Perjuangan Masyarakat di Aceh Perjuangan Hutan Adat

MUHAMMAD Nasir (64) berdiri di jembatan perlintasan Tol Sigli Banda Aceh (Sibanceh) Gerbang Padang Tiji-Seulimeum tepatnya di Gampong Cot Paloh yang masih tahap pengerjaan pembangunan. Tangannya menunjuk hutan adat yang dikuasai PT Aceh Nusa Indrapuri (ANI) dengan status hutan tanaman industri (HTI). “Jadi secara adat dahulu, daerah ini awalnya kawasan hutan adat. Diambil menjadi HTI,” kata pria itu kepada AJNN, 11 Agustus 2024.

Nasir adalah tokoh adat di Mukim Paloh. Di Aceh, mukim merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat. Meski berada di bawah kecamatan, lembaga pemerintahan gabungan dari beberapa gampong ini strukturnya ada sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam. Pimpinan lembaga ini disebut imeum mukim. Nasir salah satunya. Ia dibantu beberapa perangkat adat, seperti pawang gle atau panglima uteun (hutan), petua seuneubok (perkebunan), keujruen blang (sawah), dan struktur lain sesuai kebutuhan.

Gampong Cot Paloh di Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, masuk dalam wilayah Mukim Paloh. Belantara yang kini dibelah untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional Tol Sumatera itu, bagian hutan adat milik masyarakat.

Hutan adat bagi Nasir bukan sekadar belantara berisi ribuan batang pohon maupun vegetasi yang menjadi habitat satwa. Tempat itu menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Mukim Paloh yang hampir rata-rata berprofesi sebagai petani.

Keberadaan hutan yang sudah dimiliki masyarakat hukum adat sejak Indonesia belum merdeka, baginya sangatlah penting. Selama ini, pengelolaan hutan adat dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat sebelum belakangan menjadi lahan konsesi. Aturan khusus adat diberlakukan kepada warga yang ingin mengelola hutan. Salah satunya, jenis tanaman yang ditanam.

Nasir sebut warga hanya bisa menanam tanaman keras berbuah seperti kakao, langsat, durian, rambutan, kemiri, dan yang tidak merugikan lingkungan. Sedangkan perkebunan sawit, dilarang. Selain itu, masyarakat juga diizinkan untuk mengangon ternak di kawasan hutan adat dengan syarat tidak mengganggu tanaman kebun milik warga lain. Pengambilan kayu diperbolehkan untuk kepentingan pembangunan rumah namun bukan untuk perambahan berlebih. “Hutan adat itu dikelola bersama oleh masyarakat adat yang berasaskan sosial ekonomi dengan turun temurun dan berkesinambungan.”

Hal serupa pun diungkap Ridwan (49), Imuem Mukim Kunyet. Sebutnya, hutan adat seumpama bank yang bisa dimanfaatkan untuk menyimpan cadangan air. Jika hutan adat rusak, maka mata pencaharian warga dari persawahan dan perkebunan akan terganggu. “Kalau ditanami sawit, maka airnya bisa kering dan sawah di sini kering semua,” kata Ridwan, 10 Agustus 2024. Dia pun menyebut berdasarkan aturan adat, warga dilarang untuk membuka lahan dengan cara dibakar. Tujuannya agar rumput tidak mati dan bisa digunakan sebagai pakan ternak.

Zulfikar Arma, Sekretaris Pelaksana Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, mengatakan kontribusi masyarakat adat terhadap pengelolaan sumberdaya alam membuat hutan adat menjadi sangat penting. “Jadi kita melihatnya bahwa hutan adat itu bagian penting bagi masyarakat hukum adat. Itu tempat wilayah mereka, tempat mereka untuk ada nilai-nilai ekonomi mereka sendiri,” kata Zulfikar, 13 Agustus 2024. JKMA mengartikan hutan adat sebagai identitas masyarakat adat terhadap penguasaan wilayah. Hutan itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari ruang hidup masyarakat hukum adat.

Teuku Muttaqin Mansur, peneliti dan dosen Hukum Adat dari Universitas Syiah Kuala (USK), pun menyebut bahwa masyarakat adat diakui keberadaannya di Aceh sejak era kerajaan dahulu, yaitu di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Secara khusus, dia menyebut mukim, sebagai lembaga masyarakat hukum adat yang ada di tingkat tapak.

