Populasi burung endemik di kawasan Wallacea, khususnya Maluku Utara, terus menurun akibat perburuan satwa liar. Wilayah burung endemik ini juga terancam di tengah masifnya gempuran pertambangan mineral di kawasan ini. Masyarakat lokal dan pemerintah harus tegas dan bahu-membahu untuk menjaga aset berharga Indonesia ini.
Koordinator Burung Indonesia Wilayah Kepulauan Maluku Benny Aladin menjelaskan, Indonesia menyimpan jenis burung endemik 541 jenis yang terbanyak di dunia. Namun, aktivitas perburuan satwa liar dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit serta pertambangan nikel mengancam habitat burung endemik. Tidak hanya berasal dari luar, perburuan juga banyak dipraktikkan oleh masyarakat sekitar.
Jenis burung paruh bengkok endemik Maluku Utara, seperti kakatua putih (Cacatua alba) dan kasturi ternate (Lorius garrulus) pun terancam. Berdasarkan data Badan Konservasi Dunia International Union for Conservation of Nature (IUCN), status konservasi kakatua putih adalah terancam (endangered), sementara kasturi ternate berstatus rentan (vulnerable). Ia menambahkan, secara jumlah populasi menurun, tetapi ditinjau dari sisi biologis, populasi jantan dan betina burung ini masih aman. Hal ini perlu dipertahankan.
”Tahun 90-an terjadi perburuan besar-besaran terhadap dua jenis burung ini, sampai sekarang belum berhenti. Tentu sulit kalau pemerintah harus mengawasi setiap jengkal hutan di Maluku Utara yang luas ini. Kami juga terus mengedukasi masyarakat untuk tidak lagi berburu burung,” ucapnya di Ternate, Rabu (24/1/2024).
Ditinjau dari sisi geologi, tingginya populasi burung endemik terjadi karena wilayah kepulauan Indonesia terdiri atas ratuan ribu pulau yang terbentuk dari pertemuan banyak lempeng, seperti Australia, Pasifik, dan Filipina dan lainnya. Pulau-pulau yang saling terpisah ini membuat fauna, salah satunya burung, berevolusi sesuai kondisi wilayahnya masing-masing.
Fauna yang ”terisolasi” antarpulau ini terus berevolusi sehingga memiliki ciri unik yang berbeda tiap wilayah. Di Provinsi Maluku Utara, wilayah burung endemik terdapat di beberapa pulau, seperti Taliabu, Halmahera, Bacan, Obi, Ternate, Morotai. Adapun di Provinsi Maluku, burung endemik ada di wilayah Maluku Tengah, Maluku Tenggara, dan beberapa wilayah lainnya.
Selain perburuan, alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit dan pertambangan, khususnya nikel juga membahayakan”. Ia menyebut, laju penggundulan hutan (deforestasi) yang begitu pesat di Maluku Utara mengancam habitat burung endemik. Eksplorasi nikel yang kini gencar menambah kekhawatiran tersebut. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia, laju deforestasi di Maluku Utara tahun 2016 berada di angka 25.000 hektar per tahun, namun kini bisa mencapai angka 52.000 hektar per tahun. Luas kawasan hutan Maluku Utara tercatat sebesar 2.515.220 hektar atau sekitar 79,82 persen dari luas daratannya.
Kawasan yang menjadi obyek penelitian naturalis dari Inggris, Alfred Russel Wallace ,ini memang tidak hanya kaya satwa endemik, tetapi juga mineral. Indonesia juga memiliki 23 Endemic Bird Area (EBA), terbanyak di dunia.
Benny menjelaskan, beberapa burung endemik di Maluku Utara sangat rentan dengan perubahan bentang alam, salah satunya bidadari halmahera (Semioptera walacii) yang masuk dalam kategori cendrawasih. Burung ini membutuhkan vegetasi hutan yang rapat untuk dapat bertahan hidup. Ditinjau dari sisi ornitologi, tipe burung jantan ini beraktivitas pada pagi hari dengan ”menari” di dahan di area hutan yang minim sinar matahari, untuk menarik perhatian betina.
“Cendrawasih itu burung pemalu, bila pohonnya semakin renggang tentu berdampak pada habitatnya. Burung endemik lain seperti mandar gendang (habroptila walacii), juga lebih pemalu dan akan paling terdampak bila terjadi perubahan lingkungan. Wilayah burung ini harus dipertahankan,” ujarnya.
Masa Depan
Kehadiran perkebunan kelapa sawit yang kini merambah Maluku Utara juga perlu menjadi perhatian. Rencana pembangunan Hutan Tanaman Energi pun berpotensi bermasalah. Hal ini dikarenakan dua aktivitas tersebut membuat hutan kehilangan keanekaragaman hayatinya. Berbeda dengan jenis fauna lain, burung cenderung membutuhkan pakan yang beragam. Kehadiran hutan monokultur tentu akan mengganggu keberlangsungan hidup mereka.
Pegiat konservasi burung endemik Maluku Utara, Akhmad David, menjelaskan, kehadiran burung harus tetap dipertahankan karena peran pentingnya dalam ekosistem lingkungan. Penurunan jumlah burung akan berdampak negatif pada manusia, khususnya pertanian. Ia menyebut, burung merupakan pengendali serangga dan hama yang paling efektif, sehingga eksistensinya akan membantu manusia terhindar dari gangguan hewan-hewan tersebut.
Burung juga dikenal sebagai ”petani hutan”. Kotoran burung yang mengandung biji-bijian menjadi benih tumbuhnya pohon. David yang juga bekerja sebagai polisi hutan di Taman Nasional Aketajawe Lalobata, Maluku Utara, ini menambahkan, burung endemik di Maluku Utara sangat unik karena memiliki burung dengan ukuran terkecil dan ukuran terbesar dari tiap jenisnya.
Masa depan satwa endemik Maluku Utara memang mengkhawatirkan. Ia mencontohkan, populasi kakatua putih yang pada survei tahun 1992 masih berada di angka 200.000 ekor. Namun, pada survei tahun 2019, populasinya berada di angka 50.000 ekor. Populasi satwa endemik seperti burung gosong maluku (Eulipoa wallacii) pun merosot akibat masih adanya tradisi pengambilan telur burung ini.
Pada tahun 2017, Taman Nasional Aketajawe Lalobata pun membangun suaka untuk burung-burung paruh bengkok. Kegiatan konservasi ini sekaligus untuk mengedukasi masyarakat untuk menjaga keberlangsungan satwa endemik Maluku Utara.
”Masih sedikit komunitas yang peduli mengenai burung liar di wilayah ini. Literatur juga masih terbatas. Ini momen untuk kita bersama-sama menjaga, masih ada potensi ditemukannya jenis baru karena hutannya luas sekali,” ucap pria yang juga menekuni fotografi satwa liar di Halmahera Wildlife Photography ini.
Sumber tulisan ini berasal dari kompas.id