Ekspansi Perkebunan Kayu – Menghilangkan Hutan Alam dan Menimbulkan Konflik Sosial

Masih terjadinya deforestasi di dalam area perkebunan kayu, khususnya pada perusahaan penyuplai industri pulp and paper menjadi citra buruk pengelolaan hutan di Indonesia. Sejak rentan waktu 2013-2016 telah terjadi deforestasi atau kehilangan hutan alam seluas 208.315 ha di dalam area konsesi perkebunan kayu di Riau dan Sumatera Utara. Presentase terbesar bersumber dari konsesi penyuplai kilang IKPP sebesar 59%, disusul RAPP sebesar 26%, dan TPL sebesar 2%.

Pelanggaran terhadap komitmen-komitmen perusahaan tentang tidak adanya lagi deforestasi pun masih terjadi. Penebangan hutan alam dan penggalian kanal untuk penyiapan lahan tanam pun menjadi bukti bahwa komitmen yang ada hanya untuk menciptakan citra baik di mata pasar. Tidak hanya itu, dugaan pembakaran dan pembiaran terjadinya kebakaran pun menjadi momok yang tidak pernah terselesaikan sampai saat ini.

Box 1. Penggunaan Istilah Perkebunan Kayu Pengertian hutan dalam UU. No. 41 tahun 1999 dinilai tidak relevan untuk istilah hutan tanaman. Dalam kebijakan tersebut hutan adalah Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sementara aktifitas pada izin IUPHHK-HT akan menebang habis tanamantanaman kayu yang mereka tanam. Sehingga tidak ada lagi kesatuan ekosistem di dalamnya. Istilah “perkebunan” juga kerap digunakan untuk perkebunan kayu rakyat. Penggunaan istilah ini dikarenakan akhir dari pohon yang ditanam akan dipanen dan ditebang habis.

Melihat luasan dan ketersediaan bahan baku yang ada, seharusnya kebutuhan bahan baku untuk industri pulp and paper dapat terpenuhi jika pengelolaan perkebunan kayu dilakukan secara maksimal. Total kapasitas produksi tiga kilang pulp yang terdapat di Riau dan Sumatera Utara mencapai 5.249.521 ton/tahun. Jika menggunakan asumsi riap terendah maka industri pengolahan pulp di dua provinsi tersebut kekurangan bahan baku sebanyak 5.123.133 meter kubik. Dan sebaliknya, jika perusahaan perkebunan kayu mampu menghasilkan tanaman dengan riap tertinggimaka Industri pulp and paper akan kelebihan bahan baku sebanyak 1.754.259 meter kubik. Jika pengelolaan dilakukan dengan maksimal, seharusnya tidak ada lagi aktifitas yang menghilangkan hutan alam di dalam area konsesi.

Pembangunan perkebunan kayu juga kerap kali mengabaikan kelestarian bentang alam pulau kecil. UU No.27 tahun 2007 jo UU No.1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau -pulau kecil tidak menjadi pertimbangan dalam menjamin kelangsungan ekologi dan kehidupan di suatu pulau. Aktifitas perkebunan kayu di Pulau Rupat dan Pulau Padang menjadi contoh bahwa pembangunan perkebunan kayu tidak pernah memperhatikan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Kedua pulau tersebut merupakan pulau-pulau kecil, menurut regulasi yang ada memiliki luas kurang dari 2.000 kilometer persegi.

Sejak tahun 2008 sampai dengan bulan Juni 2016 tercatat aktifitas perkebunan kayu telah menghasilkan 263,685,235.87 meter kubik kayu. Jumlah kayu tersebut 80% berasal dari área perkebunan kayu yang telah ditanam. Sisanya 53 juta meter kubik atau 20% masih berasal dari aktifitas land clearing di área perkebunan kayu. Hingga pertengahan tahun 2016, 72% atau 1.739.632 ha lahan perkebunanan kayu di Riau dan Sumatera utara digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri pulp and paper.