Hal itu ia rujuk berdasarkan struktur dan Qanun Syarak Kerajaan Aceh atau undang-undang (UU) atau konstitusi kerajaan zaman dulu. Di aturan itu dijelaskan bahwa mukim berada di atas gampong. Adapun imuem mukim dipilih oleh perwakilan gampong. “Jadi sudah ada dari bagian struktur pemerintahan, jadi bukan barang baru,” kata Muttaqin, 20 Agustus 2024.

Tanpa diskusi, tiba-tiba hutan adat area konsesi

Nasir coba mengingat saat pertama kalinya PT ANI masuk dan beroperasi di hutan mereka tahun 1997, mereka berdalih kawasan itu masuk dalam wilayah konsesi perusahaan. Seingat mantan Keuchik Jurong Anoe Paloh itu, pihak perusahaan tidak pernah bermusyawarah maupun diskusi dengan masyarakat. “Mungkin karena saat itu masa Orde Baru. Jadi kita tidak diberi tahu untuk program yang dilaksanakan,” sebutnya.

Aktivitas eksploitasi hutan, katanya terhenti saat konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia (RI) memuncak sejak awal tahun 2000. Sebab tidak ada yang berani masuk hutan kala itu. Jeda menahun, menyebabkan area yang sudah dibuka kembali ditumbuhi belukar. Kawasan yang ditinggal perusahaan itu, belakangan dimanfaatkan warga untuk berkebun.

Tindakan ini bukan tanpa alasan. Warga masih berpikir bahwa belantara itu milik masyarakat adat. Alhasil, kawasan konsesi yang ditinggalkan mulai banyak digarap warga. Pinang, mindi, bayu, cokelat, nangka, dan beberapa tanaman lain, mulai ditanam. Saat itu, warga sempat meminta kepada pemerintah untuk membuka jalan untuk mempermudah mengangkut hasil kebun. Namun permintaan mereka tidak bisa dikabulkan.

Tim Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kabupaten Pidie kala itu menemukan bahwa lokasi pembangunan jalan yang diajukan masuk dalam kawasan konsesi hutan tanaman industri milik PT ANI. Itu sesuai petunjuk satelit menggunakan Global Positioning System (GPS). “Itu baru kita ketahui pada 2006 ketika saya mau mengusulkan jalan ke atas,” kata Nasir.

Kisah mirip juga terjadi di Mukim Kunyet jelas Khalidin (56), mantan imuem mukim periode 2018-2023. Ketika itu, ia bersama pemuda Mukim Kunyet mendapat bantuan bibit untuk menanam di areal seluas 100 hektar. Program ini sebagai langkah reboisasi usai hasil kayu hutan digunakan untuk bantuan pasca tsunami 2004. Enam bulan usai penanaman, dia baru mengetahui bahwa lokasi tempat mereka menanam masuk kawasan HTI. Ini diketahui usai pengusulan pembangunan jalan mereka ditolak pemerintah.

“Di situlah terungkap bahwa kawasan yang kita tanam ini merupakan kawasan HTI. Kawasan orang, sedangkan bantuan pemda tidak boleh masuk ke situ,” jelas pria yang pernah bekerja untuk tenaga reforestasi hutan di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias pada 2008 lalu.

Pemberian konsesi yang mengesampingkan eksistensi masyarakat adat

Manajer Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, mengatakan banyak permasalahan yang berpotensi konflik ditemukan di lapangan mengenai wilayah konsesi. Sistem perizinan yang ada, kata dia, tidak melihat modal sosial di lapangan. Perizinan kerap mengesampingkan eksistensi masyarakat dan masyarakat hukum adat di kawasan yang diberi izin untuk perusahan.

“Wilayah atau hutan bukanlah ruang kosong yang tidak ada penghuni maupun pemanfaatan di lapangan,” kata Anggi, 1 Agustus 2024. Dia menilai proses perizinan yang diberikan selama ini terkesan keliru dan perlu dievaluasi. “Negara tidak bisa memberikan ruang seenaknya kepada perusahaan tanpa melihat modal sosial yang ada di dalam kawasan,” imbuhnya.

Hal ini terkait dengan aturan lahan yang ada di Indonesia. Pemberian izin konsesi untuk perusahaan, selama ini tidak melibatkan masyarakat adat. Warga yang tinggal di wilayah itu, dianggap tidak memiliki dokumen legalitas yang lalu menimbulkan munculnya sengketa. “Ini yang tidak dijalankan prosesnya sehingga terjadi saling klaim wilayah,” kata Ahmad Shalihin, Direktur Eksekutif WALHI Aceh, 20 Agustus 2024.

PT Aceh Nusa Indrapuri atau ANI sendiri merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perusahaan hutan tanaman. Perusahaan ini memperoleh izin Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 95/Kpts-II/1997 tanggal 17 Februari 1997.

