Gagalnya Proyek HTE di Aceh

Pagi itu, suara senso (gergaji mesin) mengaung-ngaung di lembah gunung Seulawah – yang beririsan dengan lahan milik PT Aceh Nusa Indrapuri (PT ANI). Serbuk dan bekas potongan kayu berserakan sepanjang jalan menuju lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dijadikan Hutan Tanaman Energi (HTE).

Meah pak, kameuganggu dron, nyoe lampoh dron nyeh? Peu kaye nyan pak. (maaf pak, sudah mengganggu Anda, ini kebun bapak? Itu jenis kayu apa),” tanya salah satu dari kami memecah keheningan dengan bahasa Aceh. Seorang laki-laki paruh baya tampak salah tingkah, saat ditanyakan ini lahan siapa. Bukan menjawab detail, justru ia bergegas pergi sembari membereskan seluruh peralatan dan gergaji besinya. Dengan kalimat singkat, ia hanya menyebutkan ini lahan milik orang lain. Lantas meninggalkan kayu yang ia belah tadi berjenis perlak atau dalam bahasa latin disebut Ficus septica, jenis pohon yang bernilai ekonomi tinggi.

Hanya sepuluh meter dari posisi tadi, tunggul-tunggul pohon dan sisa rantingan hasil penebangan terbakar menyebabkan kepulan asap. Lokasi ini persis di sisi kiri konsesi PT ANI, tepat berada di koordinat 5.299381 yang merupakan lahan bukaan lama di Kecamatan Lembah Seulawah, Kabupaten Aceh Besar. Lahan yang sudah terbuka juga terlihat di beberapa lokasi lainnya – tak begitu jarak dengan lokasi tadi. Baik di lokasi konsesi maupun di luar konsesi PT ANI yang membentang dari Aceh Besar hingga Kabupaten Pidie. Banyak hutan di kaki gunung Seulawah kini menjadi tandus, hanya tersisa bongkahan kayu dan sebagian lainnya sudah menjadi perkebunan.

Mantan Kepala Mukim Gunung Biram, Kecamatan Lembah Seulawah, Aceh Besar, Muhammad Hasyim menyebutkan, dulunya cuaca daerah ini sejuk, kini menjadi panas dan gersang, hingga mengakibatkan kekeringan. Juga berdampak pada hilangnya sumber air bersih warga sekitar akibat perambahan dan pembukaan lahan sejak beberapa tahun terakhir ini.

“Dulu Sejuk, sekarang dah mulai panas,” kata Muhammad Hasyim

Tak pelak, bencana hidrologi pun kerap menyapa gampong-gampong yang berada di kaki gunung Seulawah. Seperti Gampong Panca, Gampong Lam Kubu dan Gampong Panca Kubu. Pada awal 2024, tiga gampong ini direndam banjir hingga beberapa hari dengan ketinggian 1 meter sampai 1,5 meter. Puluhan hektar sawah dan lahan pertanian warga rusak parah hingga gagal panen. “Awal tahun (ini) di sini banjir sampai 1,5 meter hingga berhari-hari. beberapa bulan ini masyarakat di sini juga merasakan dampak kekeringan, sumur-sumur warga kering, bahkan parahnya lagi air sungai debitnya sudah sangat sedikit sehingga tidak bisa digunakan untuk mengairi sawah dan kebun warga,” kata Muhammad Hasyim.

Menurut Hasyim, perambahan hutan di mukimnya telah terjadi sejak lama, semenjak PT.ANI mendapat izin konsesi pada tahun 1997. Namun kondisi itu semakin parah saat lahan konsesi tersebut tidak terurus dan menjadi open access untuk kegiatan illegal logging, galian C juga perusahaan tambang serta pembukaan lahan untuk perkebunan yang dikelola oleh perseorangan juga kelompok.