INDAH KIAT PULP AND PAPER / ASIA PULP AND PAPER

Sejak 5 Februari 2013, APP mengumumkan kebijakan Forest Conservation Policy (FCP) untuk meningkatkan komitmennya dalam melindungi hutan alam di seluruh rantai pasokannya. Kebijakan ini berlaku untuk seluruh konsesi pemasoknya di Indonesia yang meliputi sekitar 2,6 juta hektar lahan. Terdapat empat prinsip kunci dalam FCP:

1. Tidak ada lagi pembukaan hutan alam dimana APP beroperasi, yang diidentifikasi melalui penilaian independen High Conservation Value (HCV) dan High Carbon Stock (HCS),

2. APP akan mendukung tujuan Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca melalui perlindungan hutan gambut dan penerapan praktek kerja terbaik dalam manajemen lahan gambut,

3. APP dan pemasok kayunya akan menerapkan praktek kerja terbaik dalam hubungannya dengan masyarakat, yang mencakup prinsip-prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC), untuk menghindari dan mengatasi konflik sosial di rantai pasokan kayunya di Indonesia, dan,

4. APP akan mengembangkan langkah-langkah untuk memastikan bahwa sumber-sumber pulp impornya mendukung manajemen hutan yang bertanggung jawab.

Deforestasi dan Realisasi Ketersediaan Bahan Baku

Dengan asumsi riap tertinggi, rantai posokan IKPP dari perkebunan kayu mampu menghasilkan 96% kebutuhan bahan baku atau sebesar 13.327.645 meter kubik kayu. Namun jika yang terjadi adalah riap terendah, maka hanya 9.951.247 meter kubik atau 72% kebutuhan bahan baku yang tersedia.

Tabel 1. Rakapitulasi Perhitungan Ketersediaan Bahan Baku Kilang Pulp and Paper IKPP

Sumber: FWI. 2016. Pengolahan Data Realisasi Tanam.konsesi perkebunan kayu di Provinsi Riau dan Sumatera Utara.

Rantai pasokan sumber kayu IKPP terbesar berasal dari Provinsi Riau. Di Provinsi tersebut, terdapat 14 perusahaan yang menjadi mitra IKPP dengan total luas lebih dari 800 ribu ha. Berdasarkan analisis citra satelit, selama rentan tahun 2013 – 2016 telah terjadi kehilangan hutan alam di dalam beberapa konsesi pemasok IKPP di Provinsi Riau, seluas 122.131 Ha.

Gambar 2. Tutupan Lahan (kanan) dan Deforestasi (kiri) Tahun 2013-2016 pada Area Konsesi penyuplai Kilang Pulp IKPP di Provinsi Riau

Konflik Sosial Akibat Kehadiran Perkebunan Kayu

Pada tahun 2013, wilayah konsesi PT Suntara Gajapati (SGP) memiliki hutan alam seluas 5.256 ha. Namun hutan alam yang berada di dalam konsesi perusahaan ini terus berkurang, menjadi 1.046 ha di tahun 2016. Sebesar 87% perubahan hutan menjadi bukan hutan terjadi diakibatkan kegiatan konversi menjadi perkebunan sawit. Hal ini memperlihatkan adanya konflik dan tumpang tindih yang sangat masif di dalam area konsesi. Dari kondisi lahannya pun memperlihatkan 50% wilayah konsesi telah tertanam oleh kelapa sawit. Sedangkan area perkebunan kayu sendiri hanya menguasai 28% dari luas konsesi. PT. Suntara Gajapati diduga merupakan salah satu mitra IKPP, walaupun nama perusahaan tersebut tidak tertulis di dalam dokumen Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) IKPP tahun 2016.

Dalam rentang waktu Juni 2014 – September 2015 terdapat indikasi 45 titik kebakaran berada didalam konsesi SGP. Sebagian besar atau 73% lokasi kebakaran berada di area perkebunan kelapa sawit yang sampai saat ini menjadi konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan. Pada Oktober 2016, konsesi perusahaan tersebut kembali mengalami pembakaran lahan dan hutan. Areal yang terbakar merupakan lahan gambut yang seharusnya dilindungi.