Sub Koordinator Bina Usaha dan Perhutanan Sosial DLHK Aceh, Faisal, mengatakan luas kawasan konsesi yang diizinkan untuk dikelola PT ANI saat itu adalah 111.000 hektar, yang tersebar di Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie. “Izin tersebut berlaku mulai 5 Agustus 1992 dan berakhir pada 5 Agustus 2035,” kata Faisal, 22 Agustus 2024.

Luas areal yang dikelola PT ANI mengalami perubahan sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 131/MenLHK-II/2015 tanggal 4 Mei 2015 tentang keputusan sebelumnya. Konsesi perusahaan tinggal 106.197 hektare.

Pada tahun 2019, luas areal PT ANI berkurang untuk kepentingan pembangunan Tol Sibanceh yang masuk kawasan konsesi. Luas areal perusahaan telah berkurang dari 106.197 hektar menjadi 97.905 hektar. Ini termasuk konsesi yang ada di Mukim Paloh, Kecamatan Padang Tiji. “Proyek Strategis Nasional tersebut melintasi wilayah konsesi milik PT ANI,” kata Faisal.

Pengurangan itu berdasarkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.261/Menlhk/Setjen /HPL.0/4/2019 tanggal 1 April 2019 tentang perubahan keputusan sebelumnya. Menteri LHK kembali menerbitkan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konsesi. Aturan tersebut tertuang dalam Keputusan Nomor 1483/MENLHK/SETJEN /HPL.0/12/2021 tanggal 31 Desember 2021. Disebutkan bahwa telah dilakukan perubahan nomenklatur Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri menjadi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk Kegiatan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman.

Izin sempat dievaluasi

PT ANI masuk dalam perusahaan yang dievaluasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Januari 2022. Perusahaan diduga tidak melakukan aktivitas penanaman dan pengawasan di kawasan konsesi. Bahkan perusahaan pengelola konsesi HTI tersebut terancam kehilangan izin. Hal itu sesuai Keputusan Menteri LHK Nomor SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan hutan. Evaluasi tersebut dibenarkan oleh DLHK Provinsi Aceh. Dikatakan penyebab PT ANI dievaluasi karena tidak merealisasikan operasional sesuai dengan Rencana Kerja Tahunan (RKT).

PT ANI berjanji akan merealisasikan operasional sesuai dengan RKT yang direncanakan dalam waktu enam bulan. Mulai dari penanaman, persemaian, pengamanan, dan seluruh aspek yang direncanakan sesuai ketentuan. Nama PT ANI belakangan dipulihkan KLHK usai dinilai memenuhi komitmen realisasi sesuai RKT. Pemulihan sesuai Keputusan Nomor SK.1344/MENLHK/SETJEN/PHL.1/ 12/2022 tanggal 30 Desember 2022.

“PT Aceh Nusa Indrapuri betul dievaluasi oleh kementerian, sesuai berjalannya waktu mereka mendapatkan SK Pemulihan dari kementerian,” ujar Faisal. Terkait komitmen reforestasi, Supervisor Management Planning PT Aceh Nusa Indrapuri, Muammar Syafwan, menyebut pihaknya telah melakukan realisasi penanaman di Gampong Panca, Kecamatan Lembah Seulawah, Kabupaten Aceh Besar, Sabtu (24/8/2024).

Namun, temuan fakta yang dilakukan oleh WALHI Aceh menyebutkan hal berbeda. WALHI menuding jika perusahaan belum melakukan kewajiban sebagaimana komitmen reforestasi 500 hektar kawasan konsesi. “Berdasarkan hasil pemantauan kita dan informasi dari beberapa masyarakat di sana bahwa proses penanaman belum mereka lakukan,” kata Shalihin.

Selain itu sebutnya, kegiatan reforestasi di Gampong Lamtamot dan Gampong Panca, Kecamatan Lembah Seulawah tidak berjalan mulus. Penanaman yang rencananya bakal dilakukan di lahan 200 hektar kawasan konsesi, nyatanya hanya terealisasi 100 hektar. “Bahkan dari 100 hektar yang ditanam tersebut jika kita melihat ke lokasi, pohon tersebut tidak semuanya tumbuh,” jelasnya.

