Kata “deforestasi” menjadi kata yang sering diperbincangkan akhir-akhir ini seiring dengan apa yang disampaikan Presiden RI Joko Widodo dan cuitan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya Bakar.
Deforestasi atau penggundulan hutan atau alih fungsi hutan di Klaim mengalami penurunan drastis selam 20 tahun terakhir. Begitu juga dengan rehabilitasi lahan krisis (penanaman pohon) diklaim telah mencapai angka 3 juta hektare dalam 10 tahun terakhir. FWI mencoba mendalami dan menyampaikan fakta-fakta yang berkaitan dengan deforestasi di Indonesia. Berikut adalah point-point fakta tentang deforestasi di Indonesia:
Tutupan hutan (data FWI tahun 2000, 2009, 2013, 2017)
Luas hutan alam di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, Indonesia masih memiliki 106 juta ha hutan alam. Jumlah tersebut berkurang menjadi 93 juta ha pada tahun 2009, 88 juta ha pada tahun 2013, dan 82 juta ha pada tahun 2017. Hutan-hutan alam yang hilang dari tahun ke tahun tersebutlah yang dinamakan oleh FWI sebagai deforestasi.
Deforestasi tahun 2000-2017
Dari data diatas, dapat dilihat bahwa selama 17 tahun kebelakang (2000-2017) Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 23 juta ha atau setara dengan 75 kali luas Provinsi Yogyakarta. Angka yang sangat jauh jika dibandingkan dengan klaim 3 juta hektare keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan kritis.
Laju deforestasi di Indonesia pada tahun 2000-2009 sebesar 1,4 juta ha/tahun. Pada periode selanjutnya (2009-2013) berkurang menjadi 1,1 juta ha/tahun. Laju deforestasi di Indonesia Kembali meningkat pada periode selanjutnya (2013-2017) menjadi 1,4 juta ha/tahun. Jika diilustrasikan, kecepatan kehilangan hutan di Indonesia setara dengan 4 kali luas lapangan sepak bola setiap menitnya.
Praktis, sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2017 tidak ada perubahan yang signifikan dari kecepatan kehilangan hutan. Walaupun sempat mengalami penurunan sekitar 350 ribu ha/tahun pada periode kedua (2009-2013), Laju Deforestasi Kembali naik pada periode selanjutnya.
Tabel diatas memperlihatkan deforestasi yang terjadi di masing-masing region sejak tahun 2000 – 2017. Terdapat beberapa region yang mengalami penurunan deforestasi, tetapi juga ada beberapa region yang mengalami peningkatan deforestasi secara signifikan. Region-region yang mengalami penurunan ialah Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Sedangkan Bali Nusa, Sulawesi, Maluku, dan Papua mengalami peningkatan. Bahkan untuk region Maluku ada peningkatan deforestasi hampir 2x lipat dan di Papua ada peningkatan hampir 3 kali lipat.
Dari sini, dapat dilihat bahwa deforestasi di Indonesia terus bergerah dari wilayah barat ke wilayah Timur. Sehingga klaim keberhasilan Indonesia dalam menekan laju deforestasi selama 20 tahun terakhir patut dipertanyakan. Karena turunnya laju deforestasi di beberapa wilayah tidak lain karena faktor sumberdaya hutan yang semakin menipis dimana hutan yang tersisa berada pada wilayah yang sulit diakses sehingga menyebabkan perhitungan ekonomi yang tidak sebanding dan juga pada areal-areal konservasi yang secara regulasi sulit untuk di konversi.
Pergeseran deforestasi dari wilayah barat ke wilayah timur juga terlihat dari arah kebijakan. Dalam peta arahan pemanfaatan hutan produksi yang dikeluarkan KLHK antara tahun 2017-2020, memperlihatkan proporsi Kawasan hutan produksi yang akan dimanfaatkan terus berkurang di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sementara untuk region Sulawesi, Maluku, dan Papua proporsinya terus meningkat.
baca juga: Jalan Deforestasi Indonesia
Jika merujuk data yang dihasilkan oleh KLHK, pada tahun 2020 deforestasi menurun sampai ke angka 115 ribu hektare. Ini adalah angka deforestasi terendah dari semua data deforestasi yang pernah disampaikan oleh KLHK. Dilain sisi, Analisa yang dilakukan FWI dengan memadukan data tutupan hutan tahun FWI 2017 dengan data forest lost Hansen (University of Maryland) tahun 2018, 2019, dan 2020, memperlihatkan ada sekitar 680 ribu ha hutan yang hilang. Atau dengan laju rata-rata sebesar 227 ribu ha/tahun.