Gambar 3. Area Perkebunan Sawit di dalam Konsesi PT Suntara Gajapati yang Terbakar. Gambar diambil pada Tanggal 15 Oktober 2016 (kiri)). Persentase Titik Kebakaran di dalam Konsesi Perkebunan Kayu PT. Suntara Gajapati pada tahun Juni 2014- September 2015 (kanan)

RIAU ANDALAN PULP AND PAPER (RAPP)/ APRIL GROUP

Kebijakan APRIL Grup dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan mulai diluncurkan pada tanggal 28 Januari 2014. April Grup dengan seluruh rantai pasokannya berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan di seluruh areal kerja perusahaan dengan menerapkan praktik-praktik terbaik dalam bidang sosial, lingkungan dan ekonomi. APRIL berkomitmen untuk menghentikan kegiatan deforestasi hutan alam dari rantai pasokan dan melindungi hutan dan lahan gambut dimana perusahaan beroperasi, serta mendukung praktik-praktik terbaik dalam pengelolaan hutan di semua negara dimana perusahaan mendapatkan bahan baku kayu.

Deforestasi dan Realisasi Ketersediaan Bahan Baku

Dari data rencana dan realisasi pemenuhan bahan baku industri (RPBBI) sampai tahun 2016, diketahui bahwa kapasitas produksi pulp RAPP sebesar 2.090.000 ton. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, RAPP bermitra dengan 30 perusahaan perkebunan kayu dan menguasai lahan seluas 1.058.074 ha. Perusahaan-perusahaan tersebut berada di Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, bahkan hingga mengimpor bahan baku kayu dari Malaysia.

Dengan asumsi riap tertinggi, rantai pasokan RAPP dapat menghasilkan 115% kebutuhan bahan baku atau sebesar 11.247.489 meter kubik kayu. Namun jika menggunakan riap terendah, maka hanya 8.652.708 meter kubik atau 88% kebutuhan bahan baku yang tersedia. Dengan asumsi diatas terlihat bahwa RAPP akan kekurangan bahan baku sebanyak 1.170.292 meter kubik jika riap rendah yang terjadi dalam produksi kayu mereka. Namun, jika pengelolaan perkebunan kayu dilakukan secara maksimal, produksi bahan baku kayu RAPP akan berlebih sebanyak 1.424.489 meter kubik.

Tabel 2. Rakapitulasi Perhitungan Ketersediaan Bahan Baku KilangPpulp and Paper RAPP

Sumber: FWI. 2016. Pengolahan Data Realisasi Tanam.konsesi perkebunan kayu di Provinsi Riau dan Sumatera Utara.

Rantai pasokan sumber kayu RAPP terbesar berasal dari provinsi Riau dan Sumatera Utara. Di dua Provinsi tersebut, terdapat 22 perusahaan yang menjadi mitra RAPP sebagai pemasok/penyuplai dengan total luas lebih dari 700 ribu ha. Hutan alam yang tersisa di wilayah konsesi perkebunan kayu penyuplai RAPP di Provinsi Riau dan Sumatera Utara seluas 104.407 ha atau hanya menyisakan 14,5% dari total luas konsesinya. Berdasarkan analisis citra satelit, pada periode tahun 2013 – 2016 telah terjadi kehilangan hutan alam di dalam konsesi perusahaan penyuplai kayu ke kilang RAPP seluas 53.294 ha.

Rusaknya hutan alam dan gambut di rantai pasokan RAPP terus saja terjadi. Kebakaran hutan dan pembukaan kanal gambut merupakan potret nyata kondisi kerusakan hutan yang terjadi didalam konsesi rantai pasokan kilang RAPP.

Gambar 4. Tutupan Lahan (kanan) dan Deforestasi (kiri) Tahun 2013-2016 pada area konsesi penyuplai kilang pulp RAPP di Provinsi Riau dan Sumatera Utara

Pulau Rupat merupakan salah satu pulau kecil yang berada di Kabupaten Bengkalis, memiliki luas 150 ribu ha dan pada tahun 2013 memiliki tutupan hutan alam seluas 33.627 ha atau 22% dari total luas daratannya. Saat ini, sekitar 15 ribu ha atau 45 % hutan alam di Pulau Rupat 45% berada di dalam konsesi PT SRL. Perusahaan ini menguasai sekitar 25,4% daratan di Pulau Rupat. Pada tahun  2015, PT SRL mengalami kebakaran hutan dan sempat mengalami pembekuan izin. Periode 2013-2016, hutan alam dalam konsesi SRL telah berkurang seluas 3.323 ha.