Secara hukum, kata Shalihin, perusahaan sudah melanggar karena tidak memenuhi kewajiban usai dievaluasi. Kondisi ini bisa menjadi indikasi dan alasan bagi pemerintah untuk segera mencabut izin PT ANI. Meski WALHI Aceh menilai izin PT ANI layak dicabut, namun KLHK tampaknya tidak ingin perusahaan itu langsung angkat kaki. Kementerian malah memperpanjang perizinan pengelolaan hutan untuk perusahaan. Ini sesuai Keputusan Menteri KLHK Nomor SK.1166/Menlhk/Setjen/PHL.2/11/2023 tanggal 3 November 2023. Pemerintah memberikan perpanjangan perizinan berusaha pemanfaatan hutan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman kepada PT Aceh Nusa Indrapuri seluas lebih kurang 97.507 hektar.

Berjuang untuk mengembalikan hutan adat

Hutan tanaman industri yang masuk serta menguasai wilayah adat membuat masyarakat Mukim Paloh dan Mukim Kunyet sadar bahwa harta mereka yang berharga telah dirampas. Mereka mulai berjuang untuk hutan berkesinambungan milik masyarakat adat. Mukim Paloh mulai memperjuangkan hak atas hutan adat pada 2015. Seluruh keuchik di bawah administrasi Mukim Paloh diajak bermusyawarah. “Kita sampaikan masalah keadaan hutan, lalu buat usulan kepada pihak terkait,” kata Nasir. Dia bilang enam dari 12 gampong di Mukim Paloh.

Gaung bahwa warga memiliki hak dan kewajiban menjaga hutan adat turut terjadi di Mukim Kunyet. Adapun 8 dari 14 gampong di Mukim Kunyet sampai sekarang berbatasan langsung dengan kawasan konsesi. Pengusulan wilayah belantara yang pernah ada menjadi hutan adat pun mulai dilakukan pada 2016. Pengusulan itu mengacu dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 terkait dengan pengujian UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Putusan tersebut membuat hutan adat tidak lagi menjadi bagian dari hutan negara.

Aturan itu juga memperkuat Program Perhutanan Sosial yang sempat mandek dan kembali berjalan pada 2014. Ada lima skema dalam program ini, yakni Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), Pola kemitraan. “Setelah ada putusan MK, kita mulai gencar memberi pengetahuan kepada masyarakat adat terkait tahapan-tahapan untuk mendapat pengakuan wilayah hutan adat mereka sejak 2014,” jelas Zulfikar.

Berdasarkan data JKMA, Mukim Paloh memiliki luas wilayah adat mencapai 7.189 hektar. Luas hutan adat yang diusulkan 2.921 hektar dan semua berada dalam kawasan konsesi HTI. Sementara Mukim Kunyet memiliki luas wilayah adat 7.271 hektar. Luas hutan adat yang diusulkan kepada pemerintah pusat yakni 4.106 hektar. Semua wilayah hutan adat tersebut masuk dalam konsesi HTI.

Selain Mukim Paloh dan Kunyet, Pemerintah Aceh juga mengusulkan hutan adat 16 mukim lain pada 2018. Usulan ini telah disampaikan ke KLHK. Sebagai lampiran, warga juga telah memberikan Surat Keputusan (SK) Bupati tentang Penetapan Batas Wilayah Mukim disertai pengantar usulan dari Pemerintah Aceh. Meski demikian, saat itu masih ada kegamangan nomenklatur hukum perihal mukim, yang tidak dipahami KLHK.

Muttaqin Mansur menduga penyebab KLHK tidak mengetahui dan mengakui mukim dikarenakan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Di aturan tersebut disebutkan tidak ada lembaga lain setelah antara pemerintah kecamatan dan desa. “Fungsi mukim terdegradasi setelah adanya UU Nomor 5 Tahun 1979,” katanya.

Tidak hanya keberadaan, UU tersebut juga melemahkan penguasaan lembaga masyarakat adat tersebut secara de facto. Seperti penguasaan lahan termasuk hutan yang ada di wilayah mukim. Menjaga keberadaan lembaga mukim tersebut Pemerintah Aceh pernah mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 1996 tentang Mukim sebagai Kesatuan Masyarakat Adat dalam Provinsi.

Kewenangan mukim sebagai lembaga pemerintahan masyarakat adat diperkuat dengan adanya UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan ditambah dengan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. “Kita berhasil membuktikan bahwa mukim sebagai subjek masyarakat hukum adat dan beserta objek yakni tanah wilayah. Kajian itu kemudian diantar ke KLHK hingga akhirnya diakui setelah tujuh tahun berjuang,” kata Muttaqin.

