Pada akhirnya, apa yang diperjuangkan masyarakat menuai keberhasilan. Melalui wadah SaveAru, perjuangan yang dirintis sejak tahun 2005 mendapatkan hasil positif pada tahun 2015. Agenda utamanya satu: menghentikan rencana pembangunan kawasan perkebunan tebu yang diusahakan oleh sebuah perusahaan swasta.
Penolakan rencana tersebut menjadi penting dari berbagai sisi. Dari sisi ekologi, rencana pembangunan kawasan perkebunan tebu itu dilakukan di kawasan hutan. Dengan karakteristik Kabupaten Kepulauan Aru sebagai pulau kecil, maka keberadaan hutan itu penting untuk menjaga keseimbangan hidrologi, dalam hal ini adalah penyediaan sumber daya air tawar. Keberadaan air tawar di pulau kecil sangat ditentukan salah satunya oleh tutupan lahan (Hehanussa dan Hartanto, 2005). Apalagi, hutan di Kabupaten Kepulauan Aru yang hendak dialihfungsikan adalah hutan primer berusia ratusan tahun.
Dari sisi sosial ekonomi, masyarakat memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan hutan ini. Masyarakat menganggap hutan adalah sebagai sumber penghidupan. Segala aspek kehidupan bergantung pada keberadaan hutan, baik hutan dataran rendah maupun hutan bakau. Hubungan antara masyarakat dan hutan ini mewujud diantaranya dalam kearifan lokal masyarakat adat terhadap hutan yang tercermin pada kepemilikan patuanan, dan aktivitas masyarakat di hutan seperti berburu dan mengambil hasil hutan.
Pola hubungan antara masyarakat dan hutan yang terbangun sekian ratus tahun lamanya membentuk kelembagaan dan budaya yang khas, mengharmonisasikan keberlangsungan hutan dan masyarakat. Adanya kelembagaan adat dengan aturan yang masih diberlakukan dan ditaati lahir dari relasi tersebut.
Maka, ikhtiar yang murni ini dari masyarakat Aru patut didukung oleh segenap pihak. Dukungan yang tidak serta merta berhenti ketika perjuangan mereka telah menuai keberhasilan karena, pertanyaan berikutnya yang menunggu adalah “Lalu apa selanjutnya?”
Perlu disadari juga secara berimbang bahwa ada korbanan (trade-offs) dari gagalnya pembangunan kawasan perkebunan tebu. Di skala makro, potensi pertumbuhan ekonomi yang dikontribusikan oleh subsektor perkebunan menjadi menguap. Efek pengganda (multiplier effect) dari keberadaan perkebunan tebu terhadap sektor-sektor lainnya pun menjadi hilang.
Di tataran mikro, peluang masyarakat mengisi lowongan pekerjaan di perkebunan tebu telah tertutup sudah. Jika pembangunan perkebunan tebu itu lantas diikuti dengan pembangunan industri gula, maka potensi ekonomi yang bisa diraup masyarakat dan hilang menjadi lebih besar lagi.
Akan tetapi, tetap pada akhirnya adalah mudharat yang lebih besar dibanding segala manfaat yang mungkin bisa dipetik dari keberadaan perkebunan. Oleh karena itulah, perjuangan ini layak didukung. Pasca perjuangan ini menuai hasil, dukungan berikutnya yang patut diberikan adalah meminimumkan dampak negatif yang timbul dari tidak jadinya perkebunan dibangun.
Potensi dampak negatif bagi masyarakat adalah hilangnya peluang-peluang ekonomi. Tentunya peluang ekonomi yang dimaksud disini adalah ekonomi yang tidak ramah lingkungan, sehingga yang perlu dijawab adalah “bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah dari aktivitas ekonomi masyarakat Kepulauan Aru secara berkelanjutan?”
Untuk itulah kegiatan riset ini dilakukan. Sebagai sebuah inisiatif awal pasca gagalnya perusahaan tebu berinvestasi, kegiatan ini didesain untuk memetakan aktivitas-aktivitas ekonomi eksisting yang dijalani oleh masyarakat, dan peluang- peluang bagi peningkatan nilai tambahnya. Termasuk juga didalamnya adalah pemetaan kelembagan yang dibutuhkan guna menunjang inisiatif ini. Inilah yang disebut sebagai pembangunan berimbang, dan kegiatan ini menjadi langkah kecil dan awal untuk mewujudkannya.
Penelitian yang dilakukan selama tiga bulan ini mengambil 16 desa sebagai lokasi penelitian yang terbagi menjadi empat kuadran berdasarkan mata angin. Hal ini didasari bahwa sebagai pulau kecil, faktor lokasi di utara-selatan dan timur-barat mempengaruhi keragaman jenis pekerjaan. Empat kuadran tersebut meliputi Kuadran 1 yang mencakup daerah-daerah di kawasan utara-timur, Kuadran 2 yang meliputi daerah-daerah di kawasan timur-selatan, Kuadran 3 yang meliputi daerah-daerah di kawasan selatan-barat, dan Kuadran 4 yang meliputi daerah-daerah di kawasan barat-utara.
Data primer diperoleh melalui informan kunci yang meliputi aparat pemerintah lokal (desa, kecamatan, dan kabupaten), pemimpin adat, dan pelaku usaha dengan cara wawancara mendalam dan wawancara semi-terstruktur yang mencakup informasi mengenai i) aspek mata pencaharian, meliputi jenis, upaya peningkatan nilai tambah, pasar, rantai distribusi, sebaran profit, dan dinamika mata pencaharian, ii) aspek kelembagaan, meliputi pengaturan hak ulayat dan tata kelola adat lainnya yang menyangkut aktivitas ekonomi, pengorganisasian pelaku ekonomi dalam kelompok usaha atau sejenisnya, dan iii) aspek kewilayahan, mencakup sejarah kawasan, sebaran spasial aktivitas ekonomi dan karakteristik kawasan berdasarkan aktivitas ekonominya. Data sekunder didapatkan dari publikasi Badan Pusat Statistik, literatur dan hasil-hasil kajian sebelumnya, serta dokumen-dokumen dari lembaga-lembaga terkait.
Penelitian ini memilih informan kunci melalui teknik snowball dengan pengelompokkan sebagai berikut: i) pelaku usaha di hulu, ii) pelaku usaha di pengumpulan dan distribusi, iii) pelaku usaha di pengolahan, iv) aparat pemerintah lokal di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten, v) perwakilan kelembagaan adat, dan vi) perwakilan dari organisasi masyarakat lain.