ALARM YANG DIABAIKAN: Ancaman Ekspansi Industri Biomassa Terhadap Hutan Tropis Indonesia dan Asia Tenggara

Hutan bakau dan terumbu karang di Pulau Gam, Raja Ampat, Indonesia. Foto: Anemone melalui Adobe Stock
Hutan bakau dan terumbu karang di Pulau Gam, Raja Ampat, Indonesia. Foto: Anemone melalui Adobe Stock

Indonesia memiliki salah satu hutan yang paling kaya akan keanekaragaman hayati dan karbon di dunia, serta 50 sampai 70 juta anggota masyarakat adat yang tergantung pada ekosistem hutan utuh untuk bertahan hidup. Meskipun demikian, pembakaran kayu di instalasi pembangkit listrik tenaga biomassa atau “co-firing” biomassa dengan batubara di instalasi pembangkit listrik tenaga uap dapat membawa hutan Indonesia kepada “suatu titik yang tidak dapat dibalikkan lagi” sebelum tahun 2040. Kebijakan penurunan emisi karbon yang mengalihkan uang masyarakat dari pengembangan tenaga surya dan angin kepada energi biomassa mengancam hutan dan keanekaragaman hayati di wilayah Asia Tenggara.

Surat yang ditandatangani oleh lebih dari 500 ilmuwan dan pakar ekonomi pada tahun 2021 memperingatkan bahwa amanat Komisi Eropa untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan sebesar 20% dan memperlakukan biomassa sebagai sumber energi yang netral karbon akan “menciptakan model yang mendorong negara tropis untuk menebang lebih banyak hutannya.”

Tiga tahun kemudian, prediksinya menjadi kenyataan di berbagai tempat di wilayah Asia Tenggara. Tahun kemarin, Korea Selatan dan Jepang merupakan aktor utama yang mendorong peningkatan permintaan global akan pelet kayu. Pada tahun 2023, wilayah Asia mengalami pertumbuhan tahunan sebesar 20% dalam permintaan pelet kayu, yang dimotori oleh Jepang dan Korea Selatan. Pada tahun 2022, Jepang dan Korea Selatan mengimpor paling banyak pelet kayu selain wilayah Eropa, dengan impor masing-masing sebesar 4,4 juta dan 3,9 juta ton.

Pembakaran kayu untuk energi di Indonesia, Jepang dan Korea Selatan merupakan ancaman terhadap hutan tro pis dan keanekaragaman hayati di wilayah Asia Tenggara

Program subsidi di Korea Selatan dan Jepang secara radikal memperluas permintaan dan produksi pelet kayu dan serpihan kayu dari hutan di berbagai daerah di wilayah Asia Tenggara.

Dalam analisis terhadap impor pelet kayu, ditemukan adanya hubungan sebab-akibat langsung antara produksi pelet kayu di Asia Tenggara dan kebijakan energi terbarukan di Korea Selatan. Dari tahun 2012 sampai 2021, total produksi pelet kayu di Vietnam melonjak dari 50.000 ton menjadi 3,5 juta ton; sedangkan produksi di Malaysia naik dari 40.000 ton menjadi 710.000 ton, dan produksi di Indonesia meningkat dari 20.000 ton menjadi 330.000 ton.7,  Penambahan kapasitas pem bangkit listrik diperkirakan akan menjadikan Jepang sebagai konsumen pelet kayu terbesar di dunia.

Ancaman Deforestasi dari Energi Kayu di Indonesia

Permintaan pelet kayu di Korea Selatan dan Jepang memotori industri baru yang tumbuh pesat di Indonesia di bidang energi hutan. Sebagaimana terlihat pada grafik di bawah ini, kedua negara tersebut membeli lebih dari 99% ekspor pelet kayu Indonesia. Dari tahun 2021 sampai 2023, ekspor pelet kayu Indonesia ke Korea Selatan melonjak dari 49,8 ton menjadi 68.025,1 ton; sedangkan pada waktu yang sama, ekspor ke Jepang meningkat tajam dari 54 ton menjadi 52.734,7 ton.

Penilaian terhadap ancaman dari ‘haul zones’ (zona pemungutan bahan baku industri) memperlihatkan bahwa pabrik serpihan kayu dan PLTU co-firing merupakan ancaman yang cukup signifikan terhadap hutan dan keragaman hayati di Indonesia, sebagaimana terlihat pada beberapa gambar di bawah ini.

Amanat Indonesia mengenai 10% co-firing mengancam 10 juta hektar tutupan hutan yang masih utuh di zona pemungutan serpihan dan pelet kayu. Diperkirakan bahwa penggunaan kayu untuk mengurangi pembakaran batubara sebesar 10% di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) besar di Indonesia dapat memicu deforestasi sebesar 35 kali luas wilayah Jakarta — sehingga menyebabkan tingkat emisi CO₂ yang hampir lima ratus kali lipat lebih besar daripada emisi yang ada saat ini. Tahun ini, enam instalasi PLTU (Paiton 1 & 2, Indramayu, Rembang, Ropa dan Adipala) menggunakan pelet kayu; dan empat lagi (Anggrek, Bolok, Tembilahan dan Tarahan) membakar serpihan kayu. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 memproyeksikan permintaan biomassa sebesar 8,05 juta ton untuk kegiatan co-firing sebelum tahun 2030. Untuk itu, instalasi PLTU yang baru sedang dirancang untuk membakar biomassa hingga 30%.

Bioenergi Indonesia: PLTU Co-firing
Hutan Tanaman Energi

Untuk memenuhi permintaan dalam dan luar negeri yang diproyeksikan untuk biomassa berkayu, maka hutan tanaman energi ditetapkan sehingga menambah tekanan terhadap kawasan hutan yang justru membutuhkan restorasi dan perlindungan. Estimasi kami memperlihatkan bahwa saat ini terdapat lebih dari 400.000 hektar hutan tropis yang belum terganggu di dalam lebih dari 1,2 juta hektar hutan tanaman energi di Indonesia. Ancaman ini dapat meluas secara drastis, apabila tidak ada perubahan dalam pilihan jalur transisi energi. Pemenuhan amanat co-fir ing Indonesia akan memerlukan 10,23 juta ton pelet kayu per tahun dari areal hutan sebesar 3,27 juta lapangan sepak bola.14 Hal tersebut akan meningkatkan laju deforestasi sebesar 2,1 juta hektar per tahun.

untuk lebih lengkap laporan bioenergi dapat diunduh pada tautan dibawah ini:
ALARM YANG DIBAIKAN: Ancaman Ekspansi Industri Biomassa Terhadap Hutan Tropis Indonesia dan Asia Tenggara [Laporan Bioenergi]
Published: Oktober 30, 2024
Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top