PENGAWASAN EKSPORT KAYU INDONESIA KE EROPA HARUS DIPERKETAT…!!!

Komitmen Indonesia dengan Uni Eropa terkait legalitas kayu eksport sudah sesuai dengan SVLK-Indonesia dan EUTR-Uni Eropa. Namun pengawasan bukan hanya pada level exportnya saja, sebab kayu eksport itu harus legal pula dari asalnya. Diharapkan Illegal Logging bisa diberantas dan berikutnya Korupsi Kehutanan pun dituntaskan.

Oleh Pietsau Amafnini

Pemerintah Indonesia sudah berkomitmen untuk melakukan eksport kayu secara legal sesuai aturan main SVLK. Hal ini juga dimaksudkan untuk mencegah dan memberantas praktek illegal logging di negeri ini. System Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) mewajibkan usaha berbahan baku kayu memiliki sertifikat sesuai Permenhut No. 38/2009 jo P.68/2010. Hingga Akhir 2012 dan awal 2013 ini dimana V-Legal  menjadi syarat mutlak legalitas kayu eksport, sedikitnya 12 perusahaan sudah siap mengekspor kayu bersertifikat melalui 3 pelabuhan ke Eropa. Uni Eropa juga sudah memiliki Timber Regulation (EUTR) yang mengharuskan seluruh masyarakatnya sebagai konsumen untuk tidak menerima import kayu illegal dari luar . Artinya, kayu eksport Indonesia harus bersertifikat sesuai tuntutan pasar internasional di Eropa dan Indonesia sudah mempunyai V-Legal.

Lantas seperti apa kesiapan industry kayu di Indonesia? Mayoritas industri kayu sudah menerapkan sistem ini sehingga bisa dikatakan bahwa sudah siap mengekspor produk kayu bersertifikat ke Eropa. Tidak hanya ke Eropa, tetapi Negara-negara lainnya juga diharapkan tidak membeli kayu yang tidak bersertifikat V-Legal dari Indonesia. Sejak tahun 2012, Industri kehutanan primer seperti pengolahan kayu dan restorasi ekosistem sudah mulai menerapkan SVLK. Sedangkan industri sekunder seperti kerajinan kayu diberi tenggat waktu Desember 2013.

Sampai dengan Januari 2013 ini setidaknya ada 240 unit industri yang lulus SVLK dan 76 unit lainnya yang masih dalam proses. Perusahaan yang siap mengekspor kayu bersertifikat ke Eropa diantaranya PT. Inhutani Unit Manajemen Industri Gresik dan PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia dari pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Jawa Timur, serta PT. Corinthian Industries Indonesia dan PT. Pindo Deli Pulp and Paper Mils dari pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.

Komite Uni Eropa pun sudah siap untuk menerima kayu dari Indonesia sesuai aturan EUTR yang harus dijalankan oleh seluruh warganya di 27 negara anggota EU. Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa ekspor hasil hutan Indonesia ke Uni Eropa sekitar 1,2 miliar dollar AS ( Rp. 11,4 trilun ) per tahun. Untuk sementara, Eropa merupakan pasar  internasional produk kayu Indonesia yang regulasinya pun bersesuaian dengan aturan Indonesia dan diharapkan Negara-negara lain akan meniru system perdagangan ini.

Pemerintah Indonesia minta para eksportir kayu untuk menyertakan dokumen V-Legal untuk menjamin keabsahan atau legalitas ekspor produk kayu ke negara-negara anggota Uni Eropa sejak titik penebangan, pengolahan hingga pengangkutannya. Uni Eropa sendiri sudah menyatakan siap menerapkan penggunaan dokumen V-Legal pada 3 Maret 2013 sebagai penjamin legalitas produk kayu dari Indonesia sejak titik penebangan hingga pengangkutan perdagangan dan pengolahannya. Sedangkan di Indonesia sendiri penerapan dokumen V-Legal sudah dimulai sejak 1 Januari 2013.  Perbedaan waktu pelaksanaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Indonesia dan Eropa diharapkan tidak menimbulkan hambatan dalam ekspor kayu legal Indonesia ke Uni Eropa. EU Timber Regulation (EUTR) sendiri tidak akan mengeluarkan aturan kontrol tambahan apa pun di perbatasan negara-negara Uni Eropa.

Terkait penerapan V-Legal ini, Indonesia sudah melakukan uji coba pengapalan ekspor produk kayu dengan disertai dokumen V-Legal pada bulan Oktober-Desember 2012 dan hasilnya positif. Produk kayu berkualitas tinggi dari Indonesia sangat populer di Uni Eropa. Dan pada saat yang sama, Indonesia dan Uni Eropa  juga menyatakan kesamaan tekad untuk memerangi perdagangan kayu ilegal. Melalui kerja sama pemberlakuan dokumen V-Legal ini, Indonesia dan Uni Eropa mempererat kerja samanya dalam kemitraan perdagangan kayu legal, sehingga dapat dipastikan semua kayu maupun produk kayu yang di ekspor ke Eropa adalah kayu yang ditebang secara legal dan dapat diperdagangkan secara legal pula di Eropa. Setelah VPA berlaku dan dijalankan, berarti produk kayu Indonesia yang telah disertai dengan lisensi ekspor V-Legal akan secara penuh diterima sebagai kesesuaian dengan persyaratan EUTR, dan hal ini merupakan insentif yang jelas bagi para pembeli di Eropa.