Gambar 5. Deforestasi (kiri) dan Tutupan Lahan (kanan) Tahun 2016 pada Area Konsesi Perkebunan Kayu PT. Sumatera Riang Lestari

PT. RAPP juga memiliki izin perkebunan kayu yang terletak di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti. Pulau Padang merupakan pulau kecil yang luasnya hanya sekitar 111 ribu ha. Pada tahun 2013, pulau ini masih memiliki 64 ribu ha hutan alam, 27 ribu ha diantaranya berada di dalam konsesi RAPP yang menguasai 37% daratan Pulau Padang. Hasil analisis citra memperlihatkan bahwa wilayah konsesi RAPP di Pulau Padang hanya menyisakan sekitar 5000 ha hutan alam atau hilang seluas 22 ribu ha dalam rentan waktu 2013-2016. Fakta rusaknya hutan alam dan gambut juga diperkuat dengan temuan lapangan yang dilakukan oleh Yayasan Mitra Insani. Pada bulan Oktober 2016 terdapat aktivitas penanaman akasia di lahan gambut yang sudah dibuka sebelumnya di Juli-Agustus 2016. Aktifitas penanaman tersebut masih berlangsung sampai saat ini.

Gambar 6. Deforestasi (kiri) dan Tutupan Lahan (kanan) tahun 2016 Pada Area Konsesi Perkebunan Kayu PT Riau Andalan Pulp And Paper

Konflik Sosial Akibat Kehadiran Perkebunan Kayu

Kebakaran yang terjadi di konsesi PT SRL seakan-akan ingin mengambinghitamkan masyarakat. Pada kasus kebakaran hutan tahun 2015 beberapa warga di Desa Titi Akar, Pulau Rupat, ditangkap dan ditahan beberapa jam di Polsek Rupat Utara. Namun karena tidak adanya bukti, Warga Desa Titi Akar pun dilepaskan. Menurut penuturan warga, ada oknum dari perusahaan yang dengan sengaja membakar lahan di dalam konsesi dan mengambinghitamkan warga di Desa Titi Akar.

Pembukaan hutan alam oleh PT RAPP juga telah menimbulkan konflik antara pihak perusahaan dengan masyarakat Desa Bagan Melibur. Pada bulan Maret 2014, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti melakukan pertemuan dengan warga dan PT RAPP, salah satu kesepakatannya PT RAPP harus menghentikan operasinya di Desa Bagan Melibur sampai ada penyelesaian. namun, PT RAPP tetap melanjutkan menebang hutan alam dan menggali gambut untuk kanal dengan pengawalan ketat aparat kepolisian. Penolakan masyarakat ini merujuk pada SK Menteri Kehutanan No. 180/Menhut-II/2013, yang menyatakan bahwa Desa Bagan Melibur dikeluarkan dari areal konsesi PT RAPP. Perbedaan peta administrasi yang digunakan antara PT RAPP dengan peta pemerintah daerah yang menjadi dasar penolakan masyarakat. Peta administrasi Desa Bagan Melibur tahun 2006 menunjukkan bahwa wilayah yang sedang digarap PT RAPP ini berada di wilayah Desa Bagan Melibur.

TOBA PULP LESTARI (TPL)

Kebijakan kelestarian TPL digagas sejak Desember 2015. Dalam kebijakan tersebut, TPL berkomitmen untuk menghilangkan deforestasi dari semua rantai pasokan mereka. Sebelumnya, pada juni 2014 TPL berkomitmen terhadap perlindungan dan konservasi hutan dengan menjalankan moratorium atas inisiatif sendiri.

Deforestasi dan Realisasi Ketersediaan Bahan Baku

Luas konsesi perkebunan kayu TPL yaitu 188.055 Ha yang terbagi kedalam 5 blok pengelolaan. TPL memiliki kapasitas produksi pulp sebesar 214.500 ton per tahun. Jumlah ini sudah berkurang jika dibandingkan pada tahun 2007 yang mencapai angka 420.000 ton per tahun. Jika TPL hanya menghasilkan riap 18 meter kubik/ha pada perkebunan kayunya, maka TPL masih kekurangan bahan baku sebesar 62.490 meter kubik. Namun, jika perkebunan kayu milik TPL mampu menghasilkan riap sebesar 25 meter kubik per tahun, maka pasokan bahan baku akan berlebih sebesar 243.001 meter kubik.

