Indonesia, dengan dua pertiga wilayahnya adalah lautan, memiliki tantangan besar dalam pengawasan laut, termasuk transshipment ilegal yang semakin marak terjadi di lepas pantai. Terakhir kapal asing MV Lakas yang ditangkap oleh Bakamla RI karena memuat wood pellet yang diduga ilegal di perairan Gorontalo menjadi potret illegal, unreported, and unregulated (IUU) masih mewarnai perdagangan laut Indonesia.
Transhipment adalah proses dimana barang dipindahkan dari satu kapal ke kapal lain di tengah laut. Hal ini sering terjadi dalam konteks ekspor impor. Kapal asing MV Lakas melakukan transhipment dan diketahui tidak dilengkapi 3 dokumen penting antara lain, certificate of origin, certificate of analysis, dan declaration of seabirds saat pemeriksaan berlangsung oleh Bakamla RI. Dokumen tersebut dibutuhkan untuk memastikan bahwa barang yang diangkut adalah legal dan tidak berbahaya.
Di lautan, transhipment sering kali digunakan sebagai celah untuk melanggar hukum. Meskipun Indonesia memiliki 13 institusi yang bertanggung jawab atas keamanan di laut. Namun hanya 6 di antaranya yang memiliki kapal. TNI Angkatan Laut, sebagai salah satu institusi yang bertugas di laut, memiliki prosedur operasi standar (POS) yang ketat, seperti yang tercantum dalam Peraturan Kasal Nomor 32 tahun 2009 tentang Prosedur Tetap Penegakan Hukum dan Penjagaan Keamanan di Wilayah Laut Yurisdiksi Nasional oleh TNI AL. Begitupun Bakamla RI yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 Tentang Badan Keamanan Laut yang berwenang mengejar, memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan ke instansi terkait.
Laksda TNI Purn Dr. Ir. Suyono Thamrin, dari Universitas Pertahanan mengatakan salah satu aspek penting dalam penegakan hukum di laut adalah adanya informasi awal yang A1, yaitu informasi yang benar-benar dapat meyakinkan bahwa kapal tersebut melakukan pelanggaran. Transhipment yang terjadi di perairan Gorontalo merupakan pintu masuk bagi penegak hukum Bakamla RI untuk melakukan penangkapan dan pemeriksaan lanjutan.
Tantangan Rezim Hukum Laut
Salah satu tantangan di lapangan adalah luasnya wilayah perairan Indonesia dibandingkan dengan jumlah KRI. Itulah mengapa, ada usulan dari Presiden untuk menyerahkan keamanan laut kepada Bakamla RI sebagai single agency yang berperan layaknya Coast Guard.
Transhipment di Teluk Tomini, Gorontalo, yang juga melibatkan 2 perusahaan eksploitasi hutan dalam bentuk Kebun Energi memanfaatkan kayu hutan alam sebagai bahan baku wood pellet. Transhipment yang terjadi berupa komoditas wood pellet. Sementara praktik transhipment biasanya terkait dengan bahan bakar minyak, batu bara, dan ikan. Temuan ini diungkap Forest Watch Indonesia yang menyebutkan aktivitas ekspor wood pellet yang diduga ilegal dari Gorontalo dilakukan secara transhipment, kemudian dikirim ke negara-negara pengguna atau pemakai wood pellet, yakni Jepang dan Korea Selatan.
Suryono dengan tegas mengatakan seharusnya Gorontalo dengan luas daratan yang relatif kecil, tidak menjadi pusat besar bagi produksi komoditas kayu, terutama jika aktivitas tersebut merambah hutan-hutan lindung. Produksi kayu dalam skala besar di wilayah yang sempit akan memicu deforestasi yang tidak terkendali dan merusak ekosistem hutan, yang seharusnya dilindungi.
Suryono juga menyinggung masalah transisi energi yang diklaim berkelanjutan, namun memerlukan beberapa kebijakan yang perlu dievaluasi ulang. Misalnya, dalam upaya mencapai net zero emission, Indonesia masih bergantung pada batu bara dalam jumlah besar, sementara komoditas energi seperti wood pellet lebih banyak diekspor daripada dimanfaatkan di dalam negeri. Hal ini sangat disayangkan, mengingat permintaan dalam negeri sebenarnya memiliki potensi besar untuk menyerap wood pellet terutama dalam konteks transisi energi. Namun sebaiknya Indonesia benar-benar meninggalkan energi biomassa yang cenderung merusak hutan dan menimbulkan konflik-konflik agraria seperti yang terjadi di Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat.
Sorotan lainnya, kebijakan transisi energi masih saling bertolak belakang, seperti masih dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru di tengah dorongan untuk transisi energi bersih, menunjukkan adanya ketidakselarasan dalam perencanaan energi nasional. Indonesia seharusnya fokus pada membangun pembangkit listrik bertenaga solar. Sayangnya, program instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) pada atap rumah tangga, yang seharusnya menjadi bagian dari solusi transisi energi, terkendala oleh ketidaksediaan PLN untuk membeli listrik dari instalasi PLTS milik masyarakat. Hal ini menjadi contoh nyata dari kebijakan yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan baik.
Catatan ini bersumber dari diskusi Roundtable CSO dan Media yang diselenggarakan atas kerjasama FWI dan AJI Jakarta pada tanggal 26 September 2024 di Jakarta.
Narahubung: Media FWI (0857-2034-6154)