Pemerintah mengklaim, ekspor produk kayu dan olahan kayu di awal tahun ini tak mengalami kendala. Ini berarti kebijakan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) secara umum tak mengganggu kinerja ekspor Indonesia. Kementerian Kehutanan mencatat, volume ekspor produk kayu dan olahan kayu selama 1 Januari hingga 22 Januari 2013, mencapai 1,01 juta meter kubik (m3). Adapun tujuan ekspor Indonesia ke 94 negara, termasuk negara-negara di Eropa. SVLK sudah diterima oleh negara-negara di Uni Eropa. Dengan berlakunya SVLK, importir bisa memantau produknya dan ada jaminan legalitas. SVLK bisa mendorong ekspor produk kayu ke Uni Eropa. Pasalnya, negara pengekspor kayu lainnya yang merupakan pesaing Indonesia, belum memiliki dokumen legal seperti Uni Eropa.

Posisi Eropa sangat penting bagi kelangsungan industri kayu olahan Indonesia. Kontribusi Eropa cukup signifikan bagi ekspor kayu olahan asal Indonesia. Dari sisi volume, ekspor kayu olahan ke Eropa memang hanya 169.000 m3 atau 11% dari total volume ekspor. Tapi, nilainya mencapai US$ 210 juta setara 22% nilai total ekspor kayu olahan Indonesia. Meski pangsa pasar ke Eropa berpotensi naik, tapi nilai dan volume ekspor produk kayu dan olahan kayu masih sulit untuk tumbuh. Alasannya, permintaan dunia tengah melambat akibat krisis ekonomi. Diharapkan dapat meningkat menjadi 12% per tahun. Kementerian Perdagangan pernah memproyeksikan bahwa hingga akhir 2012, nilai ekspor produk kayu dan olahan kayu Indonesia mencapai US$ 10 miliar. Adapun nilai ekspor kayu ke Eropa mencapai US$ 1,2 miliar per tahun. Per 1 Januari 2013, Indonesia mulai mewajibkan eksportir produk kayu menyertakan dokumen V-Legal untuk menjamin legalitas kayu sejak titik penebangan hingga pengangkutan, perdagangan dan pengolahan dan pada 3 Maret 2013, sebanyak 27 negara anggota Uni Eropa akan memberlakukan SVLK bagi produk kayu impor sesuai EUTR.

Mengacu pada pemberlakuan V-Legal sebagai jaminan perdagangan kayu eksport asal Indonesia ke Eropa, maka pemerintah Indonesia juga hendaknya bekerja keras untuk memastikan bahwa legalitas kayu eksport itu memang benar-benar dari asal tebangannya. Sebab, hingga saat ini, praktek illegal logging masih marak juga di Indonesia. Oleh karena itu pemantauan terhadap peredaran kayu dari daerah yang satu ke daerah lainnya di Indonesia pun harus diawasi secara ketat.

Sebab kenyataannya, pada pasca OHL I, II dan III, banyak pengusaha kayu pun menemukan modus baru dalam upaya memperoleh hasil hutan kayu. Misalnya mengambil kayu dari hasil tebangan lokasi perkebunan sawit tanpa IPK, membeli kayu dari masyarakat local di sekitar hutan dengan dalih kayu olahan masyarakat, dan masih banyak cara yang digunakan untuk mendapatkan kayu. Tak dapat dipungkiri bahwa pemberantasan illegal logging pada zaman OHL membuahkan hasil yang cukup, tetapi kenyataan unjukkan bahwa OHL hanya mampu menangani kasus-kasus kecil di sector kehutanan. Para mafia kayu masih terus melakukan usaha-usaha secara illegal. Modus baru pada peredaran kayu antar pulau juga akhirnya ditemukan para pengusaha itu, dari kayu bulat menjadi kayu segi (kayu gergajian). Padahal kayu olahan balak ukuran 20 x 30 cm dan 30 x 40 cm merupakan ukuran ideal dimana bisa diolah lebih lanjut jadi berbagai ukuran yang dibutuhkan konsumen. Modus-modus baru ini banyak ditemukan di Tanah Papua.

Selain itu, kapasitas industry pun mencurigakan dimana ada perusahaan yang memiliki izin sekunder dengan volume produksi 2000 meter kubik pertahun, tetapi mengolah kayu primer dengan volume jauh lebih besar, bisa mencapai 14000 hingga 18000 meter kubik pertahun. Sayangnya, tidak pernah dipermasalahkan oleh institusi-institusi yang berwenang. Padahal, aktifitas pengapalan kayu packing dari Tanah Papua ke luar daerah bisa dilakukan 2 kali dalam sebulan. Container selalu penuh dengan kayu dengan isi 18 meter kubik per unit container dan setiap pengapalan mencapai 38 unit container. Semua orang tahu bahwa kayu-kayu tersebut tidak legal, tetapi tidak pernah dipersoalkan oleh pihak yang mempunyai wewenang ditambah trauma atas gagalnya OHL dalam pemberantasan kasus illegal logging pada beberapa tahun lalu, maka lebih baik bermasabodoh terhadap kenyataan. Sebab system birokrasi sudah terkontaminasi dengan mafia illegal logging. Oleh karena itu, selain illegal logging dan illegal trading, korupsi kehutanan pun harus diberantas hingga tuntas. Apakah SVLK dapat menjamin hal ini? Dimana peran OHL dan KPK serta PPATK di Negara ini…? Beacukai dan Kementrian Perdagangan serta seluruh lapisan masyarakat Indonesia pun harus berperan aktif untuk menjamin bisnis yang sehat, adil dan menjaga kelestarian lingkungan hidup di Negara yang kaya akan sumberdaya alam ini. Jika tidak, maka kelak anak-cucu sebagai generasi penerus negeri ini hanya akan berbangga bahwa Negara yang diwariskan para leluhurnya pernah memiliki kekayaan sumberdaya hutan yang terbesar dan terluas di Asia Tenggara.

Sumber : http://jasoilpapua.blogspot.com

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top