Tak terlalu jauh dari Taman Hutan Raya (Tahura) Pocut Meurah Intan, Sare, Kabupaten Aceh Besar terdapat perkebunan sawit. Berdasarkan peta angkasa menggunakan Avenza Maps pada titik koordinat 5°27’34.94″N 95°45’49.76″E masuk dalam konsesi HTI milik PT ANI. Secara regulasi, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P23 tahun 2021, tanaman sawit tidak dibenarkan berada dalam kawasan hutan, karena sawit tidak termasuk sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).

Tak hanya itu, dalam konsesi HTI juga terdapat perkebunan kurma yang merupakan tumbuhan palem-paleman sejenis sawit, kelapa, salak, maupun enau. Selain itu juga terdapat villa dan cafe berada di lahan konsesi tersebut sudah tiga tahun lebih. Pemandangan yang sama juga terjadi di lahan PT ANI di kaki Gunung Seulawah, yakni di daerah Saree Aceh Besar, lahan yang sebelumnya ditanami pinus kini berganti dengan tanaman pinang, kemiri, cabai dan jagung. Lokasinya berada di koordinat 5°28’1.13″N 95°46’21.57″E, koordinat 5°27’40.94″N 95°45’18.85″E dan 5°27’12.69″N 95°45’20.35″E

Supervisor Management Planning PT ANI, Muammar Syafwan tak menampik ada lahan konsesinya dikuasai oleh warga, karena tak tergarap. Banyak lahan mereka telah diserobot dan berubah fungsi menjadi perkebunan kurma, sawit hingga membangun objek wisata seperti yang terjadi di Blang Bintang, Aceh Besar. “Itu kawasan hutan, semestinya secara aturan tidak boleh ada pembangunan tersebut. Jadi tidak benar kalau dikatakan Aceh Nusa menyerobot tanah milik warga, yang ada lahan kami yang di serobot dan itu sudah terjadi lama dimasa PT.ANI vakum,” tambahnya.

Konsesi PT ANI Lama Terlantar

Namun cerita tersebut berbanding terbalik dengan yang terjadi di lapangan, dari sumber Digdata.id mengatakan, perusahaan HTI yang sudah berdiri sejak 1997 tidak memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan, bahkan pasca konflik Aceh 2004 hingga berganti kepemilikan pada tahun 2016, keberadaan lahan tersebut tidak terurus dan tidak ada aktivitas sama sekali.

Banyak kewajiban yang mereka abaikan, sehingga kawasan hutan kelola PT ANI menjadi terbuka akses oleh banyak kegiatan illegal, baik itu tambang galian C maupun perambahan hutan (illegal logging). Menurut sumber digdata.id, ada aktivitas galian C dengan cara mengeruk batu-batuan di tepi gunung dan galian tersebut masih aktif hingga sekarang.

Hal senada juga dikatakan Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh, Ahmad Solihin. Kehadiran PT.ANI dengan mengelola lahan HTI, semestinya bisa menjawab permasalahan ekonomi warga hingga bisa mensejahterakan warga di sekitar lahan konsesi miliknya. Menurutnya, PT Aceh Nusa Indrapuri sepertinya tidak sanggup mengelola lahan konsesi tersebut secara menyeluruh, karena selama ini banyak lahan mereka yang dikuasai oknum-oknum tertentu baik perorangan maupun kelompok.

Selain itu, direktur WALHI juga mempertanyakan, tentang peningkatan status PT ANI dari dalam pencabutan kini menjadi pembinaan. Karena sepengetahuan WALHI perusahaan tersebut sudah lama tidak melakukan penanaman, begitu juga dengan pemanenan. Meski pihak perusahaan mengklaim masih ada sebagian hasil hutan mereka yang tersisa di lahan konsesi. “Tidak ada lagi hasil hutan mereka yang bisa dipanen, karena lahan konsesinya sudah berubah fungsi menjadi kebun milik perseorangan, milik kelompok yang penguasaannya bukan hanya satu hingga dua hektar saja tetapi puluhan hektar,” jelas Direktur WALHI Aceh.