Delapan masyarakat hukum adat di Aceh termasuk Mukim Paloh dan Mukim Kunyet menerima SK Penetapan Status Hutan Adat. SK langsung dilakukan Presiden Joko Widodo saat puncak Gelaran Festival Lingkungan, Iklim, Kehutanan dan Energi Baru Terbarukan (Festival LIKE) di Jakarta, 18 September 2023. Berdasarkan SK tersebut, luas hutan adat Mukim Paloh yang ditetapkan pemerintah pusat yakni 2.934 hektar. Sementara luas hutan adat Mukim Kunyet sesuai penetapan yakni 1.280 hektar. Semua kawasan berada di wilayah konsesi HTI PT ANI.

Tapal batas yang belum jelas

Meski telah peroleh SK Penetapan Status Hutan Adat, persoalan berikutnya muncul. Tapal batas di lapangan belumlah jelas. “Jadi yang sekarang ini, hutan desa berbatasan langsung dengan HTI, tapi kita tidak tahu tapal batasnya,” kata Ridwan. Tapal batas yang belum ada membuat ia tidak berani memberi warga izin mengelola hutan adat.

Situasi yang mirip juga terjadi di Mukim Paloh. Luas hutan adat 2.934 hektar yang dimiliki belum dilepas oleh PT ANI selaku pengelola kawasan konsesi. “Kita belum tahu sampai saat ini, mana milik mereka dan mana milik kami, hutan adat. Kami yang tahu mulai dari atas kampung itu milik kita, sedangkan ke hutan sana belum tahu sampai di mana,” ungkap Nasir.

Pembahasan mengenai tapal batas antara hutan adat dan HTI terakhir dilakukan di Sigli, Kabupaten Pidie, pada awal Agustus 2024. Di pertemuan itu, Nasir, Ridwan, JKMA, beserta pihak yang selama ini mendampingi pengusulan hutan adat bersepakat untuk dilakukan inisiasi pemetaan tata batas terlebih dahulu. Sebab mereka tidak mau hutan yang sudah menjadi milik masyarakat adat dicaplok oleh perusahaan.

Baik Nasir maupun Ridwan, sama-sama berharap pemerintah segera menetapkan tapal batas antara hutan adat dan HTI yang dikelola PT ANI. Mereka khawatir bila kondisi ini terus berlanjut berpotensi terjadi konflik. Perihal inisiasi ini, Muttaqin menyarankan agar mukim membuat tapal batas sementara. Penandaan bisa dilakukan dengan memberi jarak dari perkiraan titik akhir perbatasan sambil menunggu tapal batas resmi dari KLHK. “Batas terakhir tidak usah diambil dulu, bisa menyisakan satu kilometer. Itu tidak masalah sebetulnya, kecuali sengaja dipermasalahkan,” jelasnya.

Sementara itu, Supervisor Management Planning PT ANI mengaku pihaknya terbuka, dan menunggu undangan dari masyarakat adat untuk membahas mengenai tapal. “Sebenarnya kita menunggu masyarakat adat, kapan mereka mengundang kita, kita siap datang,” kata Syafwan.

Dia mengatakan sejak PT ANI beroperasi belum pernah terjadi konflik dengan masyarakat, terutama yang ada di hutan adat. Selain itu, aktivitas penebangan juga tidak pernah dilakukan lagi oleh perusahaan. Dia pun sebut, bila masyarakat ingin berkolaborasi melindungi hutan, pihaknya bersiap untuk menjalin kerja sama. “Kalau memang masih sejalan pengelolaannya, kenapa kita tidak join pengelolaannya seperti apa. Bekerja sama untuk menjaga hutan,” lanjut Syafwan.

Jaringan pendamping masyarakat adat seperti JKMA pun menyarankan agar pihak PT ANI dapat berbicara perihal peluang kemitraan dengan masyarakat adat. “Itu yang ditunggu sebenarnya. Duduk bareng untuk berdiskusi dengan masyarakat adat dan JKMA untuk berbicara kemitraan di lokasi hutan adat. Itu yang belum ada terjadi,” kata Zulfikar.

Di sisi lain, DLHK Aceh menyarankan kedua pihak selaku pemilik izin harus segera melakukan penandaan tapal batas sehingga kepastian pengelolaan hutan lebih jelas. Melalui tapal batas itu pula dapat memastikan perusahaan tidak menanam di luar areal sesuai SK yang diberikan. “Saya berharap dua pihak yang bersinggungan tersebut bisa duduk untuk melakukan bagaimana pengelolaan-pengelolaan tapal batas harus disepakati bersama,” tutup Faisal.

***Tulisan ini fellowship dari Forest Watch Indonesia.

Sumber tulisan ini berasal dari ajnn.net

Thank you for your vote!
Post rating: 4.7 from 5 (according 1 vote)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top