UU Konservasi Revisi Sah, Rawan Abaikan Masyarakat?

  • Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi) yang baru ketuk palu dinilai tak berpihak kepada masyarakat. Pemerintah justru menunjukkan otoritarianisme dalam UU yang seharusnya berpihak pada masyarakat dan lingkungan ini.
  • Ada tujuh catatan Walhi terkait UU Konservasi revisi ini. Aspek HAM, jadi yang utama karena terkait penetapan kawasan konservasi baik dalam bentuk suaka alam atau kawasan pelestarian alam yang masih sentralistik dan tak berbasis masyarakat.
  • Roni Saputra, Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, menyebut, UU Konservasi revisi mengesampingkan partisipasi publik.  Hal ini bisa terlihat dari sentralistiknya penetapan kawasan konservasi dan tidak mencantumkan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Padahal, konsep free prior informed consent (FPIC) seharusnya didorong dalam penyelenggaraan konservasi di tingkat tapak.
  • Ada juga kemajuan dalam UU Konservasi perubahan ini seperti, penggunaan daftar IUCN Red List sebagai dasar penentuan hewan yang dilindungi. Selama ini, penentuan hewan dilindungi lewat Peraturan Menteri LHK. Mengacu pada standar internasional, otomatis semua hewan domestik dalam daftar itu bisa masuk status hewan dilindungi.

Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi) yang baru ketuk palu dinilai tak berpihak kepada masyarakat. Pemerintah justru menunjukkan otoritarianisme dalam UU yang seharusnya berpihak pada masyarakat dan lingkungan ini. UU Konservasi ini disahkan dalam rapat paripurna XXI DPR masa persidangan V/2023-2024, Selasa (9/7/24). Pengesahan dipimpin Wakil Pimpinan DPR Muhaimin Iskandar,  disaksikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Siti memberikan pernyataan atas pengesahan itu mewakili Presiden Joko Widodo.

Dilansir dari Kompas.com, Siti bilang, pemerintah meyakini RUU KSDAHE sebagai warisan instrumen hukum internasional dalam menjawab tantangan zaman terkait konservasi dan sumber daya alam. “RUU ini dapat memberikan perlindungan terhadap kedaulatan negara, hak berdaulat, keamanan warga negara, juga akses terhadap kesejahteraan dan dengan tetap konsisten melakukan perlindungan terhadap sumber daya alam hayati serta ekosistemnya,” katanya.

Meskipun demikian, respons berbeda dari Kelompok Masyarakat Sipil. Satrio Manggala,  Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi Nasional saat dihubungi Mongabay menyebut UU ini justru ambigu. Ada tujuh catatan Walhi terkait UU Konservasi revisi ini. Aspek HAM, katanya,  jadi yang utama karena terkait penetapan kawasan konservasi baik dalam bentuk suaka alam atau kawasan pelestarian alam yang masih sentralistik dan tak berbasis masyarakat. Padahal, katanya, revisi ini seharusnya jadi kesempatan memastikan keberpihakan konservasi pada masyarakat. Pasalnya, masyarakatlah yang memiliki pemahaman dan praktik konservasi yang sudah turun-temurun. “Prinsip itu yang tidak diakomodir di sini. Semangat konservasinya masih sentralistik, sama dengan UU lama,” kata Satrio.

Kedua, ada penetapan areal preservasi di luar kawasan konservasi yang bisa dilakukan pemerintah daerah. Dalam hal ini, pemerintah daerah bisa menetapkan kawasan preservasi untuk dipertahankan kondisi ekologisnya guna mendukung fungsi penyangga kehidupan atau kelangsungan hidup sumber daya alam dan ekosistemnya.

Hutan adat Marena, nan lebat tertutup kabut yang masuk Taman Nasional Lore Lindu. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Penetapan kawasan ini bisa dilakukan di atas wilayah yang sudah dihuni masyarakat atau izin konsesi. Pemerintah daerah bisa mencabut hak kepemilikan atau izin wilayah itu jika masyarakat atau pemilik konsesi tidak melakukan aktivitas konservasi. ”Ini berpotensi membuat konflik meluas. Lagi-lagi kembali ke konsep konservasi pemerintah ini tidak berbasis HAM,” katanya.

Ketiga, ialah ambigunya kebijakan konservasi yang memasukkan jasa lingkungan untuk panas bumi dan karbon. Hal ini disebut Satrio justru akan berdampak pada kelestarian lingkungan itu sendiri. Sebelum perubahan, eksploitasi panas bumi haram di kawasan konservasi. Dilansir Republika, Wakil Menteri LHK Alue Dohong sebelumnya menyebut 40% potensi 24 Gigawatt panas bumi berada di hutan lindung dan kawasan konservasi.

