Ribuan batang kayu menumpuk bak gunung di tempat penampungan PT. Rezeki Perkasa Sejahtera Lestari (RPSL), yang terletak di Desa Wajok Hulu, Kecamatan Siantan, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Dua unit ekskavator tampak mondar-mandir memindahkan sedikit demi sedikit batang kayu dari penampungan ke tungku pembakaran. Sementara cerobong pembuangan tak henti-hentinya mengeluarkan asap hitam.
Rezeki Perkasa Sejahtera Lestari (RPSL), merupakan perusahaan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) berkapasitas 15 Megawatt (MW). Perusahaan ini mulai beroperasi sejak tahun 2018, sekaligus menjadi pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) pertama di Kalbar. Listrik yang dihasilkan PLTBm tersebut untuk memasok kebutuhan energi ke Perusahaan Listrik Negara (PLN), sebesar 10 Megawatt atau sebesar 70 juta kilo watt hour (kWh) per tahun.
Untuk memproduksi energi, PLTBm ini diperkirakan membutuhkan bahan bakar sebanyak 98.400 ton per tahun, atau 8.200 ton per bulan, atau 273,3 ton per hari. Tak heran jika kita melintas di jalan raya Pontianak-Sungai Pinyuh, puluhan mobil pengangkut kayu keluar masuk ke perusahaan tersebut. Mulai dari pick-up, truk biasa, bahkan truk fuso ukuran 20 ton. nAktivitas seperti itu menjadi pemandangan setiap hari, dari pagi, siang bahkan malam. Mereka datang membawa muatan kayu yang berasal dari berbagai penjuru Kalbar, seperti Kubu Raya, Mempawah, Landak, Bengkayang, Sanggau, bahkan Sintang.
Satu di antaranya adalah Aliansyah. Pemuda 21 tahun asal Kubu Raya ini sudah tiga tahun menjadi penyuplai kayu untuk PLTBm tersebut. Berbekal kendaraan bak terbuka (pick-up), Aliansyah mencari kayu yang dijual masyarakat hingga ke Kecamatan Mempawah Hulu, Kabupaten Landak. Ia membelinya dengan harga Rp 450 ribu per pick-up. Kayu-kayu tersebut kemudian dijual kembali ke PLTBm dengan harga Rp 280 ribu per ton. “Satu pick-up biasanya mampu mengangkut tiga ton. Rata-rata kayu pohon karet milik warga.” kata Aliansyah kepada Pontianak Post.
Dalam sehari, Aliansyah bisa memasok kayu ke PLTBm sebanyak 2-3 kali, atau 14 kali dalam seminggu. Tergantung ketersediaan kayu dari masyarakat. “Biasanya saya dihubungi penebang. Kalau kayunya sudah ada dan siap angkut, baru diangkut. Tapi sekarang agak susah, karena faktor cuaca. Hujan dan banjir,” bebernya.
Hal senada juga diungkapkan Hilmi, warga Sungai Pinyuh, Kabupaten Mempawah. Hilmi mengaku sudah dua tahun menjadi pemasok bahan bakar ke PLTBm milik PT. RPSL. Ia mendapatkan kayu dari masyarakat di sekitar Anjungan, Kabupaten Mempawah hingga ke Toho, Kabupaten Landak. Sama dengan Aliansyah, Hilmi juga memiliki koneksi dengan penebang kayu di sana. Mereka selalu menghubunginya setiap ada persedian kayu dan siap untuk diangkut.
“Sama. Saya juga membeli dari warga. Satu pick-up-nya sekitar Rp400 ribu hingga Rp450 ribu,” kata dia. Menurut Hilmi, hampir semua jenis kayu diterima PLTBm. Namun kebanyakan kayu pohon karet. “Kebanyakan karet. Tapi ada juga jenis lain, seperti laik dan lain-lain,” katanya.