Menurut Ahmad Solihin awal-awal masa pencabutan izin (2022) PT.ANI pernah melakukan penanaman bibit akasia kepada pihak ketiga seluas 250 hektar di Desa Lamtamot dan Panca Kecamatan Lembah Seulawah Aceh Besar. Namun realisasinya hanya 100 hektar saja, sedangkan sisa 150 hektar lagi tidak dikerjakan. Karena terjadi wanprestasi (tidak dilakukan pembayaran kepada pihak ke 3) sehingga pihak rekanan memutuskan kontrak kerjasama penanaman dengan perusahaan HTI Tersebut.

“Dari temuan WALHI di lokasi realisasi penanaman di Desa Panca, bibit tanamannya banyak mati, dan parahnya lagi bibit yang ditanam tersebut terbungkus kantong pulbet bertuliskan BP DAS. Dan itu menyalahi aturan,” jelas Ahmad Solihin lagi. Jadi kalau dibilang sudah direalisasikan penanaman seluas 500 hektar sebagai syarat pembatalan pencabutan izin konsesi, masih tanda tanya karena selama ini tidak ada giat penanaman yang dilakukan PT.ANI.

“Sejak 2022 hingga awal 2024 tidak ada giat penanaman di lahan Aceh Nusa. Hanya warga yang menggarap lahan milik mereka dengan menanam tanaman muda, kemiri dan pinang, bahkan sebagian lahannya ditanami sawit juga kurma,” jelas Direktur WALHI lagi.

Sumber digdata.id juga mengatakan, selama perusahaan HTI Aceh Nusa Indrapuri dipegang Robin Sitaba, pihaknya kerap kali mengalami pergantian Beneficial Owner (BO), sejak 2017 hingga sekarang (8 tahun) sudah 4 kali pergantian BO. Rata-rata orang-orang berpengaruh di Sinar Mas. Salah satunya Supriatno yang merupakan salah satu petinggi di Sinar Mas, pada tahun 2022 ia menjabat sebagai BO PT.Aceh Nusa Indrapuri. Jauh sebelumnya, di tahun 2020 ada Nur Hidayat kemudian digantikan oleh Jufriadi JP pada tahun 2021 yang juga direktur di Sinarmas dan saat ini BO-nya kembali berganti.

Pasalnya sejak perusahaan HTI tersebut akuisisi kepemilikannya oleh pengusaha Robin Sitaba, warga keturunan cina pada tahun 2017 dari pemilik sebelumnya, Ibrahim Risjad yang merupakan pengusaha asal Aceh itu, tidak ada giat penanaman di dalam lahan konsesi seluas 97.806 hektar yang membentang dari kabupaten Aceh Besar hingga Kabupaten Pidie.

Sehingga pada tahun 2022 perusahaan tersebut mendapat evaluasi yang ke 3 kali dari KLHK, dan masuk dalam daftar pencabutan izin, SK Menteri LHK Nomor SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang pencabutan izin konsesi kawasan hutan. Namun anehnya meski sudah mendapat peringatan sebanyak tiga kali dari KLHK, perusahaan tersebut masih bertahan hingga saat ini dan mendapat izin konsesi sebagai lahan Hutan Tanaman Energi (HTE). Sesuai dengan Permen LHK No 62 tahun 2019 tentang pembangunan hutan tanaman industri untuk menyediakan kebutuhan hutan dan lahan dari kawasan hutan negara.

Dari informasi yang diperoleh digdata.id, PT. Aceh Nusa Indrapuri saat ini sudah kembali beroperasi setelah sebelumnya sempat vakum. Status yang sebelumnya dalam pencabutan kini berubah ke pembinaan. Selain itu, pemulihan status pencabutan izin oleh KLHK terhadap PT ANI dikarenakan pihak perusahaan telah menyelesaikan kewajibannya dengan melakukan penanaman seluas 500 hektar sesuai ketentuan yang diberikan KLHK kepada mereka dalam status pencabutan tersebut. Bahkan saat ini pihak perusahaan sudah menyelesaikan pengurusan RKU dan RKT di BPHL Wilayah 1 Aceh. Sehingga mereka punya kewajiban tanam di tahun ini, dan arahnya ke tanaman energi.