Tabel 3. Rakapitulasi Perhitungan Ketersediaan Bahan Baku Kilang Pulp and Paper TPL.

Sumber: FWI. 2016. Pengolahan Data Realisasi Tanam.konsesi perkebunan kayu di Provinsi Riau dan Sumatera Utara.

Dengan luasan area tanam yang ada, seharusnya bahan baku yang ada mencukupi kebutuhan kilang pulp TPL. Namun, fakta di lapangan selama tahun 2016 TPL telah melakukan penebangan hutan campuran. Penebangan hutan alam yang terdokumentasikan terjadi di sektor Aek Nauli, Kabupaten Simalungun. Hasil analisis citra satelit memperlihatkan selama periode 2013-2016 di dalam konsesi TPL masih terjadi deforestasi seluas 4.988,89 ha. kebun kayu menyumbang 52% perubahan lahan dari hutan menjadi bukan hutan di dalam konsesi TPL.

Gambar 7. Tutupan Lahan (kanan) dan Deforestasi (kiri) tahun 2016 pada Area Konsesi Perkebunan Kayu TPL

Dalam konsesi TPL terdapat sekitar 15.590 ha hutan lindung dan 4.385 ha Area Penggunaan Lain (APL). Dari 15 ribu ha hutan lindung yang ada di konsesi TPL Sektor Tele terdapat 1,694.04 ha yang sudah berubah bentuk menjadi kebun eucalyptus. Berubahnya area lindung menjadi kebun eucalyptus akan semakin mengancam rusaknya daerah tangkapan air Danau Toba. Bahan-bahan kimia yang digunakan sebagai pupuk juga akan sangat berpotensi mencemari air di Danau Tersebut.

Konflik Sosial Akibat Kehadiran Perkebunan Kayu

Sejak berdirinya PT Inti Indorayon Utama dan berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari telah terjadi setidaknya 14 konflik yang melibatkan masyarakat dengan PT TPL. Konflik tersebut meliputi komunitas masyarakat adat di Kabupaten Tobasa, Simalungun, Humbang Hasundutan, dan Tapanuli Utara. Konflik yang terjadi telah menghilangkan 2 korban jiwa dan 22 warga lainya pernah ditangkap dan dipenjara. (KSPPM, 2015).

Gambar 8. Sungai yang Ditimbun oleh TPL untuk Pembuatan Jalan

Selain adanya sengketa lahan dengan masyarakat adat, aktifitas TPL juga diduga telah menghilangkan sumber-sumber mata air yang selama ini digunakan oleh masyarakat. Dugaan ini muncul setelah adanya kesaksian masyarakat yang merasa terganggunya sistem tata air semenjak kehadiran TPL di wilayah mereka.

Sengketa lahan antara masyarakat adat dan TPL juga terjadi di Kabupaten Humbang Hasundutan. Pada Mei 2012, Pansus DPRD Humbang Hasundutan menyerahkan peta usulan revisi kepada Dinas Kehutanan. Namun Kepala Dinas Kehutanan menyatakan tidak bersedia menandatangani peta usulan revisi tersebut dengan alasandiluar kewenangan Dinas Kehutanan. Masyarakat menuntut DPRD untuk segera mengeluarkan rekomendasi atas peta usulan revisi konsesi TPL di Kecamatan Pollung dan mendesak DPRD untuk menghentikan aktifitas TPL. Setelah melalui sidang paripurna keluarlah rekomendasi kepada pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan untuk mengusulkan revisi konsesi TPL kepada Menteri Kehutanan. Namun, hal tersebut sampai saat ini belum menemui titik terang.

KESIMPULAN

1. Masih terjadi deforestasi di dalam area perkebunan kayu, khususnya pada perkebunan kayu penyuplai industri pulp and paper. Dalam periode waktu 2013-2016 telah terjadi deforestasi atau kehilangan hutan alam seluas 208.315 ha di dalam area konsesi perkebunan kayu di Riau dan Sumatera Utara. Presentase terbesar bersumber dari konsesi penyuplai kilang IKPP sebesar 59%, disusul RAPP sebesar 26%, dan TPL sebesar 2%.