Berbeda dengan Aliansyah dan Hilmi, Ainul, warga Desa Durian, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya ini justru lebih dulu terjun sebagai penjual kayu sekaligus pemasok kayu ke PLTBm Siantan. Kayu yang dijualnya berasal dari kebun karet milik keluarganya yang ingin alih fungsi dari perkebunan karet ke perkebunan sawit. Biasanya, kata Ainul, pohon karet yang sudah ditebang tidak dimanfaatkan dan hanya ditimbun begitu saja. Demikian juga pohon-pohon hasil pembersihan lahan (land clearing), sebelum ditanami sawit. “Sekitar tahun 2018, saya mendapat informasi kalau ada perusahaan yang mau menampung kayu bakar. Katanya untuk pembangkit listrik. Saya pun kepikiran untuk menjual kayu-kayu itu ke sana,” beber Ainul.
Dengan berbekal truk sewaan, ia mengangkut kayu-kayu tersebut ke PLTBm. Selain itu, ia juga membeli kayu milik warga di sekitar tempat tinggalnya. Satu truk mampu mengangkut 8 hingga 9 ton, dengan harga Rp 1,8 juta. Dari situ, ia mendapat keuntungan Rp 700 ribu sekali kirim. “Tapi, saya tidak setiap hari kirim. Mungkin dalam sebulan hanya dua atau tiga kali kirim,” bebernya. Menurut Ainul, di sekitar desanya, lebih dari 100 hektare luas kebun karet berubah menjadi perkebunan sawit. “Punya keluarga saya saja ada lima hektare. Belum lagi punya warga yang lain. Mungkin ada ratusan hektare,” katanya.
Strategi Rencana Aksi Perubahan Iklim Kalbar
Keberadaan pembangkit Listrik tenaga biomassa tersebut tak lepas dari kebijakan pemerintah dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Melalui kesepakatan global, Indonesia menjadi salah satu negara yang berkomitmen untuk andil dalam menurunkan emisi dan menghadapi perubahan iklim.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kalimantan Barat, Adiyani mengatakan, berkenaan dengan kebijakan tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan melakukan transisi energi. “Untuk mendukung menurunan emisi itu, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan di lima sektor, di antaranya sektor energi, transportasi, kehutanan, gambut dan sektor limbah,” kata Adiyani kepada Pontianak Post.
Menurutnya, kelima sektor itu telah dimasukan ke dalam skema Strategi Rencana Aksi Perubahan Iklim Kalbar. “Untuk sektor kehutanan, alhamdulillah kami sejak tahun 2009 telah melakukan upaya-upaya itu. Kemudian pada tahun 2012, kami membentuk tim Satgas REDD+ Kalbar,” katanya. Sementara untuk di sektor energi, kewenangannya ada di Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). “Saya juga sudah perintahkan kabid energi dan listrik untuk melakukan upaya-upaya seperti yang sudah dilakukan di DLHK,” lanjut Adiyani yang juga menjabat sebagai Plh Disperindag ESDM Kalbar itu.
Berkaitan dengan kebijakan transisi energi, pihaknya telah melakukan sosialisasi kepada setiap BUMN (PLN, smelter, maupun pabrik) yang mempunyai power plant (pembangkit), agar tidak lagi menggunakan batu bara sebagai bahan bakar, dan wajib menggunakan 10 persen energi baru terbarukan dari biomassa kayu. “Kita panggil PLN, Antam dan APHI. Kita duduk bareng, untuk mensosialisasikan itu. Misal PLN yang selama ini menggunakan bahan bakar batu bara, harus menggunakan bahan baku kayu sebesar 10 persen,” kata Adiyani.
Lantas dari mana kayu-kayu tersebut? Kata Adiyani, setidaknya ada 69 perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan (HTI). Dari 69 perusahaan itu, ada produk kayu yang dihasilkan setiap tahunnya. “Kayu-kayu besar akan diolah di sawmill. Sedangkan kayu-kayu yang dianggap limbah oleh HTI itulah yang digunakan sebagai bahan bakarnya. Tapi di kehutanan ada aturannya, hanya boleh menggunakan 20 persen saja,” terangnya.
