FWI Ungkap Tipu-tipu Co-Firing Biomassa di PLTU

Praktik PLN dalam memanfaatkan biomassa sebagai pengganti batu bara sebanyak 5 sampai 10 persen di 52 PLTU di Indonesia dikritik. Menurut Forest Watch Indonesia (FWI), implementasi pencampuran biomassa dan batu bara (co-firing) di lapangan tidak berjalan mulus.

Manager Komunikasi, Kerjasama, dan Kebijakan FWI, Anggi Putra Prayoga, menjelaskan, dalam dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), PLN berencana memanfaatkan biomassa yang berasal dari sekam padi, kernel sawit, serbuk gergaji (sawdust), wood pellet, dan serpihan kayu (wood chip) untuk dibakar menggantikan batu bara. PLN kemudian akan mengklaim langkah ini sebagai upaya pengurangan emisi dari sektor energi dan terlibat aktif dalam pasar bebas karbon dengan berhasil mengurangi konsumsi batu bara.

Asimetris informasi, lanjut Anggi, masih menjadi potret implementasi pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi terbarukan di Indonesia. Potret ini akan dihadapkan langsung dengan realitas yang pahit. Aktor, kebijakan, dan implementasi proyek biomassa masih digandrungi bayang-bayang bisnis semata. “Proyek biomassa sebagai energi terbarukan ibarat jauh panggang dari api, tidak menjawab apapun soal perubahan iklim, pengurangan emisi, dan bauran energi nasional,” katanya, dalam sebuah rilis, Senin (29/8/2024).

Kepingan kayu, salah satu jenis biomassa yang dicampur dengan batu bara pada PLTU co-firing. Foto: mightyearth.org
Kepingan kayu, salah satu jenis biomassa yang dicampur dengan batu bara pada PLTU co-firing. Foto: mightyearth.org

Pemanfaatan biomassa, imbuh Anggi, menuai kritik tajam dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Sebab biomassa dinilai tidak tepat sebagai sumber energi terbarukan di Indonesia. Anggi melanjutkan, co-firing atas klaim PLN, telah diuji coba di beberapa PLTU di Indonesia, antara lain dengan pemanfaatan pellet sampah di PLTU Jeranjang dan PLTU Lontar, pemanfaatan wood pellet di PLTU Paiton 1&2, PLTU Indramayu, PLTU Rembang, PLTU Ropa, dan PLTU Adipala.

Kemudian, pemanfaatan wood chip di PLTU Anggrek, PLTU Bolok, PLTU Tembilahan, dan PLTU Tarahan, pemanfaatan kernel sawit di PLTU Tenayan, PLTU Ketapang, PLTU Sanggau, PLTU Belitung, PLTU Teluk Balikpapan, PLTU Nagan raya, dan PLTU Sintang, pemanfaatan sawdust di PLTU Pacitan, PLTU Paiton 9, PLTU Barru, dan PLTU Labuan, dan pemanfaatan sekam padi di PLTU Suralaya 1-4,

“Hingga Juli 2023 PLN telah mengklaim telah menerapkan co-firing biomassa di 40 PLTU dan berambisi di 2025 menjadi 52 PLTU. Tapi implementasi co-firing di lapangan, tidak bisa berjalan mulus,” kata Anggi. Co-firing PLTU, sambung Anggi, dijalankan secara tidak konsisten terhadap apa yang telah direncanakan di dalam dokumen RUPTL, serta minim perhitungan mengenai penggunaan jenis biomassa. Selain itu temuan di lapangan ada dugaan kuat permainan kongkalikong antara industri penyuplai biomassa dengan oknum PLN.

Anggi mengungkapkan, truk-truk pengangkut biomassa sengaja disiram dan dibasahi air untuk meningkatkan tonase sebelum masuk kawasan PLTU untuk ditimbang. Selain itu, praktik “basah” ini dilakukan agar biomassa tidak langsung terbakar habis. “Untuk mengecoh persepsi publik, supplier biomassa menutup celah keluarnya air dari truk menggunakan tanah dan menutupnya dengan serbuk kayu atau sekam sebagai kamuflase. Praktik ini tentunya merugikan negara. Diperkirakan nilai tersebut dapat mencapai Rp1 miliar sampai Rp1,5 miliar dalam satu bulan co-firing di satu PLTU,” ujarnya.

Co-firing biomassa di PLTU, imbuhnya, diketahui telah menjadi mandat bagi PLN sebagai upaya peningkatan bauran energi nasional. Praktik “basah” ini sempat dihentikan oleh pihak PLN, namun tidak selang lama dilanjutkan lagi. Menurut Anggi, PLN berambisi meningkatkan capaian bauran energi baru terbarukan dari praktik co-firing hingga mencapai 12 persen. Target dan implementasi ini terkesan sangat tidak realistis diimplementasikan di lapangan dan merugikan negara.

Rantai Pasok Bermasalah

Anggi melanjutkan, untuk memenuhi kebutuhan co-firing di PLTU, PLN harus berebut sumber daya biomassa. Pertama, kernel sawit merupakan komoditas ekspor saat ini, Indonesia telah mengekspor kernel sawit ke beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Jerman, Belanda, Italia, Tiongkok, Jepang, Amerika Serikat, India, Australia, Korea Selatan, dan Taiwan. “Limbah dari perkebunan kelapa sawit, berupa kernel sawit memiliki nilai harga. Salah satu provinsi pengekspor kernel sawit yakni Kalimantan Barat yang telah berhasil mengekspor kernel sawit dengan nilai USD150,65 juta,” ucap Anggi.

Kedua, wood pellet juga termasuk komoditas ekspor. FWI mendata terdapat 7 industri pengolahan kayu primer yang melakukan ekspor wood pellet dengan tujuan utama Korea Selatan dan Jepang dari 3 provinsi yaitu Gorontalo, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. “FWI mencatat total produksi ekspor wood pellet dalam rentang 9 bulan terakhir (Oktober 2023-Juni 2024) mencapai 60,250 ton. Industri memanfaatkan sawdust, wood chip, kayu rakyat, bahkan kayu alam untuk diolah menjadi wood pellet,” katanya.

Ketiga, PLN berebut biomassa dengan masyarakat usaha menengah kecil mikro (UMKM). Dari pantauan di lapangan, wood pellet digunakan sebagai bahan bakar pengganti kayu bakar seperti untuk industri rumahan goreng tempe, produksi tahu, dan lain-lain. “Sama halnya sekam padi yang juga dimanfaatkan untuk persemaian tanaman, industri sekam bakar, dan lain-lain oleh masyarakat,” kata Anggi.

Sumber tulisan ini berasal dari Betahita.id

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top