2. Masih adanya pelanggaran komitmen dalam menjamin tidak ada lagi deforestasi pada rantai pasokan penyuplai kilang pulp and paper. Aktifitas-aktifitas tersebut ialah:

a. Penebangan hutan campuran yang dilakukan PT Toba Pulp Lestari
b. Pembukaan kanal gambut yang dilakukan oleh PT Riau Andalan Pulp And Paper

3. Adanya pembakaran hutan dan lahan yang diduga sengaja dilakukan dan dibiarkan oleh pemegang izin konsesi perkebunan kayu. Dugaan-dugaan pembakaran hutan dan lahan tersebut antara lain:

a. Pembakaran hutan alam yang dilakukan oleh PT Sumatera Riang Lestari di Pulau Rupat. Pembiaran kebakaran diduga untuk konversi hutan alam menjadi perkebunan kayu.

b. Dugaan pembakaran hutan alam yang dilakukan oleh PT Suntara Gajapati yang dilakukan akibat adanya konflik perebutan lahan dengan masyarakat. Pembakaran dilakukan untuk mengusir masyarakat yang sudah melakukan penanaman sawit di area konsesi PT Suntara Gajapati

4. Total kapasitas produksi tiga kilang pulp yang terdapat di Riau dan Sumatera utara mencapai 5.249.521 ton/tahun. Jika menggunakan asumsi riap terendah maka industri pengolahan pulp di dua provinsi tersebut kekurangan bahan baku sebanyak 5.123.133 meter kubik. Industri pulp and paper akan kelebihan bahan baku sebanyak 1.754.259 meter kubik jika perusahaan perkebunan kayu mampu menghasilkan tanaman dengan riap tertinggi. Kekurangan bahan baku diindikasikan diambil dari Mixed Tropical Hardwood (MTH) atau kayu dari hutan campuran.

5. Masih terjadi tumpang tindih dalam aktifitas perkebunan kayu. Tumpang tindih terjadi antara konsesi perkebunan kayu dengan wilayah adat, hutan lindung, dan perkebunan masyarakat.Tumpang tindih tersebut antara lain:

a. Tumpang tindih wilayah konsesi perkebunan kayu dengan wilayah adat yang terjadi di konsesi PT Toba Pulp Lestari

b. Tumpang tindih antara hutan produksi dan hutan lindung pada area konsesi PT Toba Pulp Lestari. Status fungsi kawasan yang berupa hutan lindung na mun pada faktanya area tersebut telah berubah menjadi area perkebunan kayu.

c. Tumpang tindih antara perkebunan kelapa sawit masyarakat dengan PT Suntara Gajapati

6. Dalam pembangunan perkebunan kayu, UU No.27 tahun 2007 jo UU No.1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak menjadi pertimbangan dalam menjamin kelangsungan ekologi dan kehidupan di suatu pulau. Aktifitas perkebunan kayu di Pulau Rupat dan Pulau Padang menjadi contoh bahwa pembangunan perkebunan kayu tidak pernah memperhatikan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Kedua pulau tersebut merupakan pulau-pulau kecil yang menurut regulasi yang ada memiliki luas kurang dari 2000 kilometer persegi.

REKOMENDASI UNTUK PEMERINTAH

1. Melakukan review perizinan secara matang terkait izin-izin konsesi perkebunan kayu yang telah terbukti melakukan pelanggaran. Baik itu menghilangkan hutan alam ataupun menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan.

2. Penegakkan hukum yang harus dijalankan secara adil. Penegakkan hukum dilakukan akibat unsur pelanggaran maupun kelalaian perusahaan dalam menjaga lingkungan di area konsesi perkebunan kayu.

3. Melakukan review tata batas. Hal ini menindaklanjuti tumpang tindih yang terjadi dan menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan. Area konsesi perkebunan kayu yang berada di hutan lindung juga patut menjadi perhatian pemerintah sebagai pemberi izin agar wilayahwilayah tersebut dapat dikeluarkan dan dikembalikan sesuai dengan fungsinya.