Ternyata, kayu-kayu limbah tersebut masih kurang, maka perlu adanya campuran limbah kelapa sawit dan limbah dari tempat pengolahan kayu (sawmill) yang jumlahnya ada sekitar 160 izin. “Mungkin nanti perlu adanya regulasi untuk mengatur itu. Terutama soal biaya yang harus dikeluarkan,” katanya.
Siapa yang Diuntungkan?
Manajer Komunikasi dan TJSL PLN Wilayah Kalimantan Barat, Mukhlis Zarkasih mengatakan, dengan adanya kebijakan transisi energi, PLN Kalbar merasa diuntungkan. Sebab, PLN dapat menekan biaya pokok produksi (BPP) hingga Rp 500 miliar per tahun. “BPP di Kalbar ini masih mahal. Rata-rata Rp450 ribu perkWh. Total produksi per tahun mencapai Rp800 miliar. Dengan kebijakan transisi energi ini, kami bisa menghemat hingga Rp500 miliar per tahun,” kata Muklis kepada Pontianak Post.
Dengan keberadaan PLTBm, PLN mendapat pasokan listrik sebesar 10 Megawatt atau sebesar 70 juta kilowatt hour (kWh) per tahun, dengan penetapan Commercial Operating Date (COD), selama 20 tahun. Dikatakan Mukhlis, listrik yang dihasilkan PLTBm tersebut akan dialirkan ke jaringan milik PLN sepanjang 5,6 kilometer sirkuit (kms) dari titik interkoneksi Gardu Induk (GI) Siantan ke Sistem Khatulistiwa.
Saat ini, Sistem Khatulistiwa melayani pelanggan di Pontianak, Kubu Raya, Mempawah, Singkawang, Pemangkat, Sambas dan Bengkayang, dengan beban puncak mencapai 599,2 Megawatt dan daya mampu pasok sebesar 581,3 Megawatt. “Dengan adanya PLTBm ini, setidaknya bisa menambah pasokan listrik yang ada. Harga jualnya 1.495 per kWh, berdasarkan Permen ESDM No. 27 tahun 2014,” terangnya.
Terlebih, kata Mukhlis, hingga saat ini Kalbar masih bergantung pada listrik negara tetangga, Malaysia, sebesar 85,4 Megawatt. “Ketergantungan pada listrik Malaysia ini masih cukup tinggi, yakni antara 40-50 persen. Tapi sekarang sudah mulai dikurangi, tinggal 20-30 persen,” jelasnya. Untuk itu, pihaknya mendorong dibangunnya PLTBm-PLTBm di Kalbar, dengan melihat potensi yang ada. Perkebunan Kepala Sawit (PKS) misalnya. Berdasarkan data BPS Kalbar tahun 2023, setidaknya ada 129 PKS, dengan total produksi 6.260 ton per jam. Dari total PKS tersebut bisa menghasilkan energi listrik antara 300-600 Megawatt.
“Tentu dengan potensi itu bisa menghasilkan limbah cair (pome) sebagai bahan bakar PLTBg (pembangkit listrik tenaga biogas), Belum lagi potensi air. Karena saat ini pembangkit-pembangkit listrik yang di Kalbar paling besar kapasitasnya hanya 25 Megawatt,” bebernya. Dijelaskan Mukhlis, saat ini bauran energi di Kalbar berdasarkan RUPTL (Recana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) 2021-2030 EBT, sebesar 33,2 persen. (bersambung..)
*Liputan ini didukung oleh Forest Watch Indonesia (FWI), melalui program Forest Watch Journalist Fellowship tahun 2024.
Sumber tulisan ini berasal dari Pontianakpost.jawapos.com