Hal tersebut dibenarkan oleh Andi Rohaendi Kepala BPHL Wilayah 1 Aceh. Ia mengatakan, saat ini status pencabutan PT ANI telah dibatalkan dan RKU-nya juga telah disahkan oleh KLHK dengan izin multi usaha. PT. ANI juga telah mengajukan Rancangan Kerja Tahunan (RKT) tahun ini, dengan melakukan penanaman meranti dan medang seluas 200 hektar di Aceh Besar.

“Status pencabutannya sudah dibatalkan oleh KLHK dan bahkan RKU nya juga sudah disahkan KLHK sekitar Juni lalu. Tapi BPHL tidak megang fisiknya, karena belum diserahkan ke kami. RKU itu diajukan secara aplikasi ke KLHK begitu juga dengan RKT-nya,” jelas Andi Rohaendi saat ditanyai tentang RKU dan RKT perusahaan HTI tersebut.

Selain itu, Kepala BPHL Wilayah 1 Aceh ini juga mengatakan dengan keluarnya izin penggunaan lahan multi usaha, pihak pengelola bisa memanfaatkan lahan konsesinya tidak hanya untuk hutan tanaman industri saja atau hutan tanaman energi saja, tetapi juga bisa untuk perkebunan dan ekowisata. “Yang tidak boleh digunakan untuk perkebunan sawit, kurma bahkan untuk kawasan tambang, karena ini lahan hutan dan kewenangan pengawasan ada di perusahaan pemegang konsesi,” ucap kepala BPHL Wilayah 1 Aceh.

Ia juga mengatakan bahwasannya lahan sawit tidak dibenarkan ada dalam kawasan hutan, meskipun hutan industri. Namun untuk jenis tanaman perkebunan seperti pinang, kemiri, jagung, cabai dan tumbuhan lainnya, sah-sah saja ditanami di lahan konsesi milik PT ANI, karena Rencana Kerja Umum(RKU)-nya multi usaha dan sudah disahkan oleh KLHK.

Pernyataan tersebut seakan dipertegas oleh Faisal Sub Koordinator Bidang Usaha dan Perhutanan Sosial Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh. Ia mengatakan pada 5 Januari 2022 KLHK memberi sanksi kepada PT ANI dengan melakukan evaluasi dan memberi status pencabutan (pra pencabutan) dengan SK 01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022.

Saat itu tim kementerian LHK turun ke Aceh bersama melakukan pengecekan ke lahan konsesi ANI bersama BPHl dan DLHK apa realisasi yang sudah mereka lakukan. Kemudian tim KLHK memberi waktu kepada Aceh Nusa selama 6 bulan untuk melakukan realisasi hasil evaluasi tersebut setelah semuanya selesai kemudian pihak KLHK memulihkan Status PT ANI dengan mengeluarkan SK1.3441/MENLHK/SETJEN/PHL.1/12/2022 pada tanggal 30 Desember 2022.

Pada 3 November 2023 KLHK kembali mengeluarkan SK Adendum karena penggunaan lahan PT ANI untuk jalan tol Sibanceh di kawasan Padang Tiji kabupaten Pidie dengan SK 1.166/MENLHK/SETJEN/PHL.2/11/2023. “Dengan dikeluarkan SK pemutihan izin oleh KLHK, itu sudah membuktikan jika perusahan tersebut telah melakukan tugasnya dengan melakukan realisasi tanam seluas 500 hektar,” kata Faisal. Selain itu Faisal juga mengatakan saat ini PT ANI telah mengantongi izin multi usaha dan RKU nya telah disahkan oleh KLHK. Namun untuk izin pengawasannya merupakan tanggung jawab perusahaan pemegang izin lahan.

