emisi karbon dari sektor energi.

Analisis spasial Forest Watch Indonesia (FWI), kurun 2021-2024, kedua perusahaan  telah menebang hutan alam 2.793,33 hektar.

Menurut analisis spasial Atlas Nusantara, kedua perusahaan itu melakukan deforestasi 3.485,1 hektar periode 2020-2024.

Kondisi ini memperlihatkan, sebagian kayu produksi eka dari penebangan hutan alam, bukan dari hasil penanaman ulang atau rehabilitasi.

Praktik ini disinyalir menjadi pemicu meningkatnya risiko bencana hidrometeorologi di Pohuwato, seperti banjir.

“Ini bukan hutan tanaman, ini hutan alam yang ditebang,” kata Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media FWI.

Analisis spasial FWI juga menemukan konsesi dua perusahaan itu tumpang tindih dengan tiga daerah aliran sungai (DAS) di Pohuwato: Lemito, Popayato, dan Randangan.

Selama 2017–2023, deforestasi sepanjang alur ketiga DAS itu mencapai 1.274,47 hektar, dengan 15% di konsesi BTL (188,51 hektar) dan 2% di konsesi IGL (22,16 hektar).

“Ketika hutan di aliran sungai dibuka, kemampuan tanah menyerap air hilang. Air hujan langsung lari ke bawah. Begitulah banjir bandang lahir,” jelas Anggi.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkuat dugaan terkait dampak pembabatan hutan itu. Sejak dua perusahaan itu beroperasi pada 2020, frekuensi banjir di Kabupaten Pohuwato meningkat signifikan, tercatat 35 kali hingga Oktober 2025.

Dalam periode sama, sekitar 13.000 rumah terendam dan lebih dari 56.000 jiwa mengungsi.

Berdasarkan Kajian Risiko Bencana Nasional dari BNPB, kabupaten ini memiliki wilayah dengan tingkat bahaya banjir terbesar di Gorontalo, seluas 41.495 hektar, dengan potensi terdampak 87.539 jiwa.

Kabupaten ini juga merupakan daerah dengan bahaya cuaca ekstrem terluas, yaitu, 137.185 hektar, setara lebih dari sepertiga kawasan rawan cuaca ekstrem di Gorontalo, yang mencapai 384.513 hektar.

“Secara ekologis, wilayah itu sudah lampu merah. Ironinya, perusahaan justru memotong hutan di titik paling rawan banjir.”

Anggi bilang, peran hutan dalam mengatur siklus air sangatlah vital, terutama di wilayah dengan kontur berbukit dan aliran sungai yang deras. Dia menduga kuat penebangan hutan alam serta kerusakan hutan di sekitar tiga DAS menjadi penyebab utama meningkatnya frekuensi dan skala banjir bandang di Pohuwato.

Dalam membahas dampak ekologis, aspek legalitas tak bisa jadi alasan untuk mengabaikan kerusakan. Setiap kegiatan berizin, terutama yang menebang hutan alam, wajib memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Kalau muncul dampak ekologis, itu menandakan perusahaan tidak menjalankan amdal dengan benar.

Ironisnya, kata Anggi, BTL dan IGL justru diduga bukan hanya tidak menjalankan amdal, tetapi hanya memiliki amdal untuk perkebunan sawit, bukan HTE.

Menurut dia, menebang hutan dengan amdal sawit merupakan bentuk pelanggaran hukum.

Nasruddin, Kepala Bidang Penataan dan Pengkajian Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Gorontalo,  menyebut,  dokumen amdal atau izin lingkungan BTL dan IGL telah berubah.

Keduanya tidak lagi menggunakan amdal perkebunan sawit,  kini beralih ke skema perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH). Adapun amdal BJA, menjadi satu paket dengan BTL karena pabrik dalam konsesi BTL.

Sejak 5 November, Mongabay melayangkan surat konfirmasi kepada tiga perusahaan—BTL, IGL, dan BJA—untuk meminta jawaban atas serangkaian tudingan terkait krisis ekologis yang diduga terpicu aktivitas mereka.

Hingga dua pekan berselang, tak satu pun dari ketiga perusahaan itu bersedia menanggapi. Mereka memilih bungkam. Berliana Elisabeth, Public Relations BJA Group membenarkan itu.

“Mohon maaf, setelah berkoordinasi dengan manajemen klien, mereka memutuskan untuk tidak memberikan jawaban,” tulis Berliana melalui pesan WhatsApp, Rabu (19/11/25).

Mongabay juga menghubungi Zunaidi, Direktur BTL, IGL, dan BJA, melalui pesan WhatsApp. Hingga laporan ini terbit belum ada penjelasan.

Sedang Nasruddin mengaku belum pernah memeriksa langsung lokasi konsesi BTL dan IGL untuk memastikan proses penebangan hutan alam.

Dia hanya turun ke beberapa kecamatan di Pohuwato yang mengalami krisis air bersih.

Nasruddin benarkan, sejumlah kecamatan kekurangan air bersih karena sumber air menjadi keruh. Namun dia menilai persoalan itu lebih karena teknologi PDAM Pohuwato sudah usang.

Dia juga menunjuk aktivitas penambangan emas tanpa izin dengan alat berat di hulu sungai sebagai penyumbang utama kerusakan sumber air.

Tentang kemungkinan keterkaitan krisis air bersih dengan aktivitas BTL dan IGL, Nasruddin berhati-hati. Dia mengaku memiliki kecurigaan, tetapi belum bisa memastikan.

“Kita perlu lihat secara spasial apakah krisis air itu juga dipicu oleh aktivitas BTL dan IGL atau tidak,” katanya.

Begitu pula soal banjir yang makin sering terjadi setelah perusahaan beroperasi. Nasruddin menekankan perlu analisis spasial yang memetakan lokasi banjir, daerah aliran sungai (DAS), serta titik kegiatan perusahaan. Tanpa itu, dia belum mau menyimpulkan.

“Biasanya banjir dipengaruhi faktor alam juga, seperti curah hujan tinggi. Harus dilihat secara detail.”

Nasruddin meyakinkan, jika nanti terbukti aktivitas perusahaan memicu banjir, dinas akan menjatuhkan sanksi tegas dari administrasi hingga pencabutan izin.

Sejauh ini, katanya, belum ada laporan resmi masuk soal keterlibatan perusahaan dalam banjir. (Bersambung)

Sumber berita Mongabay.co.id

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top