Reforestasi
Presiden Joko Widodo, mengklaim keberhasilan dalam reforestasi atau rehabilitasi hutan dan lahan sebesar 3 juta hektare dalam 10 tahun terakhir. Namun, data yang dihimpun FWI dalam laporan-laporan KLHK sejak tahun 2011-2020 memperlihatkan angka reforestasi di Indonesia baru mencapai 1 juta hektare. Angka ini merupakan penjumlahan dari reforestasi yang terjadi di hutan primer, hutan sekunder, dan hutan tanaman. Di dalam hutan tanaman juga termasuk di dalamnya penanaman untuk kebutuhan hutan tanaman industri dan reboisasi/penghijauan. Itupun dengan catatan bahwa angka 1 juta hektare tersebut belum bisa diuji oleh publik terkait validasi datanya.
Kebakaran Hutan di Indonesia
Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di COP26 menyampaikan jika Indonesia berhasil menekan angka kebakaran hutan dan lahan sampai dengan 82% di tahun 2020. Jika melihat luasan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang tersedia di karhutla monitoring system (sipongi) terjadi penurunan luas kebakaran hutan dan lahan sebesar 82% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya di tahun 2019. Angka ini persis dengan apa yang disampaikan Joko Widodo dalam pidatonya. Namun, yang perlu diingat bahwa pada tahun 2019, terdapat badai siklon el nino yang semakin memperburuk kebakaran hutan di Indonesia.
Begitu juga situasi pada tahun 2020 yang merupakan tahun basah. Sehingga klaim keberhasilan dalam menekan kebakaran hutan dan lahan yang disampaikan Joko Widodo masih dipertanyakan. Kebakaran hutan dan lahan juga sebenarnya menunjukkan potret kegagalan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh korporasi. Pada tahun 2019 misalnya dimana ada 1,6 juta ha hutan dan lahan yang terbakar, 1,3 juta ha (82%) nya terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Ironisnya, di dua pulau itu pula izin-izin industri ekstraktif menguasai hutan dan wilayah adat. Di Kalimantan misalnya, 80,9 juta ha (71%) daratan telah dikuasasi oleh izin-izin industri ekstraktif. Begitu juga di Sumatera, ada sekitar 55,5 juta ha (41%) daratannya juga mengalami hal yang sama.
FoLU net sink vs Deforestasi
Ada pergeseran pendekatan yang dilakukan Indonesia dalam menuntaskan komitmen pengurangan emisi. Dari yang sebelumnya berkomitmen untuk menekan laju deforestasi, saat ini terlihat seperti akan berubah ke istilah FoLU (Forest and other Land Use) net sink yang ditargetkan tercapai di tahun 2030. FoLU net sink adalah titik keseimbangan yang dihasilkan dari proses pelepasan emisi karbon dibandingkan dengan penyerapan emisi karbon.
Pendekatan ini akan sangat berimplikasi dengan deforestasi sesungguhnya di Indonesia. Dimana carbon yang dilepaskan dari aktivitas deforestasi mendapatkan toleransi asalkan diiringi dengan serapan karbon yang sama dari aktivitas rehabilitasi hutan / reforestasi. Sehingga bisa dibilang deforestasi akan terus terjadi bahkan dengan luasan yang lebih besar. Lebih ironis lagi nantinya, jika program-program rehabilitasi diarahkan pada izin-izin perhutanan sosial dan program-program yang diusulkan masyarakat (CSO), sementara korporasi-korporasi besar masih bebas menebang hutan diwilayah lainnya.
Pendekatan ini menjadi sangat berpotensi penuh dengan tipu daya kedepannya, mengingat jumlah karbon yang dilepas dari penebangan hutan tidak sebanding dengan jumlah karbon yang diserap dari hasil reforestasi, walaupun dengan luasan deforestasi dan reforestasi yang sama. Sehingga untuk mencapai FoLU net sink, angka reforestasi harus jauh lebih besar dari pada angka deforestasi.
Pertanyaannya, bagaimana dengan realisasi reforestasi selama ini? Klaim keberhasilan rehabilitasi seluas 3 juta hektare yang disampaikan Presiden Joko Widodo telah mengawali penggunaan pendekatan baru (FoLU net sink) atas dasar informasi yang tidak valid. Dimana data KLHK sendiri menunjukkan reforestasi di Indonesia baru mencapai 1 juta hektare dari tahun 2011-2020. Data itupun sampai saat ini tidak dapat diuji oleh publik.