Terkait realisasi 500 hektar sebagai salah satu syarat pemulihan status izin PT ANI, Amar Safwan supervisor manajemen planning PT Aceh Nusa Indrapuri mengatakan pihaknya telah melakukan realisasi tanam di desa Panca mukim Gunong Biram Kecamatan Lembah Seulawah Aceh Besar dengan jenis tanaman Akasia. Saat ini PT ANI sedang dalam proses perbaikan RKU yang telah disahkan pada Juni 2024 lalu. Izin awalnya dari penjualan kayu kini berubah ke penjualan karbon, sehingga tidak ada lagi penebangan yang dilakukan oleh perusahaan selama 30 tahun. “Kami telah mengubah rencana kerja usaha (RKU) dari HTI ke Kayu Energi dengan izinnya multi usaha. Aceh Nusa mainnya ke energi karbon bukan biomassa,” jelas Syafwan lagi.

Tak hanya itu Safwan juga mengatakan, selain bermain dengan skema untuk karbon, pihaknya juga akan memanfaatkan lahan konsesi mereka agar bisa bersinergi dengan masyarakat guna menghindari konflik, baik dengan masyarakat adat maupun kelompok-kelompok atau instansi juga perseorangan yang selama ini menggunakan lahan konsesi milik PT ANI.

Target pemerintah melalui KLHK membangun Hutan Tanaman Energi seluas 1,3 hektar di seluruh Indonesia untuk menyuplai kebutuhan biomassa kayu sebagai pengganti energi batubara (bioenergi). PT ANI diberikan konsesi oleh KLHK untuk membangun hutan tanaman energi di Aceh, tepatnya di Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie. Namun sayangnya pihak perusahaan yang ditargetkan menjadi supply chain untuk biomassa kayu di Aceh mengubah skemanya menjadi skema penjualan karbon.

Hal tersebut dilakukan karena kebutuhan akan wood pellet atau whoot chip masih sangat sedikit di Indonesia khususnya Aceh, dan hanya digunakan oleh PLTU sebanyak 10 persen pengganti dari batu bara. Selain itu, rendahnya harga beli menjadi salah satu alasan PT ANI merubah skema usaha mereka. “Kami tidak main ke word pellet, karena harga belinya sangat rendah, dan permintaan untuk pelet kayu juga masih sangat kecil di Indonesia, khususnya Aceh, hanya untuk kebutuhan PLTU saja dan itu pun penggunaannya hanya 10 persen menggantikan batu bara. Makanya kami main di penjualan karbon,” papar Syafwan Management Planning PT ANI.

Pembangunan Jalan Tol Sibanceh melintasi konsesi PT ANI

PT. Aceh Nusa Indrapuri salah satu perusahaan yang memiliki izin konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang diperuntukkan untuk Hutan Tanaman Energi di Aceh, guna memenuhi target peningkatan capaian penggunaan energi terbarukan sebanyak 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050 dengan memanfaatkan Biogas sebagai langkah pengurangan emisi.

Padahal saat itu, PT ANI sendiri masuk dalam daftar pencabutan izin konsesi oleh KLHK pada tahun 2022 lalu sesuai SK Menteri LHK Siti Nurbaya. Ada 31 perusahaan HTI yang membangun HTE se-Indonesia, 8 izin dalam status dicabut dan 3 dalam proses dievaluasi melalui skema multi usaha kehutanan. Sesuai dengan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No 62 tahun 2019 tentang pembangunan hutan tanaman industri untuk menyediakan kebutuhan hutan dan lahan dari kawasan hutan negara.

Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Word Indonesia (FWI) Rabu (28/8/) mengatakan, HTE menjadi akal-akal perusahaan untuk melegalkan perusahaan atas penguasaan lahan, hal ini jelas terlihat pada perusahaan yang terletak di lembah kaki Gunung Seulawah tersebut yang merupakan salah satu implementor transisi energi di Aceh. Namun sayangnya KLHK salah memilih agen dalam proyek transisi energi guna memenuhi target pengurangan emisi dari sektor energi di tahun 2030.

Anggi mengatakan pemberian mandatori Hutan Tanaman Energi (HTE) guna memenuhi kebutuhan biomassa pada perusahaan –perusahaan yang bermasalah adalah kesalahan besar, karena tidak semua perusahaan HTI yang mengembangkan HTE akan menyuplai kebutuhan biomassa. Sesuai peta jalan transisi energi yang dikeluarkan Kementerian ESDM, saat ini terdapat 52 lokasi PLTU dengan total kapasitas 18.664 megawatt akan jadi target co-firing hingga tahun 2025. Adapun potensi bahan baku biomassa untuk co-firing PLTU ini dari tanaman energi, limbah pertanian atau perkebunan, limbah industri kayu, dan sampah rumah tangga.

Program biomassa untuk co-firing PLTU akan meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT) sebanyak 1,8 persen dengan proyeksi kebutuhan biomassa sekitar 10,2 juta ton per tahun pada 2025. Kebutuhan biomassa itu salah satunya dipasok dari pengembangan HTE. Namun dalam implementasinya ada 13 perusahaan yang belum bisa dipastikan apakah perusahaan tersebut akan menyuplai kebutuhan biomassa untuk dalam negeri dalam rangka pemenuhan target pembangunan hutan tanaman agar target net sink 2030 tercapai. Satu diantaranya adalah PT Aceh Nusa Indrapuri, yang mengubah skema usahanya lebih kepada penjualan karbon

Pembangunan Hutan Tanaman Energi (HTE) biomassa untuk transisi energi yang mengorbankan hutan alam, menurut Anggi, tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai energi bersih. Pembangunan, HTE kata dia, tidak akan pernah tercapai dan hanya ilusi atau bukan sebuah cara yang tepat di tengah krisis iklim dan ekologi. “HTE biomassa untuk co-firing PLTU tidak bisa dikatakan sebagai penyediaan energi bersih dan terbarukan, karena praktiknya mengorbankan hutan alam, Energi bersih itu hanya bualan saja” demikian Anggi.

Pembangunan Jalan Tol Sibanceh melintasi konsesi PT ANI

***

Penggunaan biomassa di Aceh sudah dimulai sejak 2020 di PLTU 1 dan 2 Nagan Raya. Namun hingga 2024 penggunaannya masih sangat sedikit, baru sekitar 0,2 persen dan angka masih sangat jauh dari target yang di beri KLHK. Penggunaan Biomassa di PLTU Nagan Raya berupa cangkang sawit, sekam padi (Rice Husk), Saudas (Sekam Kayu), dan Woodchip (serpihan Kayu), namun tidak menggunakan Wood Pellet. Semua bahan baku tersebut dipasok dari kilang padi dan kilang kayu Nagan Raya, Aceh Jaya, Aceh Besar dan Pidie (Sigli).

Penggunaan biomassa pada tahun 2021 sebanyak 4.786,26 MT, tahun 2022 penggunaannya sebesar 10.627,71 MT dan tahun 2023 pemakaiannya nya sebesar 4.373,11MT. Dari penggunaan biogas tersebut telah menghasilkan Karbon Dioksida (CO2) pada 2021 sejumlah 6.860,71 MT, pada tahun 2022 telah menghasilkan 12.563,49 MT dan Tahun 2023 telah menghasilkan 6.307,84 MT Carbon Oksida.

Biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan biomasa sama besarnya dengan penggunaan batu bara. Dikarenakan HPT biomassa mengacu pada rata-rata harga batu bara 3 bulan terakhir. []

 *Liputan ini hasil kolaborasi dengan Forest Watch Indonesia melalui program Transisi Energi Watch.

Sumber tulisan ini berasal dari digdata.id

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top