Karpet merah eksploitasi panas bumi di kawasan konservasi disebut Satrio bisa menghasilkan tiga dampak utama. Mulai dari gempa bumi minor akibat pengeboran, pencemaran air, hingga amblas dan retaknya tanah di sekitar kawasan pengeboran. Dia menyebut,  sudah banyak catatan dampak eksploitasi panas bumi bagi lingkungan. “Seperti di Merapi dan Banyumas. Lagipula, logika dari mana ada alat berat masuk dan pengeboran, tapi tidak berdampak pada lingkungan?” Untuk penyerapan karbon yang diakomodir sebagai jasa lingkungan, katanya, berpotensi berikan skema komodifikasi karbon dan menimbulkan konflik di masyarakat yang selama ini sudah menjaga hutan. Hal ini, katanya,  bisa terlihat dari pengalaman implementasi REDD plus yang mengeksklusi masyarakat.

Keempat, Walhi mencatat norma dan sanksi perdata yang tidak diatur dalam UU perubahan ini. Padahal, sanksi perdata bisa melengkapi sanksi administrasi dan pidana yang sudah ada dalam Undang-undang, untuk menjerat korporasi.

Kelima, tidak ada mekanisme pemulihan. Seharusnya,  masuk agar bisa memastikan konsesi dan perizinan yang menimbulkan pencemaran bisa bertanggungjawab atas aktivitas mereka.

Keenam, tidak ada pengaturan hak gugat masyarakat, misal, class action kalau mengalami kerugian karena pencemaran atau kerusakan lingkungan. Ketujuh, sanksi pidana tidak mengacu pada bio piracy. “Padahal ini merupakan kejahatan transnasional yang bisa mengganggu sumber daya genetik kita,” katanya.

Anak harimau sumatera yang ditemukan mati di kebun warga di Desa Peunaron Lama, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh, Rabu [22/02/2023]. Foto: Dok. Polres Aceh Timur
Konservasi Otoriter

Roni Saputra, Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, menyebut, UU Konservasi revisi mengesampingkan partisipasi publik. Hal ini bisa terlihat dari sentralistiknya penetapan kawasan konservasi dan tidak mencantumkan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Padahal, konsep free prior informed consent (FPIC) seharusnya didorong dalam penyelenggaraan konservasi di tingkat tapak.

Dia menyebut,  setiap regulasi yang dikeluarkan pemerintah sejatinya untuk kepentingan masyarakat. Sayangnya, hal ini tidak terlihat di UU Konservasi perubahan ini. ”Idealnya, penetapan kawasan konservasi itu menggunakan pendekatan FPIC. Tapi ruang ini sama sekali tidak terlihat di UU Konservasi yang baru,” katanya. Padahal, DPR beberapa kali menyebut sudah rapat dengan masyarakat adat. Naskah Akademik awal pun memberi peran luas bagi masyarakat adat dalam konservasi.

Produk final, katanya  justru mengerdilkan peran masyarakat adat. Padahal, dalam catatannya, ada sekitar 1,6 juta wilayah adat tumpang tindih dengan kawasan konservasi. Setidaknya, ada 2,9 juta jiwa masyarakat adat punya praktik konservasi berdasarkan kearifan lokal masing-masing. Dia khawatir, ke depan berpotensi perampasan tanah dan resettlement masyarakat dari wilayah mereka karena UU ini. “Kita tidak bisa pungkiri peran masyarakat adat dalam melakukan konservasi di wilayah mereka,” katanya.

Abok Gedoi, berdiri dekat pohon besar yang tersisa di hutan larangan Gunung Cundong. Hutan larangan ini merupakan hutan yang dilindungi lewat kearifan lokal masyarakat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Roni bilang, mengenyampingkan peran masyarakat di UU perubahan Konservasi justru makin menunjukkan rezim pemerintahan otoriter. Tren ini, katanya, sudah terlihat sejak 2014. ”Bagaimana masyarakat bisa dapat informasi, memberi masukan atau persetujuan kalau keterlibatan mereka dari awal hingga akhir dalam membuat keputusan justru dikesampingkan pemerintah?”

Tak jauh beda dikatakan Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia. Dia bilang, banyak kawasan konservasi, katanya,  didiami dan dikelilingi masyarakat adat dan lokal. UU baru ini, katanya, akan membuat masyarakat tercerabut secara paksa dari kawasan. Satu contoh, di Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. “Mereka ini yang akan dikorbankan oleh UU baru ini. Padahal mereka memiliki kearifan dalam jaga kawasan,” kata Anggi.

Sisi lain, Roni menyebut ada juga kemajuan dalam UU Konservasi perubahan ini seperti, penggunaan daftar IUCN Red List sebagai dasar penentuan hewan yang dilindungi. Selama ini, penentuan hewan dilindungi lewat Peraturan Menteri LHK. Mengacu pada standar internasional, otomatis semua hewan domestik dalam daftar itu bisa masuk status hewan dilindungi.

Selain itu, pemerintah pun bisa mengetatkan regulasi terhadap masuknya hewan dilindungi dari negara lain ke dalam negeri. “Misal, harimau Bengal di India yang statusnya satwa dilindungi di sana, kalau masuk ke Indonesia pun statusnya sama dan bisa ada tindak pidana bagi lembaga konservasi, artis atau lainnya yang memelihara.”

Sumber tulisan ini berasal dari mongabay.co.id

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top