4. Menjalankan mandat UU. No. 27 tahun 2007 jo UU No.1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Wilayah perkebunan kayu yang berada di pesisir dan pulau-pulau kecil jelas melanggar mandat dalam UU tersebut. Dalam kasus ini, perlu dilakukan riview perizinan secara khusus mengingat wilayah pulau-pulau kecil yang amat rentan akan perubahan bentang alamnya.

5. Penyelesaian konflik yang telah terjadi secara berkepanjangan. Tidak pernah selesainya permasalahan konflik sosial antara perusahaan dengan masyarakat memperlihatkan tidak pernah adanya keseriusan pemerintah dalam melindungi masyarakat. Hal ini bertentangan dengan mandat UUD tahun 1945 yang menjelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya alam dilakukan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Dalam hal ini, penyelesaian konflik sosial harus dilakukan dengan cara memperhatikan dan mengabulkan aspirasi masyarakat. Khususnya masyarakat yang terdampak langsung dari aktifitas perusahaan perkebunan kayu.

6. Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan Wilayahnya. Adanya kebijakan yang mengakui dan melindungi masyarakat adat dan wilayahnya menjadi suatu hal yang amat penting dilakukan untuk menjamin keberlansungan hidup masyarakat adat. Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat secara arif diyakini mampu melindungi hutan dan lingkungan yang ada.

7. Menghentikan pemberian izin untuk perusahaan perkebunan kayu di wilayah yang berpotensi menimbulkan konflik, pulau-pulau kecil, gambut, dan wilayah yang masih memiliki hutan alam. Pembangunan perkebunan kayu harus dikembalikan seperti tujuan awalnya, yaitu menghilangkan penggunaan kayu dari hutan alam atau dalam kata lain menghentikan perusakan hutan alam. Izin-izin perkebunan kayu yang berada di hutan alam jelas melenceng dari tujuan awal pembangunan perkebunan kayu di Indonesia. Selain kondisi hutan, penentuan area izin juga harus melihat keberadaan masyarakat adat dan bentang ekologi pulau.

REKOMENDASI UNTUK PERUSAHAAN

1. Menjalankan komitmen yang telah dibuat dalam melindungi hutan alam yang berada di dalam konsesi perusahaan. Pelanggaran-pelanggaran komitmen yang terjadi menunjukkan bahwa perusahaan tidak berusaha secara nyata melindungi hutan yang berada di wilayah konsesi mereka. Masih adanya pelanggaran memperlihatkan bahwa komitmen yang dibuat perusahaan hanya untuk menimbulkan citra baik perusahaan di mata pasar.

2. Bertanggung jawab terhadap oknum-oknum perusahaan, ataupun perusahaan yang berafiliasi yang terbukti melanggar kebijakan perusahaan. Banyak perusahaan yang lepas tangan dan justru menyalahkan oknum-oknum perusahaan pada setiap pelanggaran yang terjadi.

3. Mengakui dan melindungi masyarakat dan wilayah kelolanya. Kesalahan dalam pemberian izin yang didalamnya terdapat masyarakat adat menjadi tanggung jawab pemerintah dalam melakukan review perizinan. Namun, untuk lokasi-lokasi yang telah terjadi tumpang tindih antara perusahaan dan wilayah masyarakat perusahaan harus mengakui dan melindungi wilayah kelola mereka yang sudah lebih dahulu mengelola hutan sebelum perusahaan tersebut hadir.

4. Tidak ada lagi ekspansi atau konversi hutan alam menjadi perkebunan kayu. Jika pengelolaan perkebunan kayu dilakukan dengan baik dan benar, maka kebutuhan bahan baku untuk industri pulp and paper akan terpenuhi. Sesuai dengan kajian ini, kebutuhan bahan baku akan terpenuhi jika perusahaan mampu memaksimalkan pertumbuhan kayunya yang sudah ditanam saat ini. Sehingga tidak ada lagi alasan untuk melakukan ekspansi di wilayah-wilayah yang masih memiliki hutan alam.

Ekspansi Perkebunan Kayu – Menghilangkan Hutan Alam dan Menimbulkan Konflik Sosial
Size: 1.12 Mb
Published: Desember 16, 2016

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top