Potensi Kerugian Negara dari Pemanfaatan Kawasan Hutan

Potret tanaman sengon dan mess pekerja milik PT Hijau Artha Nusa yang sudah ditinggalkan
Potret tanaman sengon dan mess pekerja milik PT Hijau Artha Nusa yang sudah ditinggalkan

Kawasan hutan merupakan salah satu aset penting negara yang keberadaannya seringkali disalah pahami dan disalahgunakan. Sebagai wilayah yang dianggap sakral dan sulit diakses, kawasan hutan belum sepenuhnya didefinisikan secara akademis maupun legal. Penetapan kawasan hutan di Pulau Jawa, Lampung, dan Kalimantan Selatan merupakan sedikit dari contoh yang ada, namun banyak wilayah yang disebut sebagai kawasan hutan sebenarnya belum memenuhi definisi atau prosedur legal yang jelas.

Permasalahan yang terjadi saat ini, banyak lahan yang dianggap sebagai kawasan hutan, padahal secara definisi dan legalitas masih dipertanyakan. Kinerja sektor kehutanan pun tidak cukup signifikan dalam mendukung pembangunan nasional, bahkan cenderung menjadi hambatan bagi perkembangan sektor-sektor lainnya. Tanpa adanya perombakan besar-besaran, sektor kehutanan terancam tidak memiliki masa depan yang jelas dan hanya akan menjadi penghalang bagi kemajuan di bidang lain.

Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.S, Guru Besar Tetap Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, menyoroti potensi kerugian besar yang dialami negara akibat kebijakan kawasan hutan yang belum terdefinisi dengan jelas, baik secara akademis maupun legalitas. Kawasan hutan di Indonesia selama ini dianggap sebagai sesuatu yang “sakral” dan sulit disentuh. Namun, pada kenyataannya, kawasan hutan secara legal belum memenuhi kriteria yang jelas. “Kawasan hutan itu sebetulnya belum terdefinisi secara akademis, dan secara legal juga belum terpenuhi. Tapi abuse of power membuat seolah-olah kawasan ini ada,” tegas beliau.

Ketimpangan Investasi: Mengapa Hutan di Luar Jawa Terabaikan?

Kawasan hutan sering kali menjadi perdebatan terkait status hukumnya. Di satu sisi, pemerintah ingin menegakkan aturan kawasan hutan dengan ketat, tetapi di sisi lain, masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut justru menjadi korban dari kebijakan yang kurang bijaksana. Masalah terbesar adalah banyak dari mereka telah bermukim di sana selama bertahun-tahun. Jika aturan hukum diberlakukan secara ketat, mereka bisa diusir. Namun, yang perlu dipertanyakan adalah mengapa hukum hanya diterapkan kepada masyarakat kecil dan pengusaha, sementara pemerintah sendiri kerap melanggar aturan yang ada.

Salah satu contoh nyata adalah status lahan yang telah menjadi HGU (Hak Guna Usaha) untuk perkebunan sawit. Setelah beralih fungsi menjadi HGU, lahan tersebut seharusnya tidak lagi dianggap sebagai kawasan hutan. Namun, dalam praktiknya, pemerintah tetap berupaya mengembalikan statusnya sebagai kawasan hutan. Ini menunjukkan adanya ketidakjelasan dalam kebijakan tata kelola lahan, yang berdampak pada kerugian masyarakat dan pengusaha yang telah mengikuti aturan. Bahkan, ada kebingungan terkait apakah lahan tersebut masih berstatus HGU atau tidak.

Prof. Sudarsono menyoroti masalah tata kelola kawasan yang hutan semakin kompleks jika melihat luasannya. Dari total 187 juta ha luas daratan Indonesia, dua pertiga nya, sekitar 120 juta ha, diklasifikasikan sebagai kawasan hutan. Namun, yang menjadi perhatian adalah tidak semua kawasan tersebut benar-benar berhutan. Berdasarkan data yang diungkap Prof. Sudarsono, sekitar 30 hingga 35 juta ha kawasan hutan sebenarnya tidak memiliki tutupan hutan lagi. Artinya, meskipun kawasan tersebut secara legal masih dianggap sebagai hutan, kenyataannya sudah mengalami degradasi atau alih fungsi.

Hal ini menjadi tantangan dalam implementasi kebijakan seperti FoLU Net Sink 2030. Dengan target merehabilitasi jutaan hektare lahan, pemerintah hanya mampu menangani sekitar 30 ribu ha per tahun. Jika dihitung, diperlukan waktu lebih dari 1.000 tahun untuk menyelesaikan seluruh lahan yang perlu direhabilitasi. Sementara itu, anggaran dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk rehabilitasi hutan hanya sekitar 7,5 triliun rupiah, yang tentu saja sangat jauh dari kebutuhan yang mencapai ratusan triliun.

Potret tanaman sengon dan mess pekerja milik PT Hijau Artha Nusa yang sudah ditinggalkan
Potret tanaman sengon dan mess pekerja milik PT Hijau Artha Nusa yang sudah ditinggalkan

Selain itu, minimnya investasi di sektor kehutanan semakin memperburuk situasi. Dari total 3.257 triliun rupiah investasi dalam negeri selama 2020-2022, hanya 28 triliun rupiah dari sektor kehutanan. Padahal, dengan luasnya kawasan hutan, potensi ekonomi dari sektor ini bisa jauh lebih besar. Namun, rendahnya minat investor, terutama di luar Pulau Jawa, mengakibatkan ketimpangan pembangunan. Pulau Jawa, yang hanya mencakup 6 persen dari luas daratan Indonesia, menampung 50 persen dari total investasi nasional.

Ketidakseimbangan distribusi investasi ini menyebabkan kawasan di luar Pulau Jawa, termasuk kawasan hutan, tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Selain menghambat pembangunan di daerah tersebut, hal ini juga memperlambat upaya rehabilitasi dan pemanfaatan lahan dan hutan yang lebih produktif. Sebagai perbandingan, kontribusi sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional kurang dari 1 persen, meskipun mencakup dua pertiga wilayah Indonesia. Ini jelas menunjukkan bahwa kawasan hutan kita belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Catatan ini bersumber dari diskusi Roundtable CSO dan Media yang diselenggarakan atas kerjasama FWI dan AJI Jakarta pada tanggal 26 September 2024 di Jakarta.

Narahubung: Media FWI (0857-2034-6154)

Materi Presentasi dari IPB University tentang Potensi Kerugian Negara dari Pemanfaatan Kawasan Hutan dapat diunduh pada tautan dibawah ini:
Potensi Kerugian Negara dari Pemanfaatan Kawasan Hutan (PPT Presentasi)
Published: Oktober 9